Tuesday, November 13, 2007

MEMPOSISIKAN MASYARAKAT SEBAGAI GARDA DEPAN PELESTARI SUMBER DAYA ARKEOLOGI

Wasita

Abstrak

Warisan purbakala yang banyak merupakan tantangan bagi arkeolog untuk dapat melestarikannya (dengan baik). Pelestarian adalah pekerjaan yang tidak ada batas waktunya utnuk diselesaikan. Karena banyaknya warisan budaya di indonesia maka pelibatan masyarakat adalah cara paling murah (yang bisa adilakukan). Tetapi upaya tersebut tidak mudah. Inovasi dalam strategi harus terus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarkat tentang arti penting warisan budaya sehingga masyarakat menjadi kekuatan paling dasyat yang dapat diandalkan untuk menjadi instrumen pelestari warisan budya.

Abstract

Many Cultural heritages were challenge for archaeologist to conservation. Conservation was working no time limit to finish. Because many cultural heritage in Indonesia so involving societies is cheaper manner But, that effort is not essay. Innovation in method have to continuous for increase of societies awareness about importance value of heritage culture so they will be a stronger terrifying can be rely on for as instrument a conservation.

Kata kunci: masyarakat, pelestarian, sumberdaya arkeologi

A. Pendahuluan
Masyarakat merupakan kekuatan paling dahsyat yang kita miliki yang dapat dimanfaatkan untuk berama-sama turut menjaga keutuhan dan kelestarian benda cagar budaya. Ia menempati setiap ruang dan lapisan di Republik ini. Oleh karena itu, kekuatan yang dimiliki olehnya sangat strategis untuk turut mengamankan sumberdaya arkeologi (SDA). Permasalahanya, bagaimana kita mampu/dapat membangkitkan kekuatan tersebut dan memanfaatkannya untuk pelestarian dan pengamanan?

Nurhadi dalam tulisannya yang berjudul "Penelitian Arkeologi dari GBHN ke GBHN" (2000: 264-265) menyitir pemikiran Bung Karno yang menyinggung tentang hasil penelitian ilmiah baru akan memiliki makna apabila dapat dimanfaatkan dan memberikan dampak positif bagi kehidupan umat manusia. Ia menyebutkan bahwa penelitian arkeologi harus mampu memberikan akuntabilitas publik tanpa mengesampingkan akuntabilitas akademiknya. Pemikiran yang demikian ini menuntut kita untuk dapat bekerja yang memiliki dampak yang baik untuk kepentingan masyarakat dan Bangsa Indonesia.

Di sisi lain, pemahaman masyarakat terhadap arkeologi masih cukup beragam. Ada sebagian masyarakat yang antipati dengan tinggalan masa kolonial, karena hal tersebut dianggap merupakan bukti kekuatan bangsa asing dalam melakukan penindasan di Indonesia, sehingga bukti tersebut tidak perlu dilestarikan. Sementara sebagian masyarakat berpandangan demikian, di pihak lain kiprah arkeologi masih cenderung hanya bergerak dalam ruang lingkup profesionalisme yang terbatas. Oleh karena itu Kosasih mengusulkan agar dalam era pembangunan dewasa ini perlu adanya pengembangan visi bagi dunia arkeologi di Indonesia. Pengembangan visi yang dimaksud adalah dengan mencanangkan perspektif yang lebih luas tentang peranan dan fungsi arkeologi dalam pembangunan nasional, agar arkeologi dapat lebih bermakna bagi kehidupan bermasyarakat (Kosasih, 2000:202) bahkan juga berbangsa dan bernegara.

Ternyata upaya untuk dapat menyentuh masyarakat dalam tataran yang lebih luas guna memberikan kontribusinya saja masih merupakan suatu masalah. Jika demikian halnya, maka keinginan untuk melibatkan masyarakat menjadi garda depan pelestari (SDA) akan mendapat cibiran dari mereka. Oleh karena itu, keinginan untuk dapat memposisikan masyarakat sebagai pelestari perlu kerja keras para arkeolog. Dan, untuk mewujudkannya apa yang harus dilakukan? Langkah apa saja yang harus ditempuh? Dimulai dari mana langkah tersebut? Berapa lama waktu yang dibutuhkan? Apa kendalanya dan, bagaimana mengatasinya?

B. Masyarakat dan Sumber Daya Arkeologi di Indonesia
Keberadaan Benda Cagar Budaya (BCB) atau Sumber Daya Arkeologi (SDA) ada yang jauh dari permukiman masyarkat tetapi ada juga yang berada di tengah-tengah masyarakat. BCB yang berada jauh dari permukiman umumnya karena merupakan tinggalan dari jaman pleistosen dan holosin yang keberadaannya air laut tidak sesurut sekarang ini sehingga yang dahulu ada di dekat laut kini menjadi berada di sebuah lereng bukit/gunung yang tinggi dan terjal. Karena kondisi sekarang telah terjadi pencairan es dan surutnya permukaan air laut, menjadikan posisi permukiman manusia prasejarah yang dahulu ada di dekat laut kini berubah menjadi suatu daerah yang terpencil dan jauh dari laut. Kondisi ini akan menjadikan manusia yang hidup kemudian kurang memilih tempat tersebut untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Sehingga daerah situs tersebut menjadi berada jauh dari permukiman masyarakat sekarang. Contoh untuk situs ini antara lain, situs prasejarah di Gunung Marang, Kalimantan Timur yang berada jauh di tengah hutan Kabupaten Kutaitimur, dan sebagian Berau, Kalimantan Timur

Sedangkan situs yang berada di tengah-tengah masyarakat dewasa ini karena umumnya BCB tersebut merupakan bagian dari sejarah nenek moyangnya yang terpaut tidak telalu jauh. Selanjutnya generasi penerusnya akan melanjutkan kehidupan mereka di lokasi yang dahulu dijadikan sebagai tempat nenek moyangnya bermukim. Oleh karena itu, BCB dari nenek moyangnya tidak akan jauh dari permukiman generasi penerusnya. Contoh situs situs yang demkian ini adalah situs-situs di perkampungan Dayak, situs Islam, dan bahkan kolonial.

1. Beberapa Contoh SDA yang Telah Ditangani
Beberapa situs monumental yang besar di Jawa banyak yang telah ditangani sehingga tertata dengan rapi. Hal ini dapat kita lihat pada Candi Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, dan mungkin masih ada yang lain lagi. Situs ini cukup terjaga, bahkan untuk Candi Borobudur ada sekelompok masyarakat yang juga turut memanfaatkan candi untuk kepentingan kelompok mereka. Memang ada dilema dalam hal ini. Dimana candi yang dahulu ditemukan dalam kondisi sebagai dead monument, maka kini ada sekelompok masyarakat yang kembali memanfaatkan candi untuk kepentingan ritual mereka. Dalam aturan UU Kepurbakalaan yang ada di Republik ini mestinya hal tersebut tidak diperbolehkan. Akan tetapi kenyataanya hal tersebut masih saja terus berlangsung hingga dewasa ini.

Ada dua hal yang sangat bertentangan dalam hal ini. Pertama, pola pemanfaatan kembali atas dead monument menjadi living monument adalah tindakan yang tidak diperbolehkan. Kedua, ada manfaat yang selama ini diperoleh atas dipergunakannya candi dan kawasan tersebut untuk kegiatan sekelompok masyarakat, yaitu ada kekuatan sekelompok masyarakat yang turut menjaga keutuhan candi karena menyangkut kepentingan mereka.

Memang sudah sepantasnya aturan untuk tetap kita tegakan dan upaya pelestarian tetap kita jalankan. Dua-duanya harus tetap seiring. Aturan tidak memberi peluang untuk menghidupkan dead monument karena pada prisipnya beberapa tinggalan masa lalu kita harus kita sadari bahwa hal tersebut merupakan bagian dari kegiatan nenek moyang yang untuk sekarang ini sudah tidak mendapat pengakuan dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia. Contoh kepercayaan animisme dan dinamisme yang menyembah benda mati dan benda hidup yang ada di sekitarnya. Karena menghidupkan kembali dead monument, misal penyembahan batu besar atau arca menhir di Gunungkidul yang dahulu dilakukan oleh nenek moyang dan ditemukan dalam keadaan tidak dipergunakan lagi, maka hal tersebut tidak diperkenankan. Berkaitana dengan pernyataan tidak diperkenankannya menghidupkan kembaali dead monument menjadi living monument, maka yang demikian ini rasanya terjadi juga pada situs Candi Borobudur.

Tidak hanya itu, di Sangiran juga banyak kita jumpai beberapa orang yang justru beraktivitas melakukan pencarian fosil untuk diperdagangkan. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan upaya pelestarian. Sangiran sebenarnya merupakan situs besar dan di tempat tersebut juga berdiri sebuah kantor yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) untuk menangani situs tersebut karena Sangiran merupakan salah satu situs warisan dunia yang harus dilestarikan. Sangiran yang merupakan salah satu bukti sejarah perjalanan hidup manusia ternyata mendapat banyak perhatian masyarakat yang tidak hanya untuk menjaga keutuhan tinggalan yang ada di dalamnya, tetapi juga ada sebagian yang justru ingin mencari keuntungan dari situs tersebut dengan cara yang tidak benar. Upaya-upaya penjualan temuan fosil oleh masyarakat perlu mendapat perhatian untuk segera ditangani.

Sementara itu perilaku masyarakat sekitar Sangiran yang umumnya berubah dengan banyak ditemukannya fosil dan beberapa kelompok atau oknum ternyata mencoba mencari peluang untuk memperoleh fosil tersebut dari masyarakat. Bahkan masyarakat mulai mengenal adanya insentif atas penemuan fosil, telah ada atau terjadi sejak masa –masa penelitian Von Koenigswal, tahun 1934-1936 (Sulistyanto, 1995). Memang perubahan perilaku masyarakat tidak hanya karena pendirian museum di sana. Menurut Bambang Sulistyanto (2001:223) paling tidak ada beberapa hal yang menjadikan perubahan perilaku tersebut yaitu antara lain: perubahan gaya hidup, tersedianya fasilitas umum, munculnya sindikat fosil, kemampuan memalsu fosil, fosil sebagai barang komoditi, terbukanya lapangan pekerjaan, alih mata pencaharian, peningkatan kesejahteraan dan pergeseran peranan ibu.

Memang upaya pelestarian sangat bagus jika bisa melibatkan masyarakat. Hanya saja tidak harus melibatkan atau membentuk sekelompok masyarakat untuk kembali memanfaatkan dead monument manjadi living monument agar mereka selain memanfatkan sekaligus menjadi garda depan dalam pelestariannya. Pelibatan masyarakat untuk pelestarian mestinya dilakukan dengan menanamkan kesadaran mereka akan warisan leluhur yang harus dihargai, diteladani nilia-nilai luhurnya, dan dijadikan kebanggaan warisan sejarah dan kebudayaan nenek moyang kita untuk dijadian sebagai bagian dari identitas kebangsaan kita

2. Beberapa Contoh SDA yang Belum Ditangani
Sumberdaya arkeologi yang belum ditangai dan bahkan benda/situs tersebut mendapatkan perlakuan yang bersifat merusak juga cukup banyak kita temui. Kawasan Situs Gua Babi merupakan salah satu contoh yang ada di Kalimantan. Situs ini merupakan situs hunian prasejarah yang cukup lengkap yang pernah ditemukan di Kalimantan. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin yang tertuang dalam Laporan Penelitian Arkeologi (LPA) dan Berita Penelitian Arkeologi (BPA), pada prisnsipnya disebutkan bahwa kawasan situs Gua Babi merupakan situs prasejarah dengan potensi yang cukup besar, temuanya meliputi peralatan mecari makan, alat batu dan tulang, alat dapur (gerabah), sisa makanan (cangkang moluska), perhiasan, dan tulang manusia (kubur) (Widianto dkk, 1997; Widianto dan Retno Handini, 1998/99; dan 2003).

Intensitas penelitian yang cukup sering dilaksanakan dan tidak sepadan dengan penyuluhan yang dilakukan ternyata membawa persepsi yang salah di masyarakat. Buktinya, ketika penelitian tersebut usai dan selanjutnya berhenti dalam beberapa tahun, ternyata pada tahun 2002 diketahui masyarakat telah melakukan penggalian ulang pada situs tersebut. Penggalian ulang dilakukan persis pada kota-kotak gali yang dahulu pernah diekskavasi dalam penelitian arkeologi. Penggalian ulang oleh masyarakat tersebut didorong oleh keingintahuan mereka akan isi kotak gali tersebut. Perlakuan “istimewa” terhadap kotak gali yang ditutup /diurug lagi dengan dilapisi plastik pada dasar kotaknya tersebut justru menimbulkan keingintahuan mereka yang besar. Karena tidak ada informasi yang disampaikan ke masyarakat, maka mereka berusaha mendapatkan sendiri informasi yang mereka inginkan tersebut dan dengan cara mereka sendiri, yaitu dengan cara membongkar ulang kotak tersebut untuk dapat melihat langsung apa yan ada di dalamnya.

Sementara itu penggalian juga dilakukan pada beberapa gua yang sebelumnya belum dilakukan penelitian. Penggalian pada gua yang demikian ini dimaksudkan untuk mencari guano untuk pupuk sehingga hasil panen sawah dan ladang mereka meningkat. Dan, penggalian ini ternyata juga cukup merusak karena mereka tidak saja menghabiskan guano yang ada pada lapisan gua yang mereka gali, tetapi juga melanjutkan penggaliannya hingga ke lapisan budayanya.

Memang situs ini belum ditangani dalam tataran yang intensif. Oleh karena itu, pengamanan saat itu diserahkan ke juru pelihara yang tinggal di kampung tersebut. Ketika tata organisasi di departemen yang menaungi bagian kebudayaan saat itu mengalami perubahan, maka keberadaan juru pelihara di daaerah tidak terakomodir. Oleh karena itu, secara tiba-tiba mereka tidak memperoleh gaji. Dalam kondisi ini mereka (termasuk juru pelihara situs Gua Babi) mengalihkan pekerjaannya ke ke bidang lain. Dengan demikian efektivitas kerja juru pelihara sudah tidak ada lagi. Pada saat tersebut masyarakat mulai melihat potensi batu gunung sebagai aset yang dapat dijual. Oleh karena itu, sebagian masyarakat mulai manambang batu untuk dijual. Kini penambangan tersebut makin meluas. Tidak hanya di kawasan Gua Babi, tetapi juga di daerah lain. Dan, tidak jarang merusak gua-gua yang dahulu merupakan situs arkeologi (Sugiyanto, 2002).

Memang, gua-gua ini umumnya ada di luar permukiman. Namun demikian bukan berarti bahwa situs–situs yang ada di tengah–tengah perkampungan akan aman dari jarahan tangan jahil. Baluntang yang digunakan sebagai salah satu kelengkapan upacara kematian penganut kaharingan keberadaanya juga ditengah-tengah kampung mereka sendiri. Yang demikian ini pun banyak yang hilang. Entah dicuri orang, entah dijual oleh pemiliknya sendiri. Meskipun kita belum dapat membuktikan, yang jelas kerusakan terjadi baik pada situs/benda arkeologi yang ada di tengah-tanegah permukiman maupun yang jauh dari permukiman, yang sudah mendapat penanganan intensif (Sangiran), yang sekedar dijaga oleh juru pelihara (Gua Babi), atau pun yang dijaga para pewarisnya sendiri (misal, baluntang). Demikialah kurang lebih gambaran kondisi masyarakat dan benda/situs arkeologi di Indonesia.

C. Menjadikan Masyarakat sebagai Garda Depan Pelestari SDA
1. Penyuluhan Hukum
Ini merupakan aspek paling mendasar yang harus segera dipahami oleh masyarakat. Dengan bekal pengetahuan dan pemahaman hukum yang memadai diharapkan masyarakat akan tergerak kemauannya untuk dapat menyadari posisinya jika mereka menemukan benda purbakala. Bukan aspek hukum saja yang dijadikan sebagai pendorong kuat untuk turut mengamankan BCB, tetapi lebih dari itu aspek pemanfaatan BCB untuk bukti sejarah perjalanan bangsa, keunggulan budaya nenek moyang, dan jua pembelajaran. Kerangka besar inilah yang harus ditanamkan, karena hanya dengan memahami manfaat yang dapat diperoleh dalam jangka panjanglah yang akan mendorong manusia tergerak, dan mengesampingkan manfaat sesaat dan pribadi. Untuk mewujudkan ini jelas suatu kerja keras yang panjang. Tidak mungkin, sekali ceramah akan mengahasilkan masyarakat yang langsung sadar, sesadar-sadarnya. Pengawasan harus tetap ada. Oleh karena itu, aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah pembentukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kebudayaan (PPNS Kebudayaan) yang akan mengefektifkan perhatiannya pada kerja pegawai negeri dan keamanan tinggalan budaya. Konsekuensinya PPNS kebudayaan tersebut harus dibentuk dalam jumlah yang memadai dengan jumlah situs yang perlu diamankan.

2. Situs sebagai Bagian dari Kepentingan Masyarakat
Ini adalah impian yang cukup banyak tantangannya. Beberapa situs yang telah dikelola dengan intensif pun belum dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat apalagi yang belum dikelola. Pelestarian dan pengembangan Situs Ratu Boko yang berlangsung selama ini mengalami berbagai kendala. Upaya maksimal yang telah dilakukan tidak membawa hasil yang sepadan. Masyarakat sekitar Situs Ratu Boko merasa belum dapat memperoleh manfaat
optimal dari upaya pelestarian dan pengembangan yang telah dilakukan (Hartono, 2004).

Berbeda halnya dengan yang terjadi di Sangiran. Pemerintah justru seringkali dinilai lupa mengikutsertakan masyarakat setempat dalam proses pengambilan keputusan dan tidak mau tahu kenyataan adanya perbedaan persepsi dalam memberi makna cagar budaya. Upaya pelestarian di Situs Sangiran lebih banyak dilakukan dengan cara penegakan hukum semata, tanpa ada niat untuk mencari solusi yang menohok langsung ke akar permasalahannya. (Sulistyanto, 2003).

Saya rasa tidak ada cara lain bahwa untuk menjadikan masyarakat merasa memiliki dan akhirnya dapat dilibatkan dalam pelestarian, maka situs dan benda arkeologi harus dijadikan sebagai bagian dari kepentingan masyarakat setempat. Bagian dari kepentingan masyarakat yang mesti disentuh adalah ekonomi, ikatan emosional, pendidikan dan kebanggaan warisan leluhur. Di samping itu yang juga perlu dibangkitkan adalah kesadaran masyarakat akan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1992 tentang BCB untuk dapat dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan dalam kaitannya dengan interaksi mereka dengan benda-benda BCB.

Bidang ekonomi yang dapat melibatkan masyarakat antara lain menjadikan masyarakat sebagai bagian dari kegiatan ekonomi situs. Misalnya membimbing mereka untuk dapat berusaha dibidang yang terkait dengan situs misalnya industri kerajinan, pemandu wisata, penginapan, dll. Upaya-upaya tersebut perlu dilakukan dengan pembimbingan pemerintah. Dan, yang tidak kalah penting adalah upaya tersebut harus mendahulukan masyarakat sekitar untuk dapat mengambil perannya, daripada memberi peluang kepada pemodal besar dari luar. Di samping itu, pekerja-pekjerja di bidang pariwisata dengan objek tersebut juga perlu melibatkan orang dari sekitar objek tersebut.

Kegiatan-kegiatan wisata ziarah misalnya juga perlu diberikan masukan dari pihak kepurbakalaan. Masukan tersebut perlu disampaikan dalam hal cerita sejarah dan nilai kepurbakalaannya. Informasi tersebut tidak saja disampaikan melalui pemandu wisatanya tetapi perlu juga disampaikan dalam bentuk tulisan seperti leaflet yang disebarkan secara luas di area wisata ziarah. Ini sangat penting untuk mengarahkan para peziarah agar dalam ziarahnya dilakukan dengan benar dan unsur penghargaan kepada warisan sejarah dan nilai luhurnya dapat teraih di sini.

3. Masyarakat Sebagai Bagian dari Pengelola
Masyarakat perlu dilibatkan menjadi salah satu unsur pengelola situs apalagi jika situs tersebut dijadikan sebagai objek wisata. Tentu masyarakat sudah harus dilibatkan sejak awal perintisannya. Kasus di Sangiran misalnya, pelibatan msyarakat untuk pelestarian situs sebenarnya sudah dimulai sejak awal. Dalam pengumpulan fosil/koleksi museum, masyarakat yang menemukan dimohon untuk menyerahkan ke museum dengan ganti rugi. Ini suatu niat baik dari pemerintah (museum) yang cukup terpuji. Hanya saja dalam pelaksanaannya di lapangan tidak jarang masyarakat yang menemukan fosil umumnya akan menyerahkan temuannya yang berujud fragmentaris. Sementara temuan yang relatif utuh akan disimpan untuk dicarikan pembeli yang bersedia merogoh kocek yang lebih besar daripada ganti rugi dari museum (Sulistyanto, 1995: 54) dan bahkan ada yang dibuat benda kerajinan untuk meningkatkan nilai jual benda tersebut (Sulistyanto, 1996: 35).

Jika sudah siap maka situs atau pun museum dapat segera dibuka untuk umum dan menjadi objek wisata. Keberhasilan arkeolog dalam mewujudkan peninggalan purbakala menjadi objek pariwisata akan memberi dampak yang cukup luas kepada masyarakat. Sebagaimana dapat ditunjukkan di berbagai tempat tujuan wisata, kesejahteraan masyarakat bersangkutan jelas meningkat dengan berkembangnya kemampuan masyarakat untuk menambah penghasilan, misalnya lewat ketrampilan pembuatan benda-benda souvenir serta dalam melakukan pelayanan dan jasa wisata lainnya (Soebadio, 1993/1994:5). Akan lebih terasa lagi kedekatan masyarakat dan instansi yang menaungi kepurbakalan tersebut jika para arkeolog juga memberikan bimbingan atau konsultasi gratis kepada masyarakat dalam hal kecakapan menjadi pemandu wisata, model-model souvenir dan lain-lain.

Sebenarnya langkah-langkah pengembangan Borobudur melalui penataan kawasan termasuk pembangunan Pasar Seni Jagad Jawa (PSJJ) dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dan kepentingan Pemerintah Daerah Jawa Tengah. Maka dapat dipahami bila rencana ini dianggap memiliki nilai strategis dan ekonomi, sekaligus merupakan skenario pengembangan industri wisata yang tidak terlepas dari pertimbangan investasi dan bisnis. Hal ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Bank Dunia dalam memberikan hibah dan bantuan teknis untuk penyelamatan objek arkeologis kawasan bersejarah yang dikembangkan untuk wisata adalah lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat setempat. Pelibatan komunitas sendiri diawali sejak gagasan muncul melalui proses penyerapan keinginan ideal masyarakat, baik dalam penyusunan program hingga diwujudkan melalui tindakan realistis (Koeswhoro, 2003).

Ada baiknya pemerintah dengan berbagai dinas yang menaunginya perlu turun tangan untuk turut membina masyarakat agar dapat mengambil peran dalam kaitannya telah terbentuknya objek wisata tersebut. Pemerintah mestinya berpihak pada masyarakat sekitar dan tidak pada pemodal besar untuk memberi peluang bisnis di sekitar objek wisata tersebut (misal Borobudur). Yang demikian ini akan menjadikan masyarakat benar-benar merasa memperoleh tempat dan merasa dilibatkan untuk pengembangannya.

4. Pembelajaran
Hal yang lebih baik lagi tentunya adalah manfaat pembelajaran yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Objek tinggalan yang masih terkait dengan masyarakat akan sangat berguna jika kebijakan pembangunan maupun pemberdayaan masyarakat pada umumnya berdasarkan permasalahan yang ada dan terjadi di masyarakat tersebut. Tentu akan sangat dekat persamaan dan stragtegi yang dipergunakan jika pengembangan masyarakat dilakukan di sebuah perkampungan yang masih melanjutkan budaya nenek moyangnya. Jika mereka memanfaatkan kearifan, nilai-nilai luhur, dan ajaran moral yang terpuji dari pendahulu mereka tentu ini merupakan trategi yang sangat baik untuk sukseksnya pemberdayaan. Terlebih lagi permasalahan yang muncul di perkampungan tersebut tentu sangat spesifik dan mungkin sekali dapat diselesaikan dengan mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam tinggalan tradisi di kampung tersebut.

D. Kendala dan Antisipasinya
Kendala utama dalam program jangka panjang ini adalah jangka waktu untuk mengubah pandangan masyarakat dan juga kemungkinan untuk dapat mengakomodir kepentingan dari beberapa pihak. Alokasi waku yang diperlukan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang benda dan situs purbakala serta perlindungannya yang pelaksanaannya bukan merupakan sesuatu yang dapat dilakukan bak membalik telapak tangan. Peyuluhan yang terus-menerus tidak mesti menghasilkan manfaat yang signifikan. Tingginya tingkat pendidikan tidak berkorelasi positif dengan perilaku (Surakhmad, 1908), oleh karena itu yang lebih penting dalam hal ini adalah niat baik setiap individu, bukan intelektualitasnya.

Sementara itu yang berkaitan dengan kepentingan adalah suatu yang abadi dalam setiap urusan manusia. Berbagai kelompok masyarakat yang terlibat dalam urusan penanganan warisan purbakala dan juga kawasannya juga memiliki kepentingan yang berbeda. Suatu contoh dalam pengelolaan kawasan kasrt di Ponjong, Gunugkidul, permasalahannya lebih banyak disebabkan karena perbedaan persepsi dalam pemanfaatan sumberdayanya. Di satu pihak, terdapat ahli pertanian (akademia), beberapa orang penduduk, dan investor pertambangan yang melihat gua-gua arkeologis mempunyai potensi tinggi untuk menyediakan bahan galian yang akan menguntungkan secara finansial atau ekonomi. Namun, di pihak lain terdapat ahli arkeologi (akademia), kebanyakan masyarakat, dan berbagai lembaga pemerintah yang melihat potensi gua-gua tersebut bukan dari kandungan bahan galian. Kebanyakan masyarakat dan pihak pemerintah (Dinas Pariwisata, Kecamatan, dan Kelurahan) lebih melihat potensi gua itu dari kemungkinannya untuk dipakai sebagai tempat wisata, yang menarik kalau tetap asli, asri dan lestari. Sementara itu, pihak arkeologi dan Bappeda cenderung melihat kebutuhan akan terlestarikannya kawasan karst secara keseluruhan. Apalagi daerah Ponjong adalah kawasan resapan atau tangkapan air bagi sungai-sungai bawah tanah di bagian hilirnya. Jadi, faktor kebutuhan yang berbeda menyebabkan munculnya konflik kepentingan dalam pengelolaan gua-gua. Dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas, maka untuk selanjutnya perlu dibuat sebuah model pengelolaan sumberdaya budaya Pertama, untuk dapat mengembangkan pengelolaan sumberdaya budaya dengan sasaran terlestarikannya gua-gua arkeologis, sektor budaya tidak dapat melakukannya sendiri. Kegiatan ini harus melibatkan berbagai pihak yang peduli dan terlibat dalam aspek-aspek pelestarian kawasan. Sejak awal, masyarakat setempat harus diikutkan dalam pengambilan keputusan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya. Kedua, untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan kebutuhan pokok, perlu dicarikan substitusi matapencaharian hidup, khususnya bagi tenaga kerja yang selama ini terlibat dalam penambangan bahan galian. Selanjutnya perlu dipertimbangkan untuk menemukan “leading sector” yang akan menjadi ujung tombak dalam proses pelestarian kawasan dengan pengelolaan sumberdaya budaya sebagai bagian darinya (Yuwono.2006)

E. Penutup
Upaya pelestarian dengan melibatkan masyarakat adalah ide yang cukup strategis. Hanya saja hal tersebut memang membutuhkan kerja keras. Dan, tidak ada jaminan dalam tempo yang singkat hal tersebut akan dirasakan hasilnya. Pekerjaan ini harus melalui proses yang panjang dan secara terus-menerus dilakukan. Tidak menutup kemungkinan adanya inovasi cara dan metode untuk mempermudah dan mempercepat tercapainya keinginan tersebut.

Terlebih lagi dalam suasana kehidupan ekonomi yang kurang begitu baik di negeri ini. Kondisi ini besar pengaruhnya terhadap perhatian dan penghargaan masyarakat terhadap warisan sejarah dan purbakala. Pada saat masyarakat cenderung mengkonsentrasikan perhatiannya pada upaya untuk memenuhi kebutuhan primer mereka, tentunya urusan yang menyangkut warisan purbakala akan kurang mereka perhatikan. Masalahnya sangat praktis, jika mengurusi hal tersebut tentu akan sulit untuk segera memperoleh nasi untuk kebutuhan primernya.

Memang, pariwisata dengan objek benda purbakala juga akan mendatangkan dampak positif bagi masyarakat. Hanya saja hal ini tidak akan datang dalam proses yang cepat. Di sisi lain kebutuhan perut memaksa setiap hari untuk diisi. Sangat logis jika masyarakat akan mengerjakan sesuatu yang langsung didapatkan hasilnya. Misalnya seperti yang dilakakan oleh sebagian msyarakat Sangiran dan bukti banyaknya baluntang yang hilang walaupun keberadaanya ada di tengah-tengah perkampungan yang mereka huni.

Pada dasarnya semua itu bukanlah masalah besar. Yang penting upaya untuk pelestarian harus terus dijalankan dan masyarakat terus dilibatkan untuk itu, seberapa besar peran yang bisa mereka ambil. Karena hanya dengan cara ini masyarakat akan mengalami sendiri prosesnya sehingga jika sudah sampai pada saatnya nanti mereka akan lebih menghayati nilai penting warisan purbakala yang ada di lingkungan mereka.

Yakinlah jika warisan purbakala sudah siap menjadi objek wisata, maka masyarakat akan menaruh perhatian padanya untuk dapat memperoleh rejeki atas keberadaan objek wisata tersebut. Pada saat inilah kita dapat masuk lebih intensif lagi. Tidak hanya memberikan bimbingan secara ekonomis saja, tetapi juga kepurbakalaan dan nilai-nilai di dalamnya. Hal ini perlu mereka pahami untuk dapat diterapkan dalam kaitannya dengan usaha mereka baik dalam bidang souvenir, hingga asesoris dalam rumah makan, penginapan dan lain-lain. Masyarakat perlu didorong untuk menonjolkan identitas warisan budaya yang ada di lingkungannya guna dijadikan sebagai hal unik yang tidak dapat dijumpai di tempat lain. Dengan demikian diharapkan turis akan merasa mendapatkan sesuatu yang unik di lingkungan mereka. Tidak saja unik dalam hal kepurbakalaan tetapi juga warisan leluhur yang masih diimplementasikan masyarakat dalam hal asesoris misalnya.

Pustaka

Hartono, Tri. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi: Pelestarian Dan Pengembangan Situs Ratu Boko. Thesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Koeswhoro, Pudjo. 2003. Kontroversi Jagad Jawa Borobudur. Suara Merdeka 11 Januari 2003. Semarang

Kosasih, EA. 2000. Pemahaman Masyarakat Terhadap Arkeologi Indonesia: Antara harapan dan Kenyataan. Proceedings Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi: Jakarta: Pusat Arkeologi. Hlm. 203-228.

Nurhadi. 2000. Penelitian Arkeologi dari GBHN ke GBHN. Proceedings Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Arkeologi. Hlm. 264-276

Soebadio, Haryati. 1993/94. Arkeologi dan Pengembangan Sosial Budaya. Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm. 3-14.

Sugiyanto, Bambang. 2002. Penelitian Gua Prasejarah di Kecamatan Muara Uya, Kabupaten Tabalong, Kalsel. Laporan Penelitian Arkeologi. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin. Belum Terbit.


Sulistyanto, Bambang. 1995. Perilaku Masyarakat terhadap Benda Cagar Budaya Sangiran: Studi kasus di Desa Krikilan. Berkala Arkeologi Tahun XV No. 1. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Hlm. 46-63.

_______________ . 1996. Perubahan Sosial di Kawasan Benda Cagar Budaya Sangiran: Studi kasus tentang perubahan perilaku. Berkala Arkeologi Tahun XVI No. 2. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Hlm. 28-41.

_______________ .2001. Perubahan Nilai Magis Fosil Kawasan Sangiran. Proceedings Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Arkeologi. Hlm. 207-229.

_______________ . 2003. Balung Buto: Warisan Budaya Dunia dalam Perspektif Masyarakat Sangiran. Yogyakarta: Kunci Ilmu.

Surakhmad, Winarno. 1980. Mewujudkan Nilai-Nilai Hidup Dalam Tingkah Laku Sebuah Ikhtisar Pedoman Pendekatan Metodologik. Bandung: Tarsito.

Widianto, Harry, Truman Simanjuntak, dan Budianto Hakim. 1997. Ekskavasi Situs Gua Babi, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan. Berita Penelitian Arkeologi No. 01. Banjarmasin: Balai Arkeologi Banjarmasin.

Widianto, Harry, dan Retno Handini. 1998/99. Penelitian Situs Gua Babi Tahap III dan IV Kecamatan Muara Uya, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian Arkeologi. Banjarmasin: Balai Arkeologi Banjarmasin.

_________________________. 2003. Karakter Budaya Prasejarah di Kawasan Gunung Batubuli, Kalimantan Selatan: Mekanisme Hunian Gua Pasca Pleistosen. Berita Penelitian Arkeologi No. 12. Banjarmasin: Balai Arkeologi banjarmasin.

Yuwono, J Susetyo. 2006. Peran Stakeholders Dalam Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi, Makalah Cultural Resource Management di Yogyakarta.

No comments: