Monday, November 19, 2007

PENGUBURAN MASYARAKAT DAYAK[1] DAN TORAJA
DALAM PERBANDINGAN
( Hartatik )

Abstrak

Suku Dayak di Kalimantan dan Suku Toraja di Sulawesi mempunyai sebutan yang sama yaitu orang yang tinggal di daerah pedalaman. Ada beberapa persamaan antara konsep religi dan peralatan upacara penguburan antara Suku Dayak dan Suku Toraja, seperti upacara kematian dengan hewan kurban yang cukup banyak dan penguburan dengan menggunakan wadah menyerupai bentuk perahu. Tulisan ini mengulas perbandingan konsep religi terutama penguburan pada kedua suku. Belum ada teori yang secara khusus menjelaskan hubungan antar Suku Dayak dan Suku Toraja, sehingga tulisan ini merupakan tahap awal untuk mengetahui ada tidaknya hubungan histori antar kedua suku tersebut.


The Dayak Ethnic in Kalimantan and the Toraja Ethnic in Sulawesi have same term, is man who live in hinterland. There are several similarity religion concept and burial equipment between The Dayak Ethnic and The Toraja Ethnic, like death ceremonial by sacrifies animals so much and burial use container formed of boat. This paper review the comparation of religion concept specially the burial of both of ethnic. The special theory which explain the relation between the Dayak Ethnic is not yet, so the article constitute a preliminary stage to know there is or no the history relation between the both of ethnic.

Kata Kunci : Dayak, Toraja, religi, konsep, penguburan, perbandingan, liang, kurban

A. Pendahuluan
Keberadaan suku Dayak di Kalimantan dan Suku Toraja di Sulawesi ibarat berada dalam satu garis pararel yaitu sebagai kelompok masyarakat yang berdiam di daerah pedalaman. Istilah alfuru atau to raja (dari gunung) untuk menyebut orang Toraja yang berarti orang pedalaman, artinya tidak jauh beda dengan istilah dayak. Masyarakat Dayak yang mendiami wilayah Kalimantan terbagi dalam beberapa sub etnis dengan budaya dan bahasa yang beragam. Beragam sub etnis Dayak antara lain Dayak Iban, Klemantan, Apokayan, Murut, Punan, Ot Danum serta Ngaju. Dayak Ngaju adalah etnis yang paling dominan dan terkemuka di wilayah Kalimantan tengah, terutama di wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur.
Kotawaringin Timur dengan Ibu Kotanya Sampit, merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Propinsi Kalimantan Tengah. Di wilayah Kotawaringin Timur mengalir tiga sungai besar yaitu Sungai Mentaya (dulu bernama Sungai Sampit) yang berhulu di wilayah Kecamatan Mentaya Hulu, Sungai Pembuang yang mengalir di wilayah Kuala Pembuang dan Sungai Katingan di wilayah Katingan[2]. Ketiga Sungai tersebut bermuara di Laut Jawa. Permukiman masyarakat Dayak Ngaju berada di sepanjang tiga aliran sungai tersebut termasuk beberapa anak sungainya seperti Sungai Tualan atau Sungai Parenggean di Parenggean, Sungai Seranau di wilayah Kecamatan Kotabesi dan Sungai Cempaga yang mengalir di Kecamatan Cempaga). Setiap permukiman penduduk dihubungkan oleh sungai, sebagian kecil di antaranya ada yang dihubungkan oleh jalur darat terutama yang diadakan oleh para pemilik HPH. Sesuai dengan kondisi lingkungannya yang berupa sungai dan hutan, mata pencaharian masyarakat di Kotawaringin Timur adalah sebagai pencari kayu di hutan (mbatang-istilah lokal), penyadap karet, pencari rotan dan pencari ikan di sungai.
Masyarakat Dayak yang mendiami wilayah tersebut mempunyai kebiasaan yang sangat unik, salah satunya adalah upacara adat yang disebut tiwah. Tiwah merupakan upacara kematian yang dilakukan oleh etnis Dayak Ngaju yang menganut kepercayaan Kaharingan. Sebagaimana pendukung budaya adat di daerah lain, upacara tiwah didukung oleh penganut kepercayaan adat yang cukup taat, meskipun sekarang jumlah penganutnya kian berkurang. Penganut kepercayaan adat Dayak Ngaju yang disebut Kaharingan ini sebagian besar bermukim di daerah pedalaman yang berada di pinggiran sungai, seperti Sungai Mentaya, Sungai Seranau, Sungai Parenggean dan Sungai Katingan. Hampir setiap tahun, terutama sehabis panen, penduduk di sepanjang sungai tersebut menyelenggarakan upacara tiwah yang sangat meriah, dihadiri oleh para tamu undangan dari kampung lain dan pejabat setempat. Belakangan ini, oleh Pemda setempat, upacara tersebut mulai dikemas dalam sebuah paket wisata yang bertujuan untuk menarik minat para wisatawan. Perlengkapan yang didirikan pada saat upacara tiwah dapat disaksikan keberadaannya sebagai tinggalan sejarah budaya adalah berupa sandong, sapundu, pantar dan sanggaran[3].
Di daerah lain, yaitu di di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, upacara kematian ini pada masyarakat Dayak Lawangan disebut ijambe; pada masyarakat Dayak Maanyan di Kabupaten barito Timur, Barito Selatan dan Tabalong , Kalimantan Selatan disebut marabia; pada masayarakat Benuaq dan Tunjung di Kutai Barat, Kalimantan Timur disebut kwangkai; sedangkan di luar Kalimantan seperti -pemeluk Hindu di Bali- melakukan upacara yang disebut ngaben; di Batak Toba disebut manghokal holi; dan di Sulawesi Selatan terdapat Suku Toraja yang melakukan aluk rambu solok.
Suku Toraja merupakan salah satu suku dari empat suku yang ada di Sulawesi Selatan, yaitu Suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Istilah Toraja sudah lazim digunakan oleh Suku Bugis Luwu sejak jaman dulu untuk menyebut penduduk yang berdiam di daerah pegunungan (pedalaman). Kemudian nama Toraja digunakan oleh para misionaris pada awal abad ke-20 dan digunakan sebagai nama sekolah yang didirikan oleh Zending di Rantepao pada tahun 1938. Nama Toraja digunakan untuk menggantikan nama kelompok masyarakat yang tinggal di tondok lepongan bulan matarik allo, yang artinya negara dari satu pemerintahan, agama dan adat istiadat, bagaikan bentuk bulan dan matahari. Setelah Indonesia merdeka, Toraja menjadi salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Tana Toraja. Dipandang dari segi etnis, Toraja merupakan kelompok suku yang berdiam di daerah bagian utara wilayah pegunungan Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Enrekang, daerah Mamasa di Kabupaten Polmas, daerah Kalumpang di Kabupaten Mamuju, daerah Suppiran di Kabupaten Pinrang, daerah Lombok di Kabupaten Sidrap, dan daerah pegunungan di Kabupaten Luwu. Beberapa daerah yang secara etnis merupakan bagian dari etnis Toraja, tidak mengakui lagi nama etnisnya karena nama Toraja cenderung bermakna negatif. Hanya Suku Toraja yang berdiam di Kabupaten Tana Toraja yang masih mengakui dan terikat pada Suku Toraja, karena nama Toraja telah menjadi nilai lebih bagi identitas koletif dan terkenal sebagai daerah tujuan wisata yang menarik (Umar, 2003:1-34 ).
Hal yang membedakan secara pararel keberadaan Suku Dayak dan Toraja adalah jika Toraja sudah dikenal sebagai satu ikon destinasi wisata budaya yang menarik, sedangkan Dayak masih sedang dalam tahap persiapan menuju ke ikon tersebut. Akan tetapi, dalam kajian religi, Suku Toraja dan Dayak mempunyai jenis kepercayaan yang sama yaitu pemujaan terhadap roh leluhur yang masih berlangsung sampai sekarang. Bagaimana manifestasi pemujaan tersebut, terutama yang diwujudkan dalam bentuk upacara penguburan ? Tulisan ini juga akan mengulas tentang perbandingan konsep religi dan jenis penguburan yang digunakan oleh kedua suku tersebut. Sebagai tulisan etnoarkeologi, artikel ini merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan sebagai bahan analogi dalam memecahkan berbagai masalah dalam arkeologi. Data-data yang digunakan dalam tulisan ini didapat dari penelitian lapangan religi Suku Dayak di Kotawaringin Timur serta pengamatan dalam perjalanan wisata di Tana Toraja pada tahun 2004. Data-data dari kajian pustaka digunakan sebagai data dukung dalam tulisan ini.

B. Religi Suku Dayak dan Toraja : Pemujaan Roh Leluhur dan Keberlanjutannya
1. Religi Suku Dayak
Masyarakat Dayak Ngaju menganut kepercayaan turun temurun yang disebut Kaharingan. Menurut asal katanya, Kaharingan berasal dari kata dasar haring dengan prefiks ka- dan sufiks –an sehingga membentuk kata sifat yang berarti ada dengan sendirinya atau sesuatu yang tidak diketahui asal muasalnya tetapi selalu ada di mana-mana (Ukur vide Rampai, 1983: 21). Salah satu sisi kehidupan yang menarik dari masyarakat Dayak Ngaju penganut kepercayaan Kaharingan adalah sikap dan perlakuan terhadap orang yang meninggal dunia. Dalam konsep Kaharingan, sebuah kematian dianggap sebagai masa transisi di mana roh si mati harus dipersiapkan dan diantarkan menuju ke alam roh. Kematian merupakan proses dilahirkan kembali untuk menuju kehidupan yang baru menyatu dengan para roh di lewu tatau (surga) yang damai, kaya dan sentosa. Untuk sampai ke tujuan tersebut, arwah harus melalui beberapa perjalanan yang panjang dan penuh rintangan, sehingga keluarga yang ditinggalkan perlu melakukan upacara ritual untuk mengantarkan roh agar sampai ke tempat yang dituju. Perjalanan arwah dimulai ketika orang meninggal dunia, kemudian dikuburkan dalam tanah.
Sebelum dikuburkan, mayat dimandikan, disabun, diminyaki dengan minyak kelapa, dikenakan baju, kemudian dimasukkan ke dalam peti mati dari kayu yang disebut raung, ada pula yang menyebutnya rarung. Dalam beberapa hari, bahkan bisa berbulan-bulan, mayat tersebut diletakkan di dalam rumah sambil menunggu persiapan keluarga almarhum untuk mengadakan upacara penguburan. Selain itu juga untuk memberi kesempatan kepada bagi keluarga yang jauh dapat melihat almarhum untuk yang terakhir kalinya. Untuk mencegah agar bau mayat tidak menyebar serta untuk mengalirkan cairan yang berasal dari tubuh mayat, biasanya menggunakan teknik tradisional dengan sistem danur atau sumpit, yaitu dengan cara melobangi bagian bawah raung kemudian dihubungkan dengan bambu bulat lewat lantai rumah panggung langsung dibuang/masukkkan ke dalam tanah. Pipa bambu tersebut didempul dengan kapur sehingga bau cairan mayat yang mengalir dalam bambu tersebut tidak menimbulkan rembesan ke mana-mana. Di atas rarung diletakkan ramuan dan dan daun-daunan berbau harum untuk mengusir bau tidak sedap, seperti daun mambung, daun mamali, daun limau, daun pinang dan daun sangen. Di samping raung diletakkan berbagai alat seperti gelas, pring, beras, gula, garam, minyak goreng, tikar, mandau, seruling, lanjung dan beriut (wadah dari rotan) sebagai bekal si arwah dalam perjalanan ke dunia asalnya karena di sana arwah juga makan dan beraktivitas seperti layaknya orang hidup. Setelah mayat dikuburkan dalam tanah, sebagian bekal kubur tersebut turut dikuburkan, sedangkan sebagian lagi diletakkan di sekitar kubur.


Foto 1. Raung, peti mati Suku Dayak Ngaju (dok. Balai Arkeologi Banjarmasin 2002).

Kehidupan dalam kubur inilah yang disebut lewu pasahan raung. Dari alam kubur arwah melanjutkan perjalanan ke lewu nalian lanting yang berarti tempat penantian. Setelah keluarga yang ditinggalkan mampu dan cukup mempunyai uang maka segera dilakukan upacara tiwah yang hakekatnya adalah menjemput arwah dari lewu nalian lanting dan mengantarkannya ke lewu tatau (Hartatik, 2002:22-23). Prosesi yang dilakukan dalam tiwah tersebut antara lain terdiri atas menggali tulang dari kubur kemudian dipindahkan ke dalam bangunan sandong. Pesta tiwah juga disertai dengan tari-tarian (menganjan), minum tuak dan menyabung ayam yang merupakan bagian dari kegiatan ritualnya. Dalam tiwah disertai pemotongan hewan kurban berupa ayam, babi dan kerbau atau sapi. Untuk mengikat kerbau atau sapi mereka mendirikan tiang sapundu. Selain sapundu, juga didirikan tiang pantar sebagai simbol tangga arwah dan sanggaran sebagai tanda berakhirnya pesta tiwah. Akan tetapi belakangan ini, ketika kayu ulin sudah sangat sulit untuk diperoleh, sehingga tiang pantar dan sanggaran tersebut jarang disertakan dalam upacara penguburan.

Menurut waktu pelaksanaannya, upacara tiwah dibedakan dalam tiga jenis, yaitu :
1. tiwah napesan atau tiwah langsung, yaitu upacara tiwah yang dilakukan ketika orang meninggal dunia langsung ditiwahkan dan dimasukkan ke dalam sandong. Tiwah napesan ini biasanya dilakukan oleh orang yang mampu atau siap secara materi. Pada jaman dulu, jenazah yang ditiwah napesan ini dibakar kemudian baru diambil tulang-tulang dan abunya untuk disimpan dalam sandong. Sekarang hal itu jarang dilakukan, sehingga jenazah disimpan dalam raung/peti mati untuk kemudian dimasukkan ke dalam sandong.
2. tiwah jandau atau tiwah kecil, yaitu tiwah yang dilaksanakan selama 1 hari saja, tidak menggunakan kurban kerbau.
3. tiwah besar atau tiwah jadi atau bisa disebut tiwah oleh masyarakat pada umumnya, yaitu tiwah yang dilaksanakan selama 3 hari, 5 atau 7 hari dengan disertai kurban kerbau, pendirian sapundu, sandong, pantar dan sanggaran. Tiwah besar ini bisanya diawali dengan persiapan yang cukup matang dengan perhitungan jumlah individu yang akan ditiwah, waktu dan biaya yang akan diperlukan(informasi dari Bp. Aset Kabun, 72 tahun dan Bp. Tusi Birape, 54 th).

Sejak dari masa persiapan sampai selesai, upacara tiwah memakan waktu hampir satu bulan. Tahap persiapan berupa kegiatan meliputi mencari hari baik untuk tiwah, perkiraan biaya, mencari kayu bakar untuk masak, dan mencari kayu serta pembuatan perangkat penguburan seperti sapundu, sandong, pantar dan sanggaran. Adapun puncak upacara tiwah berlangsung selama 3 hari, 5 hari, 7 hari atau 9hari, tergantung kesepakatan dan kemampuan keluarga. Pada masa sekarang ini biasanya puncak upacara tiwah berlangsung selama 3 hari, dengan tahap-tahap sebagai berikut :
Hari ke-1 :
- menggali dan mengangkat tulang dari kubur yang akan ditiwah
- mengumpul anak tian : memanggil roh orang yang sudah meninggal yang akan ditiwah.
- manjarat metu : mengikat hewan kurban (kerbau/sapi) di tiang sapundu.
- manambang laluhan : menyambut orang dari kampung lain yang mengantar sumbangan berupa bermacam-macam barang dengan menggunakan perahu bermotor atau rakit.
- manganjan : menarikan tarian suci mengelilingi sapundu

Hari ke-2 :
- manganjan/menari mengelilingi sapundu
- memotong kerbau, sapi, babi dan ayam
- mahanteran : mengantar orang yang ditiwah kembali ke asalnya
- menjarat metu : mengikat kerbau atau sapi yang akan dikurbankan di sapundu yang akan dipotong lagi pada esok hari.

Hari ke-3 :
- pagi hari : menganjan di sekeliling kerbau dan babi
- pemotongan kerbau, sapi, babi dan ayam
- manimpas tanduk nayu dan mambuka baram pali : memasukkan baram (minuman hasil permentasi beras ketan) ke dalam wadah terbuat dari tanduk kerbau yang digantung di pasar sawawulu (tiang bambu) untuk diminum peserta tiwah.
- mahanteran : mengantarkan roh orang yang ditiwah kembali ke asalnya
- memasukkan peti tulang ke dalam sandong. Dengan dimasukkannya tulang ke dalam sandong berarti upacara tiwah telah selesai. Seluruh peserta upacara tiwah membersihan diri dari segala pali yang mungkin didapat selama pelaksanaan tiwah. Mereka juga mengucap syukur serta memohon kesejahteraan kepada Ranying Hatala Langit . Dengan berakhirnya pesta tiwah berarti arwah leluhur telah sampai ke lewu tatau (surga).

2. Religi Suku Toraja
Sebelum masuknya agama Kristen dan Islam, Suku Toraja mengenal kepercayaan bersifat animisme (percaya pada roh leluhur) yang disebut Aluk Todolok (Aluk = aturan, todolok = leluhur) atau Alukta. Kepercayaan ini mendasarkan pada kepercayaan terhadap arwah leluhur yang memiliki pengaruh kuat terhadap orang yang masih hidup. Sebaliknya, kesejahteraan arwah di alam puya sangat ditentukan oleh perlakuan keluarga yang ditinggalkannya. Kepercayaan tersebut diwariskan secara turun temurun hingga sekarang. Masyarakat Toraja percaya bahwa segala sesuatu dalam dunia ini mempunyai nyawa, termasuk manusia dengan nyawanya yang akan hidup terus walaupun manusia tersebut telah meninggal. Manusia yang telah meningal diberi makan dan minum sebagaimana orang yang masih hidup (Harahap, 1952:16; Duli, 2000:7). Dalan ajaran Aluk Todolok manusia diwajibkan menyembah Puang Matua ( dewa tertinggi pencipta alam semesta) dan deata-deata (dewa-dewa) yang terdiri atas Deata Tangga Langi’ (Pemelihara Langit), Deata Kapadanganna (Pemelihara Bumi) dan Deata Tangana Padang (Pemelihara isi Tanah).
Masyarakat Toraja mengenal dua jenis upacara adat yaitu aluk rambu tukak (upacara yang berkaitan dengan kehidupan) dan upacara aluk rambu solok (upacara yang berkaitan dengan kematian). Aluk rambu solok (rampe matampu) berlaku sejak orang meninggal sampai dengam selesainya upacara pemakaman. Seseorang yang mati harus dirawat dan diperlakukan sebagai orang yang masih hidup, diberi perlengkapan seperti pakaian, perhiasan, harta benda lainnya serta kerbau sebagai bekal di alam puya. Bila hanya sedikit yang dikurbankan dalam upacara kematiannya, maka sedikit pula bekal yang dibawa ke alam puya. Mereka yang sama sekali tidak diupacarakan maka arwahnya tidak diterima secara wajar di alam puya dan akan mengembara di atas dunia dengan penderitaannya sampai tiba saatnya keluarga melepaskannya dengan membuat pengorbanan untuknya (Kadir, 1980:89-97).
Upacara rambu solok diatur dalam aluk rampe matampu ( aturan upacara yang dilaksanakan pada sore hari), biasanya dinyatakan dalam upacara kematian dan penguburan. Dalam tahapan-tahapan pelaksanaan, upacara rambu solok merupakan suatu peristiwa yang di dalamnya mengandung nilai religi dan sosial, dilaksanakan di sebelah barat tongkonan. Menurut status sosial, upacara kematian pada Suku Toraja dibagi menjadi empat jenis, yaitu :
1. Upacara disilik, yaitu upacara kematian bagi masyarakat kelas bawah (tanak kua-kua) yang tidak mampu secara ekonomi tanpa disertai dengan hewan kurban atau kurban hanya berupa beberapa telur ayam saja. Mayat tidak boleh disimpan sampai bermalam di dalam rumah dan harus dikuburkan pada sore atau malam hari. Mayat dikuburkan di gua alam (liang silik) tanpa menggunakan peti (erong), hanya dengan dibalut kain. Bagi bayi yang belum tumbuh gigi, mayatnya dikuburkan di sela-sela akar atau di dalam batang pohon beringin yang dilubangi.
2. Upacara dipasangbongi, yaitu upacara kematian bagi masyarakat kelas tanak karurung atau tanak bassi dan bulaan (keluarga bangsawan) yang tidak mampu, berlangsung satu malam dengan mempersembahkan hewan kurban minimal berupa empat ekor babi dan maksimal delapan ekor kerbau. Mayat dikuburkan di liang dengan menggunakan wadah kubur (erong) berbentuk persegi panjang.
3. Upacara didoya, yaitu upacara kematian bagi masyarakat tanak bassi yang mampu secara ekonomi atau, tanak bulaan yang kurang mampu, berlangsung tiga malam, lima malam, atau tujuh malam. Selama upacara tersebut, peserta upacara tidak boleh tidur semalam suntuk (didoya). Dalam upacara ini hewan kurban berupa babi yang jumlahnya sampai ratusan dan kerbau (minimal 3, maksimal 12 ekor). Upacara ini dilaksanakan di dalam rumah atau tongkonan (rumah adat). Setelah selesai upacara, mayat dikuburkan di liang erong dengan menggunakan wadah berupa erong berbentuk kerbau atau perahu.
4. Upacara dirapai atau aluk rapasan, merupakan upacara kematian bagi golongan tanak bulaan (bangsawan) yang berlangsung minimal tujuh hari bahkan sampai berbulan-bulan dengan persembahan kurban berupa 12 ekor kerbau (minimal) ditambah dengan babi yang jumlahnya mencapai ratusan. Upacara dirapai atau rapasan ini merupakan upacara terbesar, berlangsung dalam dua tahap yaitu :
Tahap Makbatang : merupakan upacara tahap pertama yang berlangsung di Tongkonan Layuk selama tujuh hari berturut-turut.
- Hari ke-1 adalah pembalikan arah mayat dari timur-barat ke utara-selatan sebagai tanda upacara telah dimulai, memotong seekor babi untuk persembahan kepada deata.
- Hari ke-2 : pembuatan patung (tau-tau) dari batang bambu atau kayu nangka yang dihiasi sebagai perwujudan si mati, disertai pemotongan hewan kurban berupa lima ekor kerbau (minimal) dan beberapa ekor babi.
- Hari ke-3 : istirahat
- Hari ke-4 : membalut mayat dengan kain merah yang dilakukan oleh To Mebalun dengan persembahan hewan kurban berupa seekor kerbau dan beberapa babi.
- Hari ke-5 : pengibaran umbul-umbul dan pembuatan panggung di depan Tongkonan Layuk sebagai tempat membagi daging, dengan memotong hewan kurban berupa empat ekor kerbau dan beberapa ekor babi.
- Hari ke-6 : Penerimaan tamu-tamu yang turut berduka cita dengan memotong hewan kurban minimal 12 ekor kerbau. Acara ini merupakan puncak atau inti upacara. Sebelum dipotong, kerbau diikat pada tiang menhir (simbuang)[4] yang terdapat di rante simbuang sebagai simbol bahwa kurban kerbau tersebut ditujukan kepada arwah si mati sebagai bekal ke alam arwah. Setelah itu kerbau ikatan kerbau dilepas dan dipotong dengan sekali tebas.
- Hari ke-7 : penguburan mayat (makparampe) secara simbolis di atas rumah. Erong dengan perlengkapannya diganti kemudian erong lama tersebut dibawa ke rante simbuang untuk ditanam (karopik). Sembilan hari kemudian masa duka diakhiri dengan membawa sesaji makanan ke calon kubur atau liang tempat akan dikuburkannya mayat tersebut serta pelepasan pakaian hitam oleh anggota keluarga.
Setelah tahap makbatang selesai, pihak keluarga mengadakan persiapan dalam jangka waktu tertentu, tergantung kesepakatan keluarga, untuk mengadakan upacara tahap kedua (tahap makpalao). Pesiapan yang dilakukan menjelang makpalao,antara lain membuat tau-tau, usungan mayat (sarigan) berbentuk tongkonan, simbuang, dan pondok-pondok (melantang) seperti pondok tempat membagi daging, pondok mayat berbentuk tongkonan. Simbuang tempat menambatkan hewan kurban diletakkan di sebelah barat rante simbuang[5] dengan mengurbankan satu ekor kerbau, bahkan konon jaman dulu kurbannya manusia atau budak. Proses pengangkutan simbuang dari tempat pembuatannya menuju rante atau tongkonan dilakukan secara bergotongroyong, karena masyarakat menganggap bahwa pekerjaan tersebut merupakan kewajiban bersama. Pelaksanaannya dipimpin oleh pemangku adat.

Tahap Makpalao : upacara yang berlangsung di Rante Simbuang.
- Hari ke-1 : maktundan (membangunkan mayat)
- Hari ke-2 : makbalun yaitu membungkus ulang mayat dan memasukkannya ke dalam erong disertai dengan kubur seperti emas dan barang berharga lainnya.
- Hari ke-3 : makpalao alang, yaitu menurunkan peti mati ke lumbung (alang)untuk dihiasi dengan perhiasan emas dan sejenisnya.
- Hari ke-4 : makpalao, yaitu mangarak mayat ke Rante Simbuang dengan iring-iringan peserta dan peralatan upacara, tari-tarian, tangisan dan nyanyian duka. Pada setiap tahap disertai pemotongan hewan kurban beberapa ekor kerbau dan babi.
- Hari ke-5 dan ke-6 : Mantunu, yaitu penerimaan tamu dan pemotongan hewan kurban. Kerbau yang akan dikurbankan diikatkan pada tiang simbuang berdasarkan asal-usul keturunannya sebagai simbol bahwa anak cucu dari orang yang dibuatkan simbuang tersebut ikut serta mempersembahkan kurban.
- Hari ke-7 : Makpeliang, yaitu memasukkan mayat ke dalam kubur atau liang (Liang Erong, Liang Tokek, Liang Pak, Liang Patane) dengan mengorbankan seekor kerbau dan beberapa ekor babi di depan liang. Dengan selesainya upacara tersebut, orang yang telah meninggal dianggap telah benar-benar mati dan telah menjadi unsur Tomembali Puang atau deata.
Liang merupakan kompleks penguburan bagi masyarakat Toraja yang biasanya terletak di ceruk, gua, atau dindin-dinding batu yang dipahat. Liang juga berfungsi sebagai kompleks penguburan keluarga atau kelompok tertentu (Duli, 2003: 85). Liang yang digunakan sebagai tempat penguburan tersebut berupa kubur-kubur pahat pada dinding gua yang sengaja dipahat membentuk gua atau relung-relung. Pembuatan kubur-kubur pahat pada batu-batu besar tersebut masih berlangsung sampai saat ini (Prasetyo & Dwi, 2004:127).

C. Bentuk Penguburan dan Perlengkapan Kubur dalam Perbandingan
Orang Dayak Kaharingan mengenal dua penguburan, yaitu penguburan tingkat pertama yang menggunakan wadah kubur berupa raung (peti mati dari kayu) dan penguburan kedua setelah ditiwah dengan memindahkan tulang-tulangnya dalam bangunan kubur yang disebut sandong. Raung biasanya terbuat dari bahan kayu ulin, kayu tongkoi, kayu kenaga atau kayu nyatu yang dilobangi pada bagian tengahnya sehingga mirip dengan bentuk perahu (Foto 1 ). Raung digambari dengan motif stiliran flora atau sulur-suluran (bajakah lelek) yang mengandung makna sebagai pengikat arwah agar si arwah tidak mengembara ke mana-mana sehingga tidak mengganggu yang masih hidup (Hartatik, 2000).
Sandong terbuat dari bahan kayu ulin yang ditopang oleh satu tiang atau lebih. Jumlah tiang tergantung pada besar kecilnya bangunan sandong. Sandong yang ditopang oleh satu tiang biasanya mempunyai ukuran lebih kecil dari pada yang ditopang oleh dua, empat atau enam tiang. Tidak ada aturan baku tentang hal teknis pembuatan sandong. Yang pasti, sandong didirikan menghadap ke arah sungai atau jalan. Seluruh komponen sandong terbuat dari bahan kayu ulin.Teknik penyambungan antarbidang kayu tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan pasak-pasak kayu. Bentuk dasar bangunan sandong adalah segi empat panjang yang dinding-dindingnya melebar ke atas. Bentuk ini sama dengan bentuk perahu yang bagian dasarnya lebih sempit dari pada bagian atasnya dengan hiasan-hiasan yang merupakan simbol perjalanan arwah. Hal tersebut karena selain berfungsi sebagai rumah bagi arwah, sandong juga merupakan simbol perahu yang digunakan sebagai kendaraan arwah dalam perjalanannya menuju ke tempat asalnya yaitu di seberang laut.
Menurut ukuran, hiasan dan jumlah tiang sandong adalah bervariasi. Menurut ada tidaknya tiang, sandong dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu :
a. Sandong pambak atau sandong tambak, yaitu sandong yang digunakan untuk menyimpan tulang beserta peti matinya. Dalam bahasa Dayak, peti mati disebut raung, sehingga sandong ini disebut juga sandong raung. Sandong pambak atau sandong raung didirikan langsung di atas tanah tanpa menggunakan tiang atau tiang yang sangat rendah, yaitu kurang dari 50 cm. Ukuran sandong pambak sekitar 2 meter x 2 meter. Pada atap sandong biasanya terdapat hiasan berupa burung tingang, bulan bintang, kepala naga dan ekor naga pada ujung atap sandong (Foto 2).
b. Sandong tulang, yaitu sandong sebagai tempat penyimpan tulang yang berdiri di atas tiang atau kaki (Foto 3). Jumlah tiang sandong bervariasi, ada yang satu, dua, empat atau enam. Tulang-tulang tersebut diletakkan dalam kotak kayu atau guci, kemudian dimasukkan dalam sandong tulang. Ukuran sandong tulang lebih kecil dari pada sandong pambak, yaitu ± 80 cm x 150 cm.
Sebagai sebuah rumah arwah, sandong dapat menerima tambahan penghuni baru dari tiwah berikutnya asalkan masih dalam satu garis keluarga. Dengan kata lain, sandong dapat dipakai untuk beberapa kali tiwah. Setiap upacara tiwah tidak harus mendirikan sandong baru. Ada sandong yang dihias dengan cat warna-warni dan ada pula yang polos. Dinding-dinding sandong biasanya dihiasi dengan lukisan motif sulur-suluran (bajakah lelek), miniatur rumah, pagar, dan pintu semu. Hiasan itu berkaitan dengan konsep sandong sebagai rumah arwah. Sebagai sebuah rumah, sandong dilengkapi dengan pintu dan pagar. Sedangkan suluran sebagai pengikat arwah agar arwah berdiam dengan tenang dalam rumahnya. Pintu tersebut hanya pintu semu, tidak bisa dibuka. Tulang-tulang dan abu dimasukkan dalam sandong lewat atas yaitu dengan cara membuka atap sandong. Untuk sandong pambak, tulang-tulang dimasukkan lewat pintu samping. Atap sandong dihiasi dengan patung naga, burung tinggang/tingang, kadang-kadang disertai bulan dan bintang. Masing-masing hiasan tersebut mempunyai makna yang berkaitan dengan perjalanan arwah. Burung tingang adalah lambang dunia atas, naga adalah lambang dunia bawah sehingga keduanya merupakan



Foto 2. Sandong pambak di Desa Sati, Kotabesi, Kotawaringin Timur
(dok. Balai Arkeologi Banjarmasin 2000).


Foto 3. Sandong tulang diapit sapundu dan sanggaran, di Desa Kandan,
Kotabesi, Kotawaringin Timur (dok. Balai Arkeologi Banjarmasin 2002).


simbol kesatuan kosmos. Kepala naga selalu menghadap ke arah hilir karena naga diharapkan sebagai petunjuk arah bagi si arwah dalam perjalanannya menuju ke laut sebagai tujuan akhir perjalanannya. Burung tingang adalah sebagai simbol harapan agar arwah diterima dengan baik di alam arwah. Bulan dan bintang adalah simbol penerangan selama arwah dalam perjalanan menuju ke lewu tatau (Hartatik, 2000:35).
Bagi masyarakat Toraja penganut Aluk Todolo, kematian merupakan proses perjalanan dari alam dunia ke alam gaib yang disebut puya. Perjalanan tersebut diiringi tahapan upacara dengan peralatan upacara yang harus disiapkan oleh keluarga yang meninggal sebagai salah satu bentuk kewajibannya. Suku Dayak penganut Alukta, terutama golongan bangsawan (tanak bulaan dan tanak bessi) mengenal dua tahap penguburan yaitu penguburan tahap pertama (makbatang) dan penguburan tahap kedua (makpalao). Tahap pertama merupakan penguburan sementara sambil menunggu kesiapan keluarga untuk melakukan upacara pengurbanan (rambu solok). Mayat dibalut dengan kain kemudian dimasukkan ke dalam erong dan ditempatkan di atas rumah (tongkonan). Selama masa penguburan tersebut mayat diperlakukan sebagimana orang hidup yang sedang sakit. Orang dianggap telah benar-benar mati jika upacara rambu solok telah selesai dilakukan. Upacara tahap kedua atau penguburan sekunder merupakan penguburan yang bersifat permanen. Mayat yang sudah kering (tinggal kerangkanya) dimasukkan ke dalam erong baru bersama-sama dengan benda berharga sebagai bekal kubur, kemudian ditempatkan pada kompleks penguburan atau liang. Golongan bangsawan menggunakan wadah kubur berupa erong berbentuk perahu atau kerbau, masyarakat biasa menggunakan erong berbentuk babi atau ayam, sedangkan golongan terbawah atau budak (tanak kua-kua) menggunakan wadah anyaman bambu atau tikar. Akan tetapi, saat ini perbedaan bentuk erong antar golongan sudah tidak tampak lagi (Duli, 2000:1-12).
Dalam ajaran Alukta, kubur (liang) adalah tempat atau rumah bersemayamnya arwah leluhur sehingga harus dibuat senyaman dan sebaik mungkin agar arwah senang tinggal di dalamnya. Anggapan tersebut tercermin dalam penamaan kuburan sebagai benua to membali puang ( rumah para arwah leluhur) atau benua tang merambu (rumah yang tidak berasap). Suku Toraja mengenal lima jenis penguburan, yaitu :
1. Liang, yaitu penguburan dalam gua atau ceruk baik secara alami maupun buatan seperti yan g dipahatkan pada dingin batu. Penguburan liang terdiri atas beberapa bentuk :
a. Liang sili, yaitu dengan memasukkan mayat ke dalam gua pada kaki bukit atau gunung batu kemudian ditutupi dengan susunan batu kecil.
b. Liang erong, yaitu dengan meletakkan mayat di dalam gua atau ceruk dengan menggunakan wadah berupa erong.
c. Liang tokek, yaitu penguburan dengan menggunakan wadah erong dan digantung di atas langit-langit gua atau ceruk.
d. Liang pak, yaitu kubur yang dipahatkan ke dalam permukaan dinding batu yang bagian dalamnya berbentuk rongga besar yang bagian dalamnya bervariasi.
2. Tagdan, yaitu penguburan berbentuk rumah adat (tongkonan) terbuat dari bahan kayu dan diletakkan di atas puncak bukit atau tempat yang sengaja ditinggikan. Pada jaman dulu, tagdan hanya diperuntukkan bagi golongan bangsawan.
3. Patane, yaitu kubur yang merupakan perkembangan dari tagdan, bentuknya menyerupai bangunan rumah tongkonan, terbuat dari kayu dan semen, tidak harus ditempat yang tinggi dan digunakan untuk umum. Selain tempat penguburan, tagdan juga berfungsi sebagai bangunan pelindung semacam jirat yang dibangun di atas liang lahat. Tagdan dan patane banyak digunakan di daerah yang tidak memiliki banyak bongkahan atau pegunungan batu.
4. Passiliran kayu, yaitu penguburan pada pohon kayu/beringin untuk anak-anak yang meninggal belum tumbuh gigi. Mayat diletakkan di sela-sela akar atau batang pohon yang dilubangi kemudian ditutupi dengan serat ijuk.
5. Lamunan, yaitu penguburan dengan memasukkan mayat ke dalam tanah di sekitar rumah, terutama untuk bayi yang belum tumbuh gigi dengan diwadahi tembikar. Setelah masuknya agam Kristen dan Islam, kubur lamunan ini banyak digunakan. Namun demikian, untuk kubur para bangsawan, dapat dikenali berdasarkan tata letak, bentuk, tipologi wadah dan penempatan tau-tau di depan kubur masing-masing (ibid).
Erong mempunyai bentuk seperti lesung (wadah penumbuk padi) yang dengan bagian bagian bawahnya sempit kemudian melebar pada bagian atasnya, ada pula yang meyerupai bentuk babi atau kerbau (Hasanuddin, 2003:39). Erong yang lebih tua bentuknya mirip bentuk perahu yang ujung-ujungnya menyerupai bentuk haluan dan buritan perahu. Bentuk perahu tersebut diyakini sebagai kendaraan yang akan mengantar roh si mati ke alam gaib. Pada sepanjang tepian atas dan sisi depan sampai belakang terdapat ukiran bentuk naga, sedangkan bagian bawah diukir berbagai macam motif hias khas Toraja seperti bentuk spiral dan berbagai suluran. Erong untuk golongan bangsawan diukir dengan motif pa’doti langi’ (menyoroti langit) atau pa’doti siluan yang pada ujung-ujungnya ditambahkan dengan motif berbentuk kepala ular. Dalam pembagian alam raya seperti yang tervisualisasi dalam bentuk tongkonan, penggunaan bentuk ular merupakan simbol dunia bawah. Dengan demikian bagi masyarakat Toraja, puya (alam gaib) sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur berada pada lapisan dunia bawah (Said, 2004:162-164). .
Erong yang berasal dari masa sekarang ini, bentuknya tidak lagi menyerupai lesung tetapi berupa peti mati dengan tutup yang berbentuk agak bulat, tanpa ukiran bentuk ular atau kepala ular. Penggunaan simbol berupa motif pa’doti langi’ tetap diterapkan pada bagian badan erong, sedangkan motif matahari bersinar digambarkan pada erong sisi depan dan belakang. Kedua motif tersebut merupakan simbol kebangsawanan dan kemuliaan dari orang yang meninggal. Pada erong baru, di atas motif matahari bersinar ditambahkan bentuk salib yang merupakan indikasi pengaruh budaya Kristen, atau mungkin telah terjadi akulturasi antara budaya asli dengan budaya dari luar (Kristen). Jika pada erong lama, motif-motif tersebut diukirkan pada erong, tetapi saat ini motif-motif tersebut digambarkan dengan menggunakan cat kayu (Foto 4).


Foto 4. Jejeran erong dengan hiasan cat motif matahari di
liang Londa, Toraja. (sumber : Said, 2004:167).


Foto 5. Erong-erong di tebing-tebing gua Kete’ Kesu’, Tana Toraja (dok. Pribadi)

Foto 6. Erong-erong di dalam gua Kete’ Kesu’, Tana Toraja (dok. pribadi)


Pada upacara kematian masyarakat Toraja (bangsawan) penganut Aluk Todolo, dilengkapi dengan berbagai perlengkapan upacara, antara lain :
Patung simbuang sebagai penambat hewan kurban
Erong, wadah mayat berbentuk lesung (dulu) atau empat persegi panjang yang melebar pada bagian atasnya.
Tau-tau, patung dari bambu atau kayu sebagai perwujudan si mati.
Bungkang-bungkang : perlengkapan upacara kematian berbentuk menyerupai kepiting, terbuat dari bahan kayu, digantungkan pada erong selama prosesi upacara pemakaman bangsawan tinggi. Untuk mayat laki-laki, bungkang-bungkang dibentuk dengan ukiran motif pa’bua kapa’, dengan bagian bawahnya digantungkan kantong-kantong yang terbuat dari rotan sebagai tempat sirih. Untuk mayat perempuan, diberi ukiran motif pa’doti langi’ (menyoroti langit) yaitu motif berbentuk salib simetris dengan bentuk bintang di dalamnya.
Hiasan untuk binatang kurban, yaitu belo babi (hiasan untuk babi) dan belo tedong (hiasan untuk kerbau). Hiasan kerbau berbentuk segitiga menyerupai bentuk bagian depan Tongkonan yang disertai dengan gelang (komba), pollo dodo, tombi, bandera, kain sarita, daun pusuk, manik tedong (kalung kerbau). Hiasan tersebut dikenakan pada hewan kurban sebelum dikurbankan, dan biasanya diarak keliling kampung atau tongkonan (Said, 2004:163-169).

Beberapa hal yang sama antara konsep dan artefak yang digunakan berkaitan dengan penguburan Suku Dayak Ngaju dan Toraja :
Konsep kematian sebagai proses perjalanan menuju alam gaib dimana arwah akan tetap hidup, sama-sama mengandung keyakinan bahwa roh akan sampai ke tujuannya (lewu tatau – Dayak Ngaju; puya – Toraja) setelah dilakukan prosesi ritual dengan mempersembahkan kurban (tiwah – Daya Ngaju; aluk rambu solok – Toraja). Kedua suku meyakini bahwa arah matahari terbenam sebagai orientasi arwah/orang meninggal, sedangkan arah matahari terbit sebagai orientasi kehidupan.
Patung penambat hewan kurban dalam upacara kematian :(sapundu – Dayak Ngaju; simbuang - Toraja).
Penggunaan hewan kurban : kerbau dan babi
Kegiatan yang menyertai pelaksanaan upacara kematian : sabung ayam, tarian melingkar disertai nyanyian duka (manganjan – Dayak Ngaju, makbadong – Toraja).
Bentuk wadah mayat sebelum penguburan terakhir : raung (Dayak Ngaju) dan erong (Toraja) yang sama-sama berbentuk seperti perahu sebagai simbol kendaraan arwah.
Motif hiasan wadah kubur : naga/ular sebagai simbol penguasa dunia bawah, motif benda-benda langit seperti matahari, bulan bintang sebagai simbol derajat yang tinggi.
Perbedaan mencolok pada penguburan antara Dayak Ngaju dan Toraja adalah tempat penguburan sekunder, Suku Dayak Ngaju menggunakan wadah berupa rumah sandong, sedangkan pada Suku Toraja menggunakan erong yang diletakkan di liang atau gua. Perbedaan tersebut dikarenakan faktor ketersediaan bahan dan kondisi lingkungan, dimana daerah Tana Toraja sebagian besar merupakan perbukitan dan banyak gunung batu, sedangkan di Kalimantan merupakan daerah rawa dan minim bahan batu. Suku Toraja yang berdiam di daerah yang tidak banyak bongkahan batu, melakukan penguburan tagdan atau patane (dari bahan kayu dan semen). Sebenarnya, penguburan di dalam gua juga pernah dilakukan oleh Suku Dayak di Kalimantan, tetapi tidak diketahui pasti suku Dayak yang mana. Hal tersebut karena kubur dan tengkorak-tengkorak yang sengaja dikuburkan dalam gua tersebut - seperti di Gua Tengkorak Kabupaten Tanah Grogot, Kalimantan Timur dan Gua Malui, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan - ketika ditemukan sudah tidak ada lagi pendukung budayanya, bahkan masyarakat sekitar gua tidak mengenal cara penguburan tersebut. Mungkinkah pendukung penguburan dalam gua tersebut sudah musnah atau berpindah tempat? Banyaknya persamaan dan adanya perbedaan yang cukup mencolok bisa disebabkan oleh latar belakang sejarah dan pengaruh lingkungan. Belum ada teori yang secara khusus menjelaskan ada tidaknya kaitan sejarah antara suku Dayak dan Toraja, sehingga persamaan dan perbedaan tersebut harus dilihat dari berbagai aspek, seperti lingkungan, sistem kekerabatan atau sistem sosial, teknologi dan bahasa.


D. Penutup
Keberadaan sandong dan perlengkapannya tidak bisa dipisahkan dari upacara tiwah karena benda-benda tersebut didirikan dalam sebuah rangkaian upacara tiwah. Pelaksanaan tiwah merupakan salah satu tanda bakti dan penghormatan kepada orang tua, leluhur dan kerabat yang telah meninggal dunia. Selain untuk mengantarkan arwah ke lewu tatau, mereka juga berharap dengan mengadakan tiwah secara meriah akan menjadi amalan yang dapat mengangkat kedudukan pelaksananya di alam sesudah kematian nantinya. Demikian juga dalam pelaksanaan upacara kematian Suku Toraja terutama dalam aluk rapasan, keluarga almarhum melakukan upacara dengan mempersembahkan hewan kurban sebanyak mungkin supaya arwah sampai ke puya dengan sempurna. Banyaknya hewan kurban yang dipersembahkan juga menandakan baktinya kepada leluhur.
Konsep penghormatan terhadap arwah leluhur yang tercermin dalam bentuk-bentuk bangunan kubur raung, sandong dan perlengkapannya seperti sapundu, pantar dan sanggaran; erong dan simbuang merupakan tradisi yang dapat disejajarkan dengan konsep tradisi megalitik. Raung, sandong, dan erong mempunyai bentuk dasar yang mirip dengan bentuk perahu, identik dengan bangunan kubur batu prasejarah yang berbentuk perahu seperti yang terdapat di Batak, kubur batu kabang di Sumba, kalamba di Sulawei Tengah, sarkofagus di Bali dan peti mati berbentuk perahu di Selayar dan Kei. Perbedaan terletak pada materi yang digunakan, terutama pada simbuang dan liang Suku Toraja terbuat dari batu, sedangkan sapundu dan sandong pada Suku Dayak Ngaju terbuat dari bahan kayu. Perbedaan tersebut disebabkan oleh kondisi lingkungan, Kalimantan tidak mempunyai sumber bahan batu (karena tidak adanya gunung berapi) dan kaya akan bahan kayu, sedangkan di Sulawesi banyak terdapat bahan batu. Persamaan mendasar terletak pada pemujaan roh leluhur yang merupakan konsep budaya megalitik.
Berasal dari ratusan bahkan ribuan tahun silam, melalui perjalanan yang panjang, bertahan dalam keterpencilan dan akhirnya berada dalam alur perubahan. Orang Dayak penganut kepercayan Kaharingan dan orang Toraja penganut Aluk Todolo kian berkurang, prosesi dan peralatan upacara kian disederhanakan upacara seperti ukir-ukiran pada wadah kubur yang digantikan dengan gambar bercat. Ritual yang masih ada lebih terasa sebagai ikon identitas etnis daripada ritual dalam pengertian yang sebenarnya sebagaimana yang diyakini selama ratusan tahun silam.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2001. Selayang Pandang Bumi Habaring Hurung. Buku Petunjuk Pariwisata Kabupaten Kotawaringin Timur. Dinas Tenaga Kerja dan Pariwisata Kabupaten Kotawaringin Timur.

Bock, Carl. 1988. The Head Hunters of Borneo. Singapura : Graham Brash (Pte) Ltd.

Duli, Akin. 2000. Tinjauan Etnoarkeologi Bentuk-Bentuk Penguburan di Tana Toraja. Walennae No. 5. Makassar : Balai Arkeologi Makassar. 1-12.

________.2003. Refleksi Religi dan Sosial Peninggalan Megalitik di Tana Toraja. Toraja Dulu dan Kini. Akin Duli & Hasanuddin, ed. Makassar : Pustaka Refleksi, hlm. 63-86.

Hartatik. 2000. Survei Arkeologi di Kotawaringin Timur Propinsi Kalimantan Tengah. Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Banjarmasin. Belum terbit.

______. 2001. Perahu dalam Kehidupan Religi dan Kontinuitas Budaya Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Naditira Widya Nomor 07, November 2001. Banjarbaru : Balai Arkeologi Banjarmasin, hlm 99-108.

______ . 2002. Penelitian Etnoarkeologi Bangunan Kubur Suku Dayak Ngaju di Kecamatan Parenggean dan Mentaya Hulu Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Banjarmasin. Belum terbit.

Hasanuddin, 2003. Pola Pemukiman Masyarakat Toraja. Toraja Dulu dan Kini. Akin Duli & Hasanuddin, ed. Makassar : Pustaka Refleksi, hlm. 35-61.

Kadir, Harun. 1980. Aspek Megalitik di Toraja, Sulawesi Selatan. Diskusi Ilmiah Arkeologi (DIA), Cibulan 21-26 Februari 1997. Jakarta : Pusat penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.

Prasetyo, Bagyo & Dwi Yani Yuniawati, ed. 2004. Religi pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Arkeologi.
Rampai, Kiwok D. 1983. Bangunan Makam Orang Ngaju di Kalimantan Tengah, Suatu Studi Ethnoarkeologi, Tesis. Yogyakarta : Fak. Sastra, Universitas Gadjah Mada (tidak diterbitkan).

Said, Abdul Azis. 2004. Toraja, Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional. Yogyakarta : Ombak.

Umar, Fatmawati, Andi. 2003. Sejarah dan Budaya Toraja. Toraja Dulu dan Kini. Akin Duli & Hasanuddin, ed. Makassar : Pustaka Refleksi, hlm. 1-34.

[1] Suku Dayak yang dibahas dalam perbandingan ini adalah Dayak Ngaju yang berdiam di wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, sedangkan Suku Toraja adalah masyarakat Toraja yang berdiam di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
[2] Semula Katingan merupakan salah satu kecamatan dalam wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur, tetapi sejak tahun 2002 Katingan menjadi kabupaten sendiri dengan ibu kota di Kasongan. Demikian juga Pembuang telah menjadi Kabupaten sendiri dengan Ibukotanya Kuala Pembuang.
[3] Sandong adalah bangunan kubur dari kayu berbentuk empat persegi panjang dengan bagian atas melebar yang ditopang oleh 1, 2 atau 4 tiang; Sapundu adalah patung untuk menambatkan hewan kurban; pantar adalah tiang kayu yang tinggi sebagai simbol tangga arwah menuju lewu tatau; sanggaran merupakan tiang kayu tinggi dengan hiasan tajau/guci dan burung enggang sebagai simbol telah dilaksanakannya upacara tiwah.
[4] Simbuang atau menhir sebagai penambat hewan kurban pada Suku Toraja terbuat dari batu yang yang dipahat oleh seniman pahat dengan upah seekor kerbau atau lebih tergantung besar kecilnya atau tingkat kerumitannya.
[5] Rante = tempat upacara, lahan datar (Hasanuddin, 2003:35-61). Sejak masuknya agam Kristen (tahun 1920), upacara tidak lagi dilaksanakan di rante simbuang tetapi di halaman rumah atau tongkonan (ibid).

No comments: