Monday, November 19, 2007

Latarbelakang Perpindahan Lokasi Pusat-pusat Kerajaan Banjar

Oleh: Nugroho Nur Susanto

Abstract
Lokasi pusat ibu kota kerajaan umumnya dipilih tidak jauh dari pusat aktifitas, mudah dijangkau, dan strategis. Namun demikian, pada situasi menghadapi penetrasi militer dan politis imperialis tempat yang strategis ini tidak selalu menguntungkan. Agresi Belanda terus dilancarkan sebagai usaha membalas dendam dan menegakkan hegemoninya . Perpindahan pertama dilakukan terkait serangan Belanda berlangsung pada tahun 1612 yang mengharuskan pusat kerajaan berpindah dari Kuin.

Berturut-turut pusat pemerintahan kerajaan Banjar pernah berlangsung di Batang banyu, atau Teluk Selong kemudian ke Martapura, berpindah lagi ke Karang Intan, dan oleh Sultan Adam dikembalikan lagi ke Martapura. Pada tahun 1859 Keraton Banjar di Martapura dibumihanguskan dan dinyatakan telah bubar oleh Belanda. Walaupun pusat Kerajaan Banjar telah musnah tetapi, perlawanan dari keturunan Kerajaan Banjar berusaha mempertahankan eksistensinya. Mereka mengangkat pemimpin sebagai simbol hegemoni Kerajaan Banjar yang didukung oleh kekuatan rakyat. Latar belakang kekuasaan dan keamanan menyebabkan terjadinya perpindahan-perpindahan lokasi pada pusat kerajaan Banjar. Politik mengisolasi diri dan mundur dari persaingan dengan imperialis, apalagi diperparah perpecahan di dalam keluarga kerajaan membuat Kerajaan Banjar memudar.


Kata Kunci : pusat pemerintahan, lokasi ,perang Banjar, pegustian,

A. P e n d a h u l u a n
Pusat kerajaan merupakan sentral kegiatan pemerintahan, biasanya diawali dengan aktivitas yang maju di bidang ekonomi perdagangan, sekaligus menjadi pusat budaya tempat berinterksi antar kelompok masyarakat. Lokasi pusat ibu kota kerajaan umumnya dipilih tidak jauh dari pusat aktifitas, mudah dijangkau, dan strategis. Umumnya memiliki kedudukan yang sangat istimewa, yang kadang lokasi ini dipilih dengan alasan-alasan magis karena hal itu terkait dengan kepercayaan bahwa penempatannya tidak boleh sebarangan dan harus mendapat restu dari pendahu dari ”dunia” lain.
Namun demikian keadaan yang telah disebutkan diatas –tempat yang strategis dan memiliki potensi ekonomi- tidak selalu menguntungkan dari segi pertahanan dan keamanan yang membutuhkan tempat yang terlindungi secara geografis. Tempat yang strategis membuat orang mudah menjangkau, kemungkinan mobilitas musuh sewaktu-waktu bisa mengancam. Tempat yang ramai perdagangannya, membuat orang lain tergoda untuk menguasainya. Dalam situasi terjepit oleh imperialis-imberalis Barat Kesultanan Banjar menggunakan sistem pertahanan yang menggabungkan antara perlindungan benteng alam dan kemampuan dukungan gerakan pasukan . Latar belakang pemilihan pusat pemerintahan inilah yang disinyalir menyebabkan telah terjadi perpindahan pusat-pusat kerajaan Banjar. Serangan-serangan armada Belanda dan pertentangan yang terjadi antara pihak-pihak di dalam lingkup kerajaan, paling tidak telah memberi andil tentang terjadinya kenyataan sejarah tentang perpindahan-perpindahan pusat kerajaan itu.

Kronika sejarah Banjar menyebutkan bahwa kerajaan Banjar berdiri di tahun 1526 M, yang pada waktu pertama kali pusat kerajaan di Kuin , suatu daerah yang strategis di Banjarmasin yang tidak jauh dari pertemuan sungai-sungai besar. Kawasan ini begitu strategis, cocok dengan era pada saat itu. Daerah ini dialiri oleh Sungai Martapura, Sungai Kelayan, Sungai Kuin, dan Sungai Barito merupakan sungai terbesar dan paling berpengaruh.
Pada abad ke-14 dan 15 sebelum kedatangan Bangsa Barat, dapat disebut era emas periode perdagangan. Jalur laut dari Malaka, asia tenggara pada umumnya dan kepulauan Nusantara laris manis dikunjungi pedagang-pedagang Cina, India dan Timur Jauh. Pusat-pusat pelabuhan selalu identik dengan pusat perniagaan yang pada akhlirnya dinobatkan sebagai ibu kota oleh sebuah institusi kekuasaan lokal . Perlindungan terhadap pelabuhan dan aktivitas pernaigaan sebagai jaminan sehingga kekuasaan ini dibutuhkan. Sebagai imbal balik para penguasa ini mengambil upeti dan pajak .

B. Serangan Yang Membuyarkan
Kedatangan Bangsa Barat yang ditandai oleh jatuhnya Malaka pada tahun 1511 oleh Portugis membuat politik perdagangan surut kebelakang. Penaklukan terhadap Bangsa Timur oleh tentara Portugis yang sudah begitu berpengalaman menghadapi pedagang Non Kristen atau komunitas Muslim membuat mereka semakin percaya diri, melakukan penetrasi ke kantong-kantong perniagaan. Kompeni Belanda pun mengikuti jejak langkah Portugis. Imbas dari ekpansionisionis perniagaan Barat ini menyebabkan politik isolasi atau menarik diri dari persaingan dan mengundurkan lokasi pusat kerajaannya. Hal ini menimpa kerajaan-kerajaan maritim di Jawa yang semula berpusat di Demak mundur ke Pajang, kemudian ke Mataram. Hal yang sama terjadi pula pada kerajaan Birma yang mengundurkan ibu kota Birma dari Pegu, kota pelabuhan maritim ke Ava ( Mandelay) ( Reid: 312- 2004).
Malapetaka terhadap eksistensi Kerajaan Banjar ditandai oleh serangan terhadap Keraton Kesultanan Banjar yang dilancarkan oleh Belanda pada tahun 1612 (Ideham,Edwar Saleh ).Pada periode Kuin ini telah memerintah Sultan Suriansyah, sebagai Sultan pertama setelah memasuki periode Islam, yang berbeda dari periode sebelumnya yang masih menganut agama Hindu, seperti cerita tradisi yang erat dengan Peninggalan di Candi Laras dan Candi Agung. Sesudah pemerintahan Suriansyah digantikan oleh puteranya yaitu Sultan Rahmatullah dan terakhir Sultan Hidayatullah, dimana pusat kerajaan sudah dianggap sudah tak memungkinkan untuk dipertahankan akibat serangan Belanda.
Adapun sebab musabab mengapa Belanda membumihangus Kuin adalah unsur balas dendam Belanda. Dimana pada tahun 1606 rombongan Gillis Michelszoon yang dikirim oleh J.W. Verschoor telah ditipu orang ke darat dan mati dibunuh semuanya. Pembakaran dan mpenyerangan armada Belanda atas Banjarmasih, termasuk Kuin terjadi pada bulan Mai 1612 ( menurut Van Dijk). Setelah Kuin dibumihanguskan pusat pemerintahan di pinggir Sungai Martapura pedalaman, yaitu ke Pamakuan, kemudian ke Batang Mangapan dan seterusnya ke Batang banyu. Adapun toponim yang hingga kini masih dapat dijumpai misalnya nama Kuliling Benteng, di Kayu Tangi, Teluk Selong Martapura yang dahulu didsebut sebagai Batang Banyu.
Menurut keterangan Edwar Saleh, pusat keraton Banjar pertama diperkirakan diantara Sungai Keramat dan Sungai Jagabaya ( Saleh, Edwar:1983). Sedang Gunadi berpendapat pusat atau keratin Banjar adalah dilokasi Makam. Hal ini didasarkan pada tradisi penggunaan lahan yang biasa mengingatkan pada suatu tempat yang bersejarah yang tidak ditinggalkan begitu saja, tetapi dimanfaatkan untuk makam atau tempat sakral yang lain ( Gunadi, 2004). Alasan lain didasarkan pada sisa-sisa artefaktual berupa susunan batu-batu bata yang membentuk struktur atau fondasi bangunan. Hal ini mengingatkan pada konstruksi bangunan yang mengindikasikan sebuah bangunan penting yang terpengaruh dengan tradisi bangunan masa Hindu /Majapahit akhir sekitar abad -15 atau awal masa hegemoni Kerajaan Islam pada abad -16 di Jawa (pengaruh Demak). Secara makro pusat kota Banjar membentang dari Sungai Sugaling hingga Sungai Pangeran (Ibid).
Sebagaimana disebutkan bahwa akibat serangan Belanda pada tahun 1612 mengakibatkan kraton terbakar, sehingga status sebagai pusat pemerintahan tidak memungkinkan dipertahankan. Situasi demikian dianggap tidak mungkin dipertahankan, karena merasa terancam dan sudah tercemar hegemoninya sebagai pusat kerajaan. Dalam situasi demikian keluarga bangsawan Kerajaan Banjar memutuskan untuk memindahkan pusat kerajaan ke pedalaman Sungai Martapura, di Daerah Teluk Selong, Kayu Tangi atau disebut pula Batang Banyu. Pada saat itu tampuk pemerintahan Sultan Mustainbillah yang merupakan Syultan ke-4 setelah Sultan Suriansyah. Pada saat Sultan Mustain Billah, yang juga seorang anak raja yang dahulu sempat menjadi penguasa di daerah Daha ditunjuk oleh Sultan Hidayattullah (sultan ke-3 ) untuk menggantikannya kedudukan setelah beliau surut, sekaligus dalam misi menyelamatkan kerajaan dan mengobarkan perlawanan. Pada situasi yang demikian, Mustainbillah menyusuri Sungai Martapura untuk mencari daerah yang baru, sebagai pengganti pusat Kerajaan Banjar . Namun perlu diketahui pula bahwa ikatan tanah leluhur di Kuin, tidak begitu saja ditinggalkan. Hal ini terbukti pada tahun 1663 Pangeran Suryanata atau P. Adipati Anom merebut kekuasaan dan memindahkan pusat kekuasaannya di Banjarmasin disekitar Sungai Pangeran dan ia jadi Sultan dengan gelar Sultan agung (Idwar Saleh, 1983:42).
Kemarahan rakyar Banjar atas pembumingusan pusat kerajaan di sekitar Kuin ini menyebabkan kota Benteng Tatas di Banjarmasin menjadi sasaran. Pengrusakan dan pembakaran terhadap loji-loji maupun gudang-gudang Belanda terus berlangsung dari tahun 1612-1616 dan juga masih muncul pada tahun 1630 dengan tingkat yang lebih dahsyat lagi, yang sasarannya gudang-gudang lada dan rotan milik Belanda dan Inggris.

C. Batang Banyu, Teluk Selong, Sungai Kitanu dan Benteng Kuliling
Menurut tradisi lokal sejarah “Hikayat Banjar” Sultan Mustaimbillah yang memerintah dari tahun 1650 hingga 1678 M. Sultan yang bergelar Penembahan Marhum merupakan raja keempat yang memerintah Kerajaan Banjar. Beliau memindahkan pusat pemerintahan dari Kuin, Banjarmasin ke Kayutangi dekat Teluk Selong, sedang pusat kota pernah ada pemikiran akan di Pamakuan . Pada saat ini di Teluk Selong ada toponim Kuliling Benteng yang memindikasikan sebagai tempat kediaman sultan. Alasan pemindahan ini akibat dari serangan Belanda.
Tindakan pemindahan ini dirasa sangat tepat untuk menyelamatkan hegemoni Kesultanan Banjar. Apalagi pengalaman Sultan Mustain billah tidak diragukan lagi apalagi sebelum pemindahan ini Sultan Mustaimbillah pun pernah mempunyai pengalaman memerintah di Daha, yang dianggap sebagai tempat pusat cikal bakal hegemoni kerajaan sebelum para penguasa Kerajaan Banjar memeluk Agama Islam dan memindahkan pusat pemerintahan ke Kuin, Banjarmasin di waktu kemudian.
Selain nama Kayutangi, ada nama tempat Telok Selong, dan toponim Sungai Kitanu. Sungai Kitanu merupakan sungai buatan sebagai anak cabang sungai Martapura yang memanjang ke arah timur. Pada musim kemarau sungai ini biasanya kering dan air melimpah pada musim hujan. Namun, hingga saat ini sumber sejarah/ tradisi (Hikayat Banjar) tidak menyebut tokoh Ki Tanu . Dengan demikian keberadaan tokoh ini masih diragukan keberadaannya apakah tokoh ini sebagai tokoh mitos atau seorang tokoh sejarah, hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Pada saat ini tokoh sentral yang dimakamkan di sekitar Dalam Pagar atau Akar Begantung adalah seorang tokoh yang sangat penting, siapa tokoh yang dimakamkan hingga saat ini masih misterius. Pendapat pertama Ia adalah tokoh Sultan Innayatullah. sebagian orang lagi percaya bahwa makam yang dimaksud adalah makam Sultan Tamjidillah, hal ini terlihat dari penamaan yang tidak sejalan yang mencantumkan pada papan nama tokoh yang terpampang . Letak makam , tidak jauh dari keberadaan Puskesmas Dalam Pagar kearah timur sekitar 100 m , atau kearah sisi timur Sungai Martapura kira-kira 150 meter. Sedang jarak dari makam Sultan Mustainbillah sekitar 800 meter arah lurus sebelah selatan makam. Makam Sultan Inayatullah ( lebih kuat) pada saat ini telah dipugar dengan masih mempertahankan nisannya. Pada saat ini nisan dibuat dari porselin warna biru, merupakan pemugaran terbaru. Kedua nisan makam masih dipertahankan, terbuat dari batu, berbentuk langgam Aceh yang bercorak / tipe Aceh .
Makam Sultan Inayattullah, memerintah menggantikan ayahanda yang berlangsung dari tahun1620- 1637) ini terletak disebelah selatan Desa Sungai Kitanu, sekitar 500 meter dari aliran Sungai Kitanu. Makam tersebut berada di dalam cungkup hasil pemugaran baru, yang dikelilingi pagar kayu. Di sekitar cungkup tersebut tidak terdapat makam lain yang bisa dikenal . Menurut penuturan masyarakat, makam tersebut adalah makam Sultan Tamjidillah, seorang Sultan

Hasil dari aktivitas pengamatan dan informasi masyarakat, pada saat ini tersimpan sisa-sisa artefaktuan yang tersimpan di rumah seorang tokoh Karismatik Guru Nuzhan (Almarhum) yang hingga kini disimpan oleh keturunan beliau. Koleksi pertama, berupa batu bata - batu bata . Sedang koleksi penting yang lain berupa sepotong kayu Ulin, koleksi temuan batu-batu bata dan Kayu Ulin. batu bata- kayu ulin diperkirakan sejaman dengan Kerajaan Banjar masa Sultan Inayatullah Susanto,2006).
Dari hasil penelitian tim terdahulu, mengungkapkan bahwa temuan keramik asing dan gerabah juga ditemukan di dekat komplek Makam Akar Begantung, sekarang disebut Desa Akar Baru. Letak lokasi sebelah utara Sungai Batang Banyu, sekitar 70 Meter. Kedudukan sungai selain bermuara di Sungai Martapura, yang apabila ditelusuri hingga dapat menjangkau daerah Pengaron dan Kalampayan ( Astambul).

D. Pusat kota Martapura
Pusat kerajaan Banjar di Martapura berlangsung dalam waktu yang selatif lama, dibanding ketika pusat kerajaan berlokasi di Teluk Selong, Kayutangi, dekat Sungai Kitanu, maupun ketika pusat kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Suleman yang berpusat d Karang Intan. Pusat Kerajaan Banjar di Martapura dirasa cocok dengan karakter masyarakat Banjar dan budaya sungainya. Menurut catatan Keraton Banjar, Martapura, terletak sekitar Desa Keraton, Alun-alun (Pasar Bumi Cahaya) hingga Tunggung Hirang. Keberadaan Keraton, sudah sulit dikenali keletakkannya karena sudah dibumihanguskan oleh Belanda terkait dengan “Perang Banjar” pada tahun 1859. Namun pada tahun 1856 seorang pelukis Belanda yang bernama Schumaker, yang memgambarkan sebuah kraton dengan lingkungan yang tertata dengan pusat pemerintahan dan ada unsur Masjid, sebagai identitas sebuah kerajaan Islam. Mengenai unsur kraton yang ditonjolkan antara lain : halaman depan kraton atau alun-alun, yang difungsikan tempat berkumpul, tempat belajar berkuda dan tempat latihan perang. Bangunan pusat pemerintahan, obyek sepasang meriam, Masjid kraton dan rumah-rumah di sekitar siti hinggil Lukisan lain dibuat dengan menonjolkan kediaman raja dengan bagian belakang berupa masjid .

1. Peninggalan Meriam
Objek benda sejarah yang masih dapat dilihat keberadaannya dan dapat dihubungkan dengan Kerajaan Banjar adalah berupa peninggalan meriam. Pada saat survai ada beberapa temuan meriam yang mengindikasikan terkait dengan pusat Kerajaan Banjar, ketika pusat pemerintahan di Martapura. Temuan meriam di Martapura itu antara lain: (1)Temuan Meriam di Desa Murung Keraton. Meriam ini menjadi Koleksi seorang warga di Desa Murung Kraton. , menurut sejumlah warga penemuan meriam tidak jauh dari lokasi murung Kraton itu sendiri. Pada saat ini meriam ditempatkan di depan sebuah rumah warga sekitar 60 meter dari pojok Masjid Al-Mukaromah, (2) Temuan Meriam di Pasar Martapura. Meriam ini ditemukan pada tahun 2004, ketika pembuatan sarana sanitasi pasar Thoibah, Martapura. Lokasi temuan tidak jauh dari anak sungai Martapura yang berjarak sekitar 20 m, dan 100 m dari arah tenggara Masjid Al Mukaromah. Pada saat ini Meriam disimpang di Gedung Mahligai Sultan Adam, rumah Dinas Bupati Banjar, yang terletak di jalan A. Yani (Susanto, 2006).

2. Data makam Raja Banjar Martapura, Desa Keraton
Kompleks makam teretak di belakang kantor DPRD Kabupaten Banjar, yaitu di Kelurahan Kraton. Ada sebuah kompleks makam umum yang cukup luas, yang hingga saat ini masih digunakan. Komplek makam ini penting karena terdapat makam 5 orang raja yang pernah memerintah di Kerajaan Banjar ketika pusat kerajaan di Martapura Bumi Kencana. Sultan-sultan tersebut antara lain: (1) Sultan Sa’idillah (Ratu Anum) bin Inayatullah Musta’imbillah yang memerintah ( tahun 1637-1642). Makam ini terpisah dengan makam-makam sultan yang lain. Bangunan makam dibuat lebih tinggi dari area disekitarnya. Pada komplek makam yang sama ditemukan lagi makam 4 sultan periode kemudian, setelah Saidullah secara berurutan dari arah kiri adalah makam: (2) Sultan Tahlilullah, memerintah 1700-1720 (3)Sultan Badarul Alam (Sultan Kuning) bin Tahlilullah memerintah 1720-1745), (4)Sultan Tamjidillah bin Tahlilullah, yang memerintah 1745-1778m dan (5) Sultan Tahmidillah bin Tamjidillah yang memerintah tashun 1778-1808 M .
Selain ditemukan makam pada area makam ditemukan batu bata-batu bata yang mengindikasikan sejaman dengan keberadaan bangunan pusat-pusat pemerintahan atau pusat kerajaan Banjar. Selain makam raja-raja tersebut terdapat juga bata-bata lepas yang mengindikasikan batu bata kuna dengan warna merah berukuran cukup besar yang disusun sebagai jalan setapak. Di antara bata-bata tersebut ada yang masih utuh ada pula yang sudah pecah ( Ibid).

E. Periode Karang Intan dan Sultan Adam dan Hegemoni Perlawanan
Pada masa ibu kota periode Karang Intan tidak banyak informasi yang dapat dikumpulkan secara arkeologis. Ada beberpa data toponimi yang menguatkan bahwa di Desa Lihung (karang Intang) pernah dijadikan sebagai pusat kerajaan Banjar pada saat Sultan Suleman Rahmatullah. Kegiatan penelitian mendata temuan di Karang Intan yaitu peninggalan berupa makam Sultan Suleman Rakhmatullah yang memerintah tahun 1808-1825 M . Menurut informasi penduduk Kediaman raja atau kraton terletak di dua tempat yang masing-masing mempunyai alasan tersendiri. Kediaman raja pertama, disekitar makam atau Desa Lihung. Kompleks kerajaan dibangun disini dengan alasan strategis, dekat pinggir Sungai Martapura . Temuan permukaan disekitar masjid berupa pecahan keramik asing . Bangunan lain yang mengindikasikan sebagai pusat kraton adalah adanya Masjid Jami’ ( Susanto, 2006 ).
Disebelah utara masjid sekitar 70 meter ada toponin kolam raja. Area ini merupakan daerah dataran sempit yang rendah, yang terhubung dengan Sungai Martapura yang diapit oleh dua bukit kecil. Lokasi ini tidak begitu luas memanjang sekitar 50 meter dengan lebar 20 meter. Area ini kemungkinan telah banyak mengalami perubahan tentang ketinggian dan penggunaannya. Toponin Padang kraton juga dijumpai di desa sebelah timur desa Lihung yaitu di Desa Tambak Anyar, sekitar 2 km jarak lurus. Tidak jauh dari toponim padang kraton ditemukan juga toponim sumur raja ( Ibid)
Masa Pemerintahan Sultan Suleman (1808-1825 ) merupakan masa sulit terutama bagaimana menentukan bentuk hubungan dengan Belanda, sekaligus mempertahankan hegemoni kerajaan yang menghadapi situasi yang serba sulit. Setalah perjanjian antara Sultan Suleman dan Belanda ditandatangani, hegemoni kerajaan melemah, tetapi pengakuan terhadap keberadaan sultan menguat, tetapi dengan mengorbankan kekuasaan beberapa wilayah akibatnya dukungan rakyar dan kedaulatan kedalam melemah.

1. Periode Sultan Adam
Sultan Adam merupakan raja ke-11, memerintah dari tahun 1825 - 1857 menggantikan ayahanda Sultan Suleman. Sultan Adam mempunyai inisiatif mengembalikan pusat kerajaan dari Karang Intan ke Martapura yang dipandang tidak menguntungkan dari segi letak dan posisi yang tidak strategis. Perpindahan ini apakah inisiatif Sultan Adam sendiri atau memang pertimabangan dari Sultan yang lama, hal ini tidak diketahui dengan jelas. Pada waktu itu di Martapura Belanda telah mempunyai kedudukan yang kokoh, terbukti dengan adanya toponim Benteng ( SD di Kelurahan Jawa) . Peretimbangan lain Martapura dianggap daerah yang paling cocok dan sekaligus melanjutkan pendahulunya sebelum Sultan Suleman, sedang Belanda dipandang bukan sebagai ancaman lagi (?).
Namun demikian, di era Sultan Adam semangat menentang Belanda ternyata tak pernah surut, demikian juga semangat yang dikobarkan oleh Sultan Adam untuk menjalankan syariat Islam, walaupun secara politis mereka berdekatan dengan penguasa Belanda. Sultan Adam merupakan Sultan yang terkenal sebelum Sultan Abdurrahman yang memiliki misi memajukan masyarakat yang islami. Makam Sultan Adam terletak kompleks pemakaman di Kampung Jawa, Martapura.

2. Periode Sultan Abdurrahman
Sultan Abdurrahaman merupakan putra Sultan Adam dan raja Banjar yang ke -12, yang memerintah setelah Sultan Adam Al Wasikbillah. Mengenai kematian Sultan ini masih misterius apakah ada kaitannya dengan ketidaksenangan Belanda atau intrik politik di dalam keluarga kerajaan. Makamnya berada di Desa Pesayangan, di kompleks makam umum yang terdapat di tengah perkampungan penduduk. Sultan Adurraman sebagai tokoh utama diakui oleh kerabat kerajaan memerintah hanya pada tahun 1852. Tokoh ini oleh Belanda tidak dianggap sebagai seorang sultan, karena Belanda lebih mempercayakan kesinambungan pemerintahan kepada Sultan Tamjidillah (1857-1862).
Periode Sultan Ke-13 ada dua sultan masing-masing memiliki pengakuan yang berbeda, tokoh yang bersaing itu adalah: 1) Sultan Hidayatullah, yang mendapat mandat dari kakak, Sultan Adam dan dukungan rakyat, dan 2) Sultan Tamjidillah yang konon anak kesayangan Sultan Abdurrahman dan memiliki pandangan politik praktis terhadap kondisi kerajaan ( Syamsudin, 2001) dan memerintah atas dukungan Belanda yang memusatkan pemerintahan di Banjarmasin, dekat Sungai Mesah (Ibid).

3. Masa Perang Banjar
Pangeran Hidayat merupakan seorang calon sultan yang paling berhak menggantikan Sultan Abdurrahman, ayahnya. Selain sebagai putra mahkota Ia dekat dengan rakyat, karena indah perangainya. Sedang penguasa kolonial Belanda lebih memilih Tamjidillah, karena akan lebih menguntungkan dari segi politis dan kedekatan pandangan mengenai konsesi batu bara di Pengaron. Hal ini rupanya jalinan yang baik selama ini terjalin. Kedekatan Tamjidillah secara politis dibuktikan dengan pemilihan tempat tinggal yang lebih senang tinggal di Banjarmasin . Padahal Sultan Adam sangat mengharapkan tampilnya pemimpin yang dekat dengan rakyat dan berbudi mulia seperti halnya Pangeran Hidayat yang lebih memilih menyertai ulama-ulama di Martapura. Konon karena tipu muslihat Belanda yang telah meminjam cap stempel ibu yang sangat diharmati, Pangeran Hidayat terbujuk untuk berunding dan selanjutnya diasingkan ke Cianjur hingga wafatnya ( Antung Shurya Rum, 72).

Pada saat Sultan Hidayat berasil ditangkap oleh Belanda dan di buang di Cianjur hingga wafatnya. Namun demikian secara politis Pemerintahan Kerajaan Banjar belum berakhir. Karena tongkat kepemimpinan perang gerilya masih dipegang oleh keturunan keluarga Kraton, yang sering disebut Pegustian yang diwakili oleh Pangeran Antasari. Hegemoni perlawanan dan kekuasaan politis masih mendapat dukungan rakyat, walau pada saat di pelarian. Kepercayaan ini memberi energi baru bagi Pangeran Antasari yang terus mengadakan perlawanan dalam persembunyiannya. Pada akhirnya Panembahan Antasari wafat pada bulan Oktober 1862, karena sakit. Perlawanan Pegustian belum berakhir yang mengacu pada 2 tokoh sentral lainnya, yaitu Pangeran Sultan Muhammad Seman dan Muhammad said , yang merupakan keturunan dan dibantu oleh pimpinan Surapati, yang sedianya akan diperalat Belanda untuk menangkap Pangeran Antasari. Perang Banjar mereka terus mengadakan perlawanan .Dengan strategi gerilya ini Pengeran Antasari sempat menghancurkan Kapal Onrust. Di lembah Ingey, di Desa Tongka merupakan saksi bisu ahkir dari hegemoni Kerajaan Banjar secara politis, yang ditandai oleh meninggalnya Pangeran Antasari, serta ditangkapnya keturunan Pangeran Antasari, yang bernama Pangeran ‘ Mat Seman di kemudian hari pada tahun 1906.

F. P e n u t u p
Tempat yang strategis dan memiliki potensi ekonomi tidak selalu menguntungkan dari segi pertahanan dan keamanan yang membutuhkan tempat yang terlindungi secara geografis, dan menguntungkan dari strategi pertahanan. Tempat yang strategis akan terlalu mudah dijangkau oleh mobilitas musuh yang sewaktu-waktu bisa mengancam. Kekeroposan politik di dalam kerajaan dan kekalahan menghadapi penetrasi Belanda membuat hegemoni Kesultanan Banjar memudar. Kekuasaan Kesultanan menjadi mengisolasi diri dan semakin tak percaya diri. Latar belakang pemilihan pusat pemerintahan inilah yang disinyalir menyebabkan telah terjadi perpindahan pusat-pusat kerajaan Banjar.
Kronika sejarah Kesultanan Banjar menyebutkan bahwa kerajaan Banjar berdiri di tahun 1526 M, yang pada waktu pertama kali berpusat di Kuin. Serangan Belanda yang berlangsung tahun 1612 membuat kerusakan dan kebakaran yang hebat di Keraton Banjar yang berpusat di Kuin. Perpindahan dari Kuin pusat pemerintahan kerajaan Banjar pernah berlangsung di Batang banyu, Teluk Selong yang diperintahkan oleh Sultan ke-4 Sultan Mustainubillah dan Inayatullah, kemudian berpindah ke Martapura untuk waktu yang agak lama oleh empat masa kasultanan. Perpindah selanjutnya ke karang Intan, oleh Sultan Suleman dan kembali lagi ke Martapura. Pada tahun 1859 Keraton Banjar di Martapura dibumihanguskan dan dinyatakan telah bubar. Perlawanan dan keturunan Kerajaan Banjar berusaha mempertahankan keberadaan dan eksistensi Kerajaan Banjar dengan mengangkat pemimpinnya sebagai symbol kekuatan rakyat. Tokoh-tokoh perlawana itu antara lain Pangeran Hidayattullah, Pangeran Antasari yang memimpin perlawanan hingga ke Hulu Barito dan diahkiri perlawanan Muhammad Seman anak Antasari yang mendapat dukungan dari Komunitas Dayak Siang Murung di Muara Teweh. Saksi bisu ahkir dari hegemoni Kerajaan Banjar secara politis, yang ditandai oleh meninggalnya Pangeran Antasari, pada tahun 1862 serta ditangkapnya keturunan Pangeran Antasari, yang bernama Pangeran ‘ Mat Seman di kemudian hari pada tahun 1906. Perpindahan pusat kerajaan banyak dilatarbelakangi factor politis gehemoni dan superior Belanda yang terus merorongnya.


Daftar Pustaka

Attabrani K Benteng dan Masyarakat Tabanio Bid . Permuseuman dan Kepurbakalaan
Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Prov. Kalimantan Selatan

Ideham M. Suriansyah. 2003. Sejarah Banjar. Pemerintah Prov. Kaliamantan Selatan:
Banjarmasin

Kasnowiharjo, Gunadi Dkk, 2006 Kajian Reka Ulang Replika Keraton Banjar di Kuin, Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Kalimantan Selatan: Banjarmasin

Reid, Anthony. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, LP3S : Jakarta

Saleh, M Idwar, 1981/1982 Banjarmasih Museum Lambung Mangkurat Prov. Lalimantabn
Selatan: Banjarbaru

Symsudin, Helius, 2001. Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan
Dinasti. Balai Pustaka: Jakarta


Susanto, Nugroho Nur, 2006 Penelitian Pusat-pusat Kerajaan Banjar Tahap II, LPA Balai Arkeologi
Banjarmasin: Banjarbaru

No comments: