Monday, November 19, 2007

PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM
SEBAGAI PENDUKUNG BUDAYA DI PEGUNUNGAN MERATUS

Andi Nuralang
Balai Arkeologi Banjarmasin

Abstrak
Menara air Kalimantan Selatan ada di Meratus. Jika Meratus rusak, daerah lain dipastikan banjir. Manusia sebagai bagian dari lingkungannya mempunyai hubungan timbal balik yang selaras dengan lingkungannya atau ada keseimbangan alam dalam berinteraksi. Dari semua makhluk, manusialah yang paling mampu untuk beradaptasi. Namun, intervensi manusia dengan intensitas tinggi terhadap lingkungannya maupun ekosistemnya mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekologik dan menimbulkan reaksi yang akhirnya melahirkan bencana. Oleh karena itu dalam mengeksploitasi alam hendaknya menyadari akan pentingnya alam dan jika rusak akan mempunyai akibat.
Pengembalian keasrian kawasan Pegunungan Meratus tidak bisa ditunda lagi jika ingin menyelamatkan masyarakat Kalimantan Selatan dari bencana alam dan keterpurukan dalam kemiskinan. Fakta bencana alam, baik banjir bandang, longsor hingga kekeringan yang melanda sejumlah daerah saat ini merupakan akibat kerusakan lingkungan hutan di pegunungan. Hilangnya hutan berarti akan menghilangkan lingkungan manusia dan budayanya.

South Kalimantan’s Watertower in Meratus mountain range. If Meratus break, it territory will inundated. The people is a part included have relationship balancing accordance or dropped and balance of interaction. From all the creature, the people can interaction. While it intervention with high intensity with included although ecosystem result disturbed balancing ecology until inundated. If explitation wish be aware important realm.
Return Meratus’s harmoniously cannot delay, if will become prosperity south Kalimantan from calamity and destitute. The fact calamity to the amount territory result disturbed forest in mountain. Be lost forest meaning will be lost inundated people and it culture.

Kata kunci: budaya, rehabilitasi, hutan, lahan, sumberdaya, alam, Meratus, sumber air.

I. Pendahuluan
Pemanfaatan sumberdaya alam sebagai pendukung budaya tidak terlepas dari aspek lingkungan alam, manusia dan budaya yang dihasilkannya. Konsep yang biasanya melatarbelakangi hubungan ini adalah adaptasi. Mengingat lingkungan adalah salah satu komponen dalam membentuk budaya masyarakat. Pemanfataan sumberdaya alam oleh manusia dijembatani oleh hasil karya yang dihasilkan (Prijono, 2001). Hal ini dapat ditemukan berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Banjarmasin di kaki Pegunungan Meratus telah ditemukan sisa-sisa aktivitas kehidupan masyarakat purba, temuannya antara lain penggunaan alat batu yang bahannya dari sekitar pegunungan tersebut; penggunaan sungai sebagai sumber kehidupan temuannya berupa cangkang-cangkang molusca yang dijadikan sebagai makanan; penggunaan gua sebagai tempat tinggal dan beraktivitas misalnya penguburan, (Widianto, dkk 1997; Widianto dan Retno Handini 2004; Bambang Sugiyanto, 2006).
Pegunungan Meratus membentang dari Kabupaten Banjar sampai ke Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan bahkan memasuki wilayah Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Dari sekian banyak suku yang mendiami wilayah tersebut, dapat diketahui berdasarkan sisa-sisa kehidupan yang ditinggalkan di permukaan maupun di dalam tanah. Sisa-sisa kehidupan tersebut berupa artefak maupun lingkungan tempat mereka hidup. Sedangkan pada saat ini, Pegunungan Meratus dijadikan sebagai tempat tinggal antara lain bagi Dayak Meratus. Manusia memanfaatkan sumberdaya alam melalui kemampuan teknologi dan pengetahuan yang didorong oleh ketajaman nalurinya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Kemampuan teknologi terwujud pada budaya materi hasil ciptaannya, dapat diketahui berdasarkan penelitian pada Situs Gua Babi sedangkan pengetahuan terwujud dalam tindakan yang berkaitan langsung dengan sumber kehidupan dapat diketahui dari aktivitas yang mendiami wilayah pegunungan tersebut. Dayak Meratus sebagai penghuni “nomor satu” memanfaatkan alam sebagai bagian dari budayanya. Kebudayaan yang menonjol dari budaya Dayak Meratus adalah cara mereka menyambung hidup dengan mata pencaharian bertani, uniknya cara bercocok tanamnya dihubungkan dengan religi yang mereka yakini. Misalnya upacara-upacara membuka lahan pertanian baru yang dilanjutkan sampai panen. Kesalingtergantungan antara sistem religi dan sistem ekonomi terlihat dalam cara memproduksi dan mengkonsumsinya.
Permasalahan timbul ketika manusia ingin menguasai alam melewati batas kemampuannya? Keadaan Pegunungan Meratus dimana aktivitas manusia yang beradab dan santun memelihara alam terusik. Alam tak lagi dihormati seperti hormatnya Dayak Meratus kepada alam tempat mereka hidup. Perambahan hutan dan eksploitasi besar-besaran membuat belantara Pegunungan Meratus kian hari kian kritis. Tidak tanggung-tanggung, 229 Kuasa Pertambangan (KP) secara terang-terangan merusak 87.411 hektare hutan lindung Meratus. Padahal pemegang KP tidak mendapatkan izin pinjam pakai. Penambang juga menggarap 397.770 hektare hutan produksi di daerah tangkapan air tersebut. Data Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan memperlihatkan pula setidaknya ada enam kabupaten, yang hutan lindungnya, dikapling pengusaha pertambangan. Paling banyak di Kabupaten Tabalong (dimana Situs Gua Prasejarah yang potensial adalah di kabupaten tersebut).
Pengembalian keasrian kawasan Pegunungan Meratus tidak bisa ditunda lagi jika ingin menyelamatkan masyarakat Kalimantan Selatan dari bencana alam dan keterpurukan dalam kemiskinan. Fakta bencana alam, baik bandang, longsor hingga kekeringan yang melanda sejumlah daerah di Tanah Air saat ini merupakan akibat kerusakan lingkungan hutan di pegunungan. Akibat penambangan dan penebangan liar di kawasan ini, tercatat 3.147.464.578 hektare dalam kondisi kritis. Luas lahan yang demikian ini menunjukkan pertambahan terus menerus, sehingga mengancam kelestarian lingkungan hidup di Kalimantan Selatan. Pemerintahpun segera meluncurkan program rehabilitasi untuk mengantisipasi kian parahnya lingkungan berikut dampak yang dialami masyarakat Kalimantan Selatan. Diantaranya dicanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Di Kalimantan Selatan, gerakan ini menargetkan 349.912 hektare dari 3 juta hektare lahan rehabilitasi di Indonesia. Apalagi secara hukum, penambangan dan penebangan kayu tidak sesuai peruntukkan sehingga harus dihentikan.
Kondisi kerusakan hutan Indonesia dewasa ini sangat mencemaskan. Oleh karena itu, upaya penyelamatan hutan dan lingkungan serta sumber daya alam menjadi niscaya. Saat ini telah 59 juta hektare kawasan hutan rusak dan kerusakan itu masih terus bertambah dua juta hektare lebih setiap tahun, akibat illegal logging yang merusak ekosistem flora dan fauna. Kerusakan itu tidak hanya mempercepat kepunahan flora dan fauna yang tak dimiliki bangsa lain, tetapi menimbulkan berbagai bencana seperti banjir dan tanah longsor, kesulitan air, perubahan iklim dan kebakaran hutan yang kemudian menimbulkan ekspor asap ke negara tetangga yang cukup memalukan bangsa.
Mari kita canangkan perang terhadap penebangan liar. Kita berantas pencurian hasil hutan dan perdagangan gelap kayu hutan curian itu ke luar negeri serta semua aktivitas yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Kondisi ekosistem di pegunungan Meratus saat ini, banyak ditemukan lubang-lubang tambang yang tidak reklamasi. Areal hutan alam di Kalimantan Selatan tinggal 4.175.414 hektare, sebagian besar di kawasan Meratus. Pegunungan Meratus harus dipertahankan. Semua pihak harus menghentikan segala bentuk kegiatan penambangan dan penebangan hutan, terutama dikawasan yang dilindungi. Pemerintah harus menjamin tidak ada lagi alih fungsi lahan konservasi untuk kegiatan lainnya. Kemana Dayak Meratus di”eksodus”? jika lahan hidupnya sudah hancur?
Dikhawatirkan rencana PT Krakatau Steel, pengolah bijih besi justru memperparah lingkungan Kalimantan Selatan. Potensi bijih besi di Meratus memang sangat besar. Jika dieksploitasi, Kalimantan Selatan akan menghadapi masalah besar karena merusak kawasan sumber air utama bagi masyarakat Kalimantan Selatan. Mendukung program penyelamatan lingkungan, Departem Kehutanan menyetop 107 pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dari kawasan konsesi. PT Kayu Lapis Indonesia adalah satu diantara banyak pemegang saham HPH yang sudah dibidik. Laju deforestasi Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Setidaknya deforestasi menimpa 1,9 juta hektare dalam 5 tahun terakhir sejak 2000-2005. melihat fakta itu, dephut berencana melakukan audit total terhadap pemegang HPH. Itu sebabnya revisi Perda tentang tata ruang Kalimantan Selatan dipastikan Meratus diberi ruang khusus demi menjaga kelestariannya (Bpost, Senin, 24 April 2006 hal. 1).

II. Potensi Kalimantan Selatan
Keinginan untuk ekspansi mendirikan pabrik baja di Kalimantan Selatan, setelah di Cilegon (Krakatau Steel), tampaknya cukup beralasan. Pasalnya, potensi bijih besi di wilayah Kalimantan Selatan sangat menjanjikan yakni mencapai 50 miliar ton lebih. Berdasarkan data Seksi pengembangan Geologi dan Sumber Daya Mineral Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Selatan tahun 2002, potensi bijih besi yang tersebar di 15 lokasi pada empat kabupaten yakni Tanah Bumbu, Kotabaru, Tanah Laut dan Balangan. Data tersebut belum termasuk yang di Tabalong. Padahal kegiatan eksplorasi di kawasan tersebut telah ada. Dari empat kabupaten itu, Tanah Bumbu memiliki potensi terbesar. Setidaknya ada 100 juta ton sumberdaya terunjuk bijih besi berkadar sampai 44 persen.
Potensi terbesar berikutnya ada di Kabupaten Kotabaru, terekam data ada 86.120.700 ton besi-besi berkadar 46,76 persen. Bahan baku baja ini ditemui di Pulau Sebuku. Sementara, daerah yang memiliki potensi lokasi sebaran bijih besi terbanyak adalah di Kabupaten Tanah Laut. Di kabupaten ini, potensi tambang bijih besi terdapat di 11 titik yang membentang diantara daerah Tanjung (12 kilometer timur laut ibukota kabupaten, Pleihari), Gunung Batu Kora (10 kilometer timur laut Pleihari), Jajakan, Saranggalang, Takisung, Gunung Tembaga, Gunung Melati, Koratain Riam Pinang, Gunung Ulin, dan Desa Panggung di Pleihari. Jika ditotal keseluruhan potensi disana ada 3.579.200 ton. Dari segi kualitas, bijih besi di Tanah Laut merupakan yang terbaik dibanding daerah lainnya. Kadarnya lumayan tinggi yakni antara 58 persen hingga 62 persen, Kabarnya, saat ini penambangan bijih besi disana telah dilakukan. Sementara di daerah Balangan ada dua daerah berpotensi sumberdaya bijih besi. Di kawasan Gunung Tanalang dan Batu Berani terdapat kandungan sekitar 4,64 juta ton bijih besi. Dengan perkiraan potensi tersebut, apakah Kalimantan Selatan mampu memasok untuk pabrik baja seperti yang direncanakan sulit memprediksinya yang pasti tidak dapat dilakukan secara instan.(Bpost, Rabu, 5 April 2006 hal 12.).
Kabupaten Tabalong memiliki 42.821 hektare hutan lindung yang dieksploitasi 10 pemegang KP. Urutan kedua ditempati Kotabaru. Di kabupaten ini 72 KP menggarap 31.143 hektare hutan lindung. Disusul Tanah Bumbu yang memiliki sebaran KP terbanyak yaitu 118 KP di areal 9.485 hektare hutan lindung. Sementara di Kabupaten Banjar ada 3.322 hektare hutan lindung ditambang 12 pemegang KP. Tapin dengan 1.040 hektare hutan lindung dikerjakan 12 KP. Terakhir HSS dengan 5 KP dan 139 hektare hutan lindung yang dicaplok. Anehnya hanya ada dua perusahaan yang memiliki izin pinjam pakai penambangan di hutan yakni PT Arutmin di Kotabaru (izin PKP2B oleh pusat) dan PT Jorong Barutama Grestone.

Pertambangan di Hutan Lindung:

Kabupaten

KP
Luas
Banjar
12
3.322 ha
Tapin
12
1.040 ha
HSS
5
139 ha
Tabalong
10
42.282 ha
Tanah Bumbu
118
9.485 ha
Kotabaru
72
31.143 ha
Jumlah

229
49.411 ha
Sumber: Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan

Peta penunjukan kawasan hutan dan perairan di Kalimantan Selatan. Sesuai SK Menteri Perhutanan No. 453/Kpts-II/1999, total kawasan hutan lindung di Kalimantan Selatan seluas 564.139 hektare. Luasan tersebut memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan. (Bpost Selasa 25 April 2006 hal 12)

No

Jenis izin
Jumlah
Lokasi
1
Kontrak Karya (KK)
2
Banjarbaru, Banjar, Tala, Kotabaru
2
Perjanjian Penguasaan
23
Kotabaru, Tala, Tabalong, Tapin, Pertambangan Batubara HSS, HST, Balangan, Tanbu (PKP2B)
3
KP Non Batu bara
17
Tanbu, Tabalong, Kotabaru, Tala, (Termasuk bijih besi) HSU, Banjar.
4
KP eksplorasi non bara
2
Banjar, Tanbu, Tabalong, Kotabaru
5
KP eksploitasi bara
94
Tapin, Tanbu. Banjar, Kotabaru, Tala, Tabalong
6
KP eksplorasi
154
Tapin, Tanbu, Banjar, Kotabaru, Tala, Tabalong
7
KP penyelidikan umum
10
Tapin, Tanbu, Banjar, Kotabaru, Tala dan Tabalong
Sumber: Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan

Pegunungan Meratus merupakan kawasan alami yang tersisa di Propinsi Kalimantan Selatan. Kawasan ini seperti pegunungan lainnya, termasuk ekosistem yang ringkih (fragile ecosystem) alias lingkungan yang sangat sensitif akan kerusakan. Namun pada kenyataannya kerusakannya sudah ada di depan mata. Penambangan dan perambahan lahan di hutan Meratus sudah bukan rahasia lagi. Data di Dinas Kehutanan cukup mencengangkan, hutan lindung yang seyogyanya tidak boleh dirambah justru telah dicaplok oleh kuasa pertambangan (KP) yang kerjaannya mengeruk kekayaan alam Kalimantan Selatan kendati tidak mengantongi izin pinjam pakai (Baca Bpost Selasa 25 April 2006). Padahal, kawasan Meratus apalagi hutannya sangat berperan untuk menjamin stabilitas iklim, tidak hanya tingkat lokal, tapi juga nasional, bahkan internasional. Begitu juga menara air Kalimantan Selatan ada di Meratus. Jika meratus rusak, daerah lain dipastikan banjir.
Provinsi Kalimantan Selatan yang luasnya 37.530 kilometer persegi tidak lagi memiliki hutan alam tropis basah dataran rendah yang berarti karena hutannya terus dieksploitasi sejak tahun 1968. saat ini hutan alam yang tergolong cukup baik hanya di beberapa bagian Pegunungan Meratus. Namun, hutan tersebutpun tampaknya rawan eksploitasi, berubah menjadi kawasan tambang. Jika hutan di Meratus ini tak terselamatkan, Kalimantan Selatan menjadi provinsi pertama di Kalimantan yang kehabisan hutan alam. Hutan Kalimantan Selatan paling cepat habis dibandingkan dengan hutan di tiga provinsi lainnya di Kalimantan. Penyebabnya, sejak dimulai investasi penanaman modal dalam negeri tahun 1968, pendidrian industri kayu dengan kewajiban memiliki hak pengusahaan hutan (HPH) terkonsentrasi di Kalimantan Selatan. Provinsi ini jadi pilihan karena infrastrukturnya memadai dan jalur angkutan lautnya paling ramai.
Sampai tahun 2005 di Kalimantan Selatan ada 129 industri kayu, terdiri dari 14 industri kayu, terdiri dari 14 industri kayu lapis, tujuh Veneer (produk dari lapisan kayu halus), dan 108 kilang penggergajian kayu (sawmill). Industri tersebut memerlukan bahan baku empat juta meter kubik kayu per tahun. Sementara itu, jatah tebang hutan produksi Kalimantan Selatan hanya 66.000 meter kubik dan realisasinya 46.000 meter kubik pertahun. Hutan tanaman industri (HTI) menyumbang bahan baku sekitar 516.000 meter kubik pertahun. Artinya 85 persen bahan baku kayu didatangkan dari luar, seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Maluku dan Irian Jaya. Kondisi inilah yang menyebabkan banyak industri kayu rontok. Sejauh ini tiga industri kayu lapis pailit dan hampir semua industri kayu lapis lainnya mengurangi karyawan dan hanya beroperasi 30-40 persen dari kapasitas terpasang. Industri tersebut hanya beroperasi jika ada bahan baku, kalau tetap ingin ada kayu 20 tahun mendatang, mulai kini harus gemar menanam. Tanpa itu Kalimantan Selatan sulit mempertahankan industri kayunya (Bpost, Senin, 8 Mei 2006 hal. 22).
Nilai berharga hutan Meratus bagi para pekerja lingkungan, terletak pada kekayaan flora dan fauna serta lingkungannya. Eksploitasi diyakini akan menghancurkan kekayaan alamnya. Pada saat bersamaan, dari sisi bisnis, hutan Meratus adalah aset berharga yang sangat menggiurkan. Milliaran hingga triliunan rupiah berpotensi didulang, tentu dengan investasi yang tidak kecil pula. Melihat potensi alam dan budayanya, salah satu program pemberdayaan masyarakat hutan yang dinilai cocok adalah ekowisata atau hasil hutan non kayu.












III. Mitos Kearifan Dan Kerusakan Lingkungan
Ramalan suku Indian menyebutkan akan datang suatu masa ketika bumi sekarat akibat ulah manusia dan Juga disebutkan dalam Al-Qur’an ( Qur’an : S. Al-Baqarah ; ayat : 11).
Dan apabila dikatakan kepada mereka janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi mereka menjawab sesungguhnya kami hanya mengadakan perbaikan. Bahwa akan datang suatu masa bumi beserta isinya akan hancur ulah dari manusia.
Akibat lemahnya pengawasan baik karena sistem maupun sumber daya manusia, kerusakan lingkungan tetap terjadi akibat proyek pembangunan sekalipun lolos uji AMDAL. Bukan rahasia lagi, AMDAL terdegradasi menjadi formalitas perizinan berkonsekuensi biaya, bahkan seolah-olah menghambat investasi. Kondisi pelaksanaan AMDAL saat ini dinilai masih banyak menimbulkan persoalan sejak proses hingga hasil akhir di lapangan. Proses dinilai berbelit-belit dan melibatkan uang sogokan, sedangkan penerapan di lapangan jauh dari harapan.
Selamatkan hutan dan sumber daya alam lainnya sekarang juga. kondisi kerusakan hutan Indonesia dewasa ini sangat mencemaskan. Oleh karena itu, upaya menyelamatkan hutan dan lingkungan serta sumber daya alam menjadi niscaya. Saat ini telah 59 juta hektare kawasan hutan negeri ini rusak dan kerusakan itu masih terus bertambah 2 juta hektare lebih setiap tahun, akibat ilegal loging yang merusak ekosistem flora dan fauna. Kerusakan itu tidak hanya mempercepat kepunahan flora dan fauna yang tidak dimiliki bangsa lain, tetapi menimbulkan berbagai bencana seperti banjir dan tanah longsor, kesulitan air, perubahan iklim dan kebakaran hutan yang kemudian menimbulkan ekspor asap ke negara tetangga yang cukup memalukan bangsa. Dari sini mari kita canangkan perang terhadap penebangan liar, kita berantas pencurian hasil hutan dan perdagangan gelap kayu hutan curian itu ke luar negeri, serta semua aktivitas yang tidak direklamasi.
Merencanakan pembangunan harus memahami karakteristik masyarakat dimana program pembangunan tersebut menyentuh batas-batas budaya suatu masyarakat. Bercermin pada fenomena tersebut, perlu kiranya disusun program pembangunan yang betul-betul berurat nadi pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk menuangkan segala aspirasi dan kebutuhan mendesak, kemudian mendiskusikan secara musyawarah mufakat akan menjamin keberhasilan pembangunan. Dengan melibatkan partisipasi masyarakat sebagai sasaran pembangunan, maka masyarakat tidak merasa di “eksodus” di daerahnya sendiri. Realitas yang terjadi di masyarakat Indonesia menjadi bukti bahwa ketika suatu pembangunan terjadi, lahan diambilalih masyarakatnya terusik ke pinggiran. Masyarakat dan pemerintah masing-masing mempunyai peran, yang terjadikan selama ini Dayak Meratus dinafikan perannya sekaligus sebagai penyebab kerusakan hutan di Pegunungan Meratus, berkat ladang berpindahnya.
Pemberdayaan masyarakat adalah untuk medelegasikan sebagian otoritas pembangunan artinya melibatkan masyarakat dan tidak mengesampingkan perannya. Rencana pembangunan pabrik baja diharapkan tidak meninggalkan masalah baru bagi lingkungan di Pegunungan Meratus masalahnya menara air Kalimantan Selatan ada di Pegunungan Meratus. Kalau Meratus sampai gundul bencana akan melanda Kalimantan Selatan. Jalan terbaik jika hutan produksi dan hutan lindungnya tidak disewakan dan dimanfaatkan untuk perorangan atau sekelompok orang lagi.
Kemana Dayak Meratus akan melanjutkan budaya bertanamnya ketika lahannya tidak ada lagi ? masyarakat dayak identik dengan praktek perladangan berpindah[1]. Kondisi fisik lahan yang dikelilingi kawasan hutan alam tropis, faktor demografis penduduk yang terus bertambah, tingkat kesuburan lahan, kelimpahan potensi sumber daya hutan serta sistem sosial budaya masyarakat setempat telah menjadikan sistem pertanian ladang berpindah merupakan mata pencaharian utama masyarakat sejak beberapa generasi. Selain mampu memenuhi kebutuhan ekonomis, praktek perladangan berpindah juga terbukti mampu mewujudkan harmonisasi hubungan antar komunitas. Namun yang paling penting, praktek perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat selama beberapa generasi terbukti mampu mewujudkan kelestarian fungsi ekonomi hutan tanpa mengabaikan peran lingkungan maupun keberlanjutan peran sosial budaya sumberdaya hutan.
Persoalannya, praktek pertanian ladang mengalami distorsi konseptual yang berdampak sangat negatif terhadap eksistensi dan kelangsungannya. Salah satu distorsi persepsi tentang praktek pertanian ladang berpindah adalah stigma yang menyatakan bahwa praktek pertanian tradisional ini merupakan salah satu sumber kerusakan lingkungan. Dalam kamus komunitas modern dinyatakan bahwa ladang berpindah adalah sebuah bentuk praktek pengelolaan lahan yang konon tidak ekonomis dan tidak akrab lingkungan. Maka, perladangan yang sesungguhnya merupakan sebuah sistem yang demikian adaptif terhadap lingkungannya., mengalami pergeseran. Sebuah marginalisasi. Perladangan yang sarat dengan kearifan kini tergerus oleh berbagai perubahan yang-sebagian diantaranya- dilakukan secara sistematis.
Tidak mengherankan apabila dalam perjalanan waktu untuk mempertahankan eksistensi dan segenap kearifan, sistem pertanian ladang terus mengalami tantangan dan hambatan. Terdapat tiga persoalan pokok yang menghantui eksistensi sistem perladangan, yaitu 1) tekanan penduduk, 2) hilangnya kesuburan lahan, dan 3) kebijakan pemerintah yang tidak memihak. Menghadapi tekanan penduduk dan tingkat kesuburan tanah yang makin menurun, kearifan masyarakat diyakini akan mampu mengakomodasikannya, namun menghadapi kebijakan yang tidak memihak, terbukti masyarakat tidak berdaya menghadapinya (Nugraha, 2005).
Untuk menjembatani masalah eksploitasi yang tak terkendali saat ini, sebaiknya dilakukan langkah-langkah konkrit dengan penerapan Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) yang harus betul-betul mendapat pengawasan, baik dari pemerintah, masyarakat maupun pemegang proyek tersebut. Semua kebijakan untuk kelestarian sumberdaya alam dan sumberdaya budaya tergantung pada masyarakat, dan pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan akan dimintai pertanggungjawabannya, apabila hal ini terabaikan, maka akan dianggap sebagai pemerintah yang tidak mempunyai sense of responsibility terhadap sumberdaya tersebut. Pengelolaan yang paling cocok yaitu, melalui strategi ramah lingkungan. Oleh karena itu, hubungan timbal-balik antara pembangunan dengan lingkungan, lingkungan dengan sosial-budaya, dan sosial-budaya dengan pembangunan. Kurangnya informasi dan kerjasama dengan masyarakat mengakibatkan pembangunan kurang berwawasan lingkungan dan mengenai pentingnya warisan budaya bagi perkembangan bangsa. Konflik perbedaan kepentingan terjadi akibat ketidaksamaan persepsi dalam wawasan, atau dalam memberikan arti dan makna bagi benda cagar budaya dan lingkungannya. Suatu hal yang menjadi keprihatinan kita sampai sekarang adalah masih kurangnya pemahaman dan penghargaan masyarakat terhadap nilai-nilai warisan budaya bangsa. Pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) dapat dilakukan terbatas, tidak melebihi batas yang dibutuhkan, dan tetap berjalan pada aturan yang ditetapkan yaitu, pengelolaan lingkungan yang berbasis alam. Hilangnya sumberdaya alam dan lingkungannya otomatis akan menghilangkan sumberdaya budaya manusia pendukungnya.

IV. Penutup dan Rekomendasi
Pengembangan dan pembinaan kebudayaan nasional bangsa Indonesia tidak dapat berjalan lancar tanpa adanya keseimbangan dalam wawasan. Kondisi di lapangan terjadinya kerusakan dan ketidakseimbangan ekosistem alam, lingkungan dan nilai budaya disebabkan ketidaksamaan persepsi dalam wawasan. Suatu hal yang menjadi keprihatinan kita sampai sekarang adalah masih kurangnya pemahaman dan penghargaan masyarakat terhadap nilai-nilai warisan budaya bangsa baik itu hanya sebagai nilai budaya, budaya materi maupun lingkungan alamnya. Sumberdaya budaya dan nilai suku Dayak Meratus akan hilang seiring dengan hilangnya lingkungan mereka hidup. Masalahnya yang belum tuntas sampai kini bagaimana menyamakan persepsi bagi pemilik kepentingan. Salah satu langkah nyata yaitu meningkatkan pengetahuan dan penyadaran tentang pentingnya budaya, nilai budaya dan lingkungannya bagi berlangsung suatu komunitas. ini semua adalah tugas bersama bagi instansi terkait, pemerintah, masyarakat dan seluruh komponen masyarakat.
Dibutuhkan kemitraan dalam semangat saling memahami dan saling percaya yang positif konstruktif diantara berbagai stakeholders demi menjamin lingkungan hidup menjadi bagian integral dari keseluruhan proses pembangunan. Keberhasilan pembangunan berkelanjutan memerlukan suatu sinergi positif antara tiga kekuatan utama, yaitu: 1). Negara (pemerintah) dengan kekuatan politiknya, Sektor swasta dengan kekuatan ekonominya, dan masyarakat dengan kekuatan moralnya.
Adakah keinginan untuk menjadi greenpeace-greenpeace yang akan menyelamatkan hutan, lingkungan dan budaya Kalimantan Selatan ?

Daftar Pustaka

Ariyanto, Gesit.
2006 Cagar Biosfer di Persimpangan Jalan. Kompas, Selasa 2 Mei 2006 hal 13 & 14.
Keraf, A.Sonny.
2006 Etika Lingkungan.Jakarta: Kompas
Maunati, Yekti
2004 Identitas Dayak Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS
Mundardjito
1993 Pertimbangan Ekologi dalam Penempatan Situs masa Hindu Budha di daerah Yogyakarta : Kajian Arkeologi Ruang Skala Makro: Tesis, Jakarta, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Nugraha, Agung
2005 Rindu Ladang Perspektif Perubahan Masayarakat Desa Hutan. Banten: Wana Aksara.
Nuralang, Andi
2005 Huma Tugal: Sistem Ekonomi Orang Bukit, Tradisi dan Refleksi Nilai-Nilai Lokal dalam Buku Dinamika Kearifan Lokal Masyarakat Kalimantan. Banjarbaru: IAAI Komda Kalimantan.
Prijono, Sudarti
2001 Sumberdaya Alam Situs Gunung Lumpang, Kabupaten Cirebon sebagai pendukung Budaya Megalitik dalam Buku Manusia dan Lingkungannya Keragaman Budaya Dalam Kajian Arkeologi. Bandung : Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Jawa Barat.

Radam, Noerid Haloei
2001 Religi Orang Bukit, Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi Dalam Kehidupan Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Yayasan Semesta.
Siahaan, N.H.T.
2007 Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan. Jakarta: Pancuran Alam.
Soeroso
1994 Pola Persebaran Situs Bangunan masa Hindu Budha di Pesisir Utara Wilayah Batujaya dan Cibuaya, Jawa Barat : Tinjauan Ekologi: Tesis, Jakarta, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Sugiyanto, Bambang
2006 Masalah Pelestarian Gua-Gua Penguburan di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Naditira Widya No. 16. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin.
Widianto, Harry, Truman Simanjuntak, dan Budianto Toha.
1997 Ekskavasi Situs Gua Babi, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan. Berita Penelitian Arkeologi No. 1. Banjarmasin: Balai Arkeologi Banjarmasin.
Widianto, Harry dan Retno Handini
2004 Karakter Budaya Prasejarah di Kawasan Gunung Batubuli, Kalimantan Selatan: Mekanisme Hunian Gua Pasca-Plestocen. Berita Penelitian Arkeologi No. 12. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin.
[1] Perladangan berpindah menghadapi dua issu besar yang saling berlawanan. Mitos kearifan di satu sisi dan mitos kerusakan di sisi lain. Dalam mitos kearifan diakui merupakan sebuah praktek yang penuh dengan kearifan karena kegiatannya sangat adaptif terhadap ekosistem dan alam sekitarnya. Juga menjaga kelestarian keragaman hayati atau biodiversitas, utamanya keanekaragaman tanaman. Hal ini disebabkan pertanian ladang berpindah telah menerapkan konsep diversifikasi tanaman. Dalam satu ladang ditanam beragam tanaman. Sistem pertanian ladang berpindah menerapkan sistem polikultur yang sesuai landscape hutan tropis yang bersifat beragam. Dalam mitos kerusakan diakui perkembangan demografi dan penyempitan lahan sebagai akibat pertambahan penduduk. Faktor tersebut telah mengakibatkan masa bera menjadi semakin menurun yang berdampak terhadap kesuburan tanah. Jelas hasil panen jauh berkurang. Juga faktor budaya tanam tinggal. Dengan menurun tingkat kesuburan, maka pertanian ladang berpindah membutuhkan perawatan yang lebih intensif. Dengan budaya tanam tinggal mengakibatkan sistem perladangan semakin tidak ekonomis ditengah berkembangnya budaya masyarakat yang kian berorientasi pada aspek-aspek ekonomi (Nugraha, 2005).

No comments: