Sunday, November 18, 2007

LANTING RIWAYATMU KINI

Sunarningsih


Abstrak


Salah satu hasil sebuah proses adaptasi manusia terhadap lingkungannya adalah rumah lanting. Fase keberadaannya mulai berkeembang dan mencapai masa kejayaan pada saat sungai menjadi primadona transportasi di wilyah Kalimantan. Akan tetapi, seiring dengan terjadinya perubahan lingkungan, munculnya alternatife sarana transportasi lain, perubahan teknologi dan cara pandang masyarakat membuat rumah lanting mulai ditinggalkan.

Lanting is one of the result of environmental human adaptation processes. The existing phase of lanting begin to develop and reach the top when river become one of the mainstay transportation in Kalimantan. Furthermore, when the environment changed, another alternative transportation showed up, technology changed, and the view of some people changed, lanting has been leaved.


A. PENDAHULUAN

Dalam kehidupannya manusia membutuhkan tempat tinggal. Kebutuhan akan tempat berteduh tersebut merupakan kebutuhan primer. Sebagai wujud adaptasi manusia terhadap lingkungannya, muncullah berbagai bentuk tempat tinggal. Salah satunya adalah rumah lanting.

Rumah lanting adalah rumah yang digunakan sebagai tempat tinggal, keberadaannya terapung diatas air sungai. Rumah jenis ini banyak dijumpai di sepanjang sungai besar di wilayah Kalimantan. Dari dulu hingga sekarang bentuk rumah jenis ini tidak berubah, hanya jumlahnya saja yang semakin berkurang. Pada saat ini keberadaan rumah jenis ini sudah jarang ditemui. Semakin langkanya rumah lanting ternyata disebabkan oleh berbagai faktor. Hal tersebut sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam tulisan ini. Mengapa lanting semakin tidak digemari dan ditinggalkan oleh masyarakat yang bermukim di sepanjang sungai di Kalimantan.


B. HUNIAN DI SEPANJANG SUNGAI

Seperti telah kita ketahui, bahwa wilayah Kalimantan di dominasi oleh lahan basah. Yang termasuk wilayah lahan basah meliputi rawa, hutan mangrove, terumbu karang, danau,muara, sungai, sawah, tambak, dan kolam garam. Wilayah Kalimantan sendiri banyak terdapat rawa dan sungai. Masyarakat pada masa lalu lebih memilih untuk membangun tempat tinggal di sepanjang sungai. Hal tersebut disebabkan mudahnya akses mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang rata-rata tergantung pada transportasi sungai. Dengan dikuasainya pembuatan Jukung/perahu, memudahkan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tempat tinggal yang dibangun masyarakat di sepanjang sungai terdiri atas dua bentuk rumah, yaitu rumah panggung dan rumah lanting. Rumah panggung berada di bibir sungai, sedangkan rumah lanting berada tepat di atas air sungai (pada bagian tepinya). Konstruksi yang digunakan antara rumah panggung dan rumah lanting sangat berbeda. Rumah panggung menggunakan beberapa tongkat yang cukup tinggi untuk menopang lantai rumah, sedangkan rumah lanting menggunakan gelondongan kayu yang disusun mendatar, dan susunan papan di atasnya yang difungsikan sebagai lantai. Rumah ini bisa dipindahkan, dan mengikuti ketinggian permukaan sungai. (foto 1)

Apabila dilihat dari arsitekturnya, pada perkembangannya rumah panggung lebih raya atau beragam, sedangkan rumah lanting cenderung statis bentuknya. Dari dulu hingga sekarang tetap sama. Faktor yang mempengaruhinya adalah kesulitan yang banyak dijumpai untuk dapat mengubah konstruksi dan arsitekturnya. Selain itu, tampaknya status sosial masyarakat yang memilih untuk berdiam di rumah lanting juga berbeda dengan masyarakat yang tinggal dirumah panggung. Rata-rata masyarakat yang memilih untuk tinggal di rumah lanting adalah para pedagang dan rakyat jelata.

Keberadaan lanting di atas sungai merupakan hasil adaptasi manusia terhadap lingkungan. Dengan kondisi air sungai yang stabil serta peranan sungai yang menjadi sarana transportasi utama, membuat manusia merasa diuntungkan untuk tinggal di atas sungai. Terlebih lagi kepemilikan seseorang terhadap wilayah di sungai tidak dibatasi. Tidak seperti halnya adanya peraturan kepemilikan tanah oleh seseorang yang dibuktikan dengan adanya surat segel/leter c, atau sertifikat. Masyarakat yang bermukim di sepanjang sungai tersebut dapat memiliki tanah yang berada di pinggiran sungai dengan hanya menggunakan ukuran lebar tanah saja, sedang panjangnya tidak diperhitungkan. Ukuran panjang tanah tersebut yang berada di atas sungai tidak dibatasi. Artinya bahwa mereka bisa mendirikan rumahnya dengan ukuran panjang sesuai kemampuannya.

C. PERUBAHAN SUNGAI DAN PERUBAHAN JAMAN

Wilayah Kalimantan banyak dialiri oleh sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil. Apabila diamati, terlihat bahwa sungai besar yang ada di Kalimantan ini memiliki banyak anak sungai. Di wilayah Kalimantan Selatan sendiri dialiri oleh dua sungai besar, yaitu Barito dan Martapura dengan banyak sungai kecilnya. Menurut William Davis Morris (Geolog Amerika), sungai dan lembahnya ibarat organisme hidup, yang berubah dari waktu ke waktu. Sungai mengalami masa muda, masa dewasa, dan masa tua. Sungai yang masih bayi sempit dan curam, sungai muda lebih lebar dan anak sungainya bertambah, sedangkan sungai yang tua daerah alirannya semakin melebar dan berkelok-kelok. Tampaknya sungai di wilayah Kalimantan termasuk dalam kategori sungai yang sudah tua, karena lebar, berkelok-kelok, dan memiliki banyak anak sungai. (sumber: Internet)

Peranan sungai di Kalimantan sudah tidak diragukan lagi, yang pada masa lalu menjadi sarana transportasi yang sangat penting. Dengan topografi wilayahnya yang banyak terdiri atas hutan, sungai sangat membantu sebagai sarana manusia dari dan menuju tempat-tempat yang diinginkannya. Berbagai angkutan sungai dengan mudah dijumpai untuk mengantar masyarakat ke tujuannya masing-masing, dari jukung kecil, besar, speedboat, sampai kapal besar yang melayani trayek dengan jarak tempuh yang jauh. Kemajuan teknologi semakin memudahkan transportasi sungai tersebut, dengan menggunakan mesin sehingga tenaga manusia untuk mengayuh perahu tidak diperlukan lagi.

Keberadaan sungai sangat membantu kehidupan masyarakat di sekitarnya, di samping sebagai jalur transportasi, sungai juga menjadi penyedia sumber air dan sumber hewani yang berupa ikan air tawar. Keberadaanya menjadi sangat penting untuk kehidupan manusia di sekitarnya. Banyak manusia yang sangat menggantungkan kehidupannya pada keberadaan sungai-sungai tersebut. Bahkan masyarakat yang tidak bertempat tinggal disungai tersebut juga menggantungkan hidupnya pada sungai. Misalnya saja para pengusaha kayu, yang sangat membutuhkan sungai untuk mengirimkan hasil tebangan kayu, para pencari emas yang sangat menggantungkan air untuk memisahkan emas dari materi tanah lainnya.

Sayang sekali bahwa manusia tidak bisa menjaga kelestraian sungai tersebut, meskipun sungai sudah memberi banyak hal bagi kehidupan manusia. Sehingga pada akhirnya sungai juga menjadi ancaman yang serius bagi kehidupan masyarakat baik di sekitarnya maupun yang relatif jauh darinya. Hal tersebut disebabkan adanya perubahan jumlah dan kecepatan air yang mengalir di sungai tersebut. Bencana banjir akhir-akhir ini tampaknya setia mengunjungi wilayah Kalimantan. Kondisi tersebut setiap tahun tidak juga mereda tetapi semakin parah. Kerusakan hutan adalah salah satu penyebabnya. Tercatat ada empat DAS (Daerah Aliran Sungai) di Kalimantan yang semakin kritis, semuanya merupakan sungai besar, yaitu Sungai Kapuas, Sungai Mahakam, Sungai Kahayan, dan Sungai Barito. Menrut informasi yang didapatkan dari surat kabar, keempat DAS tersebut sudah seharusnya mendapat prioritas utama untuk direhabilitasi, akibat sebagian DAS sudah tidak berhutan lagi karena mengalami deforestasi hebat lebih dari 30 tahun terakhir. Oleh karena itu, ekosistemnya rusak, dan sebagian anak sungainya mengalami pendangkalan dan pencemaran akibat penggunaan merkuri dalam kegiatan penambangan emas tanpa ijin, dan limbah rumah tangga.


D. RUMAH LANTING DAN PERMASALAHANNYA

Pada masa lalu, lanting sebagai rumah terapung pernah berjaya. Hal tersebut masih dapat terekam pada abad ke-18 dan 19, dimana perairan di wilayah Kalimantan umumnya dan wilayah Banjarmasin pada khususnya masih banyak berderet rumah lanting di atas sungai Martapura. Penataan lanting tersebut bahkan disebutkan dalam berita Cina dari Dinasti Ming (1618), bahwa di Banjarmasin terdapat rumah di atas rakit seperti yang ada di Palembang (Kompas, 12 Nov 2004, hlm 33). Dukungan sungai terhadap keberadaan lanting tersebut maksimal, begitu juga dengan kondisi kehidupan masyarakat pada waktu itu sangat mendukung.

Wilayah Banjarmasin yang pada waktu itu sudah menjadi kota pelabuhan dan perdagangan sangat membantu masyarakat yang tinggal dalam rumah lanting untuk tetap eksis. Memang rata-rata para pedaganglah yang memilih untuk tinggal di atas rakit tepat diatas sungai Martapura. Keberadaan mereka diatas sungai sangat menguntungkan dalam kegiatan perdagangan pada waktu itu, karena sungailah yang menjadi jalur transportasi yang utama. Setiap hari masyarakat berpindah dari hilir ke hulu dan sebaliknya dengan menggunakan transportasi sungai.

Selain keuntungan secara ekonomi, ternyata masih ada keuntungan lain yang bisa di dapatkan dengan keberadaan lanting di atas sungai. Rumah lanting bisa menjadi penghambat laju arus sungai sehingga mampu menahan banjir.

Akan tetapi seiring dengan perubahan jaman dan kemajuan teknologi, lanting semakin susah untuk dapat tetap eksis di atas sungai-sungai di Kalimantan. Hal tersebut disebabkan beberapa hal, baik karena faktor alam, masyarakat pengguna maupun para pejabat (pemerintah daerah). Kondisi sungai saat ini kurang mendukung keberadaan lanting, karena pada musim kemarau airnya menjadi dangkal. Hal tersebut berkaitan dengan dampak rusaknya ekosistem hutan di wilayah Kalimantan, sehingga air sungai akan surut pada musim kemarau, dan sebaliknya akan terjadi banjir pada musim hujan. Kondisi hutan yang rusak karena kayunya ditebangi tanpa upaya untuk menggantinya selain menyebabkan banjir juga menyebabkan naiknya harga kayu yang menjadi bahan baku pembuatan lanting. Kayu gelondongan yang dipakai untuk menyangga rumah rakit saat ini sudah sulit didapatkan dan mahal harganya. Kondisi tersebut mengakibatkan orang akan berpikir dua kali lipat guna membangun rumah lanting. Kelangkaan dan kemahalan kayu juga menyebabkan biaya untuk memperbaiki rumah lanting yang masih ada menjadi tidak terjangkau oleh masyarakat, yang rata-rata termasuk orang miskin, yang saat ini masih tetap bertahan hidup di rumah lanting. (foto 2)

Perubahan tingkah laku masyarakat untuk lebih menyukai bangunan di darat dimulai sejak masa kolonial mengumpulkan mereka untuk membuat rumah di sepanjang jalan darat yang mulai dirintis. Hal tersebut pada awalnya ditujukan untuk kemudahan kolonial melakukan pengawasan terhadap setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Seperti telah kita ketahui, masyarakat Kalimantan, dalam hal ini masyarakat Banjar sangat tidak menyukai bangsa Belanda. Perlawanan terhadap Belanda yang sangat gigih dilakukan yang terkenal dengan Perang Banjar. Sejak Belanda dapat menguasai wilayah yang banyak dihuni oleh masyarakat Banjar tersebut, sungai tidak lagi menjadi satu-satunya sarana transportasi. Selanjutnya setelah mIndonesia merdeka, pembangunan yang berorientasi ke darat lebih gencar lagi dilakukan. Bahkan tampak sekali bahwa keberadaan sungai seakan dilupakan. Dengan demikian wilayah Banjarmasin yang dulunya adalah lahan rawa, pada saat ini sudah tidak tampak lagi, hampir semua telah tertutup olah gedung yang terbuat dari beton baik yang bertingkat maupun tidak. Kondisi sungai menjadi sangat memprihatinkan, semakin sempait, tercemar dan tidak lagi indah dipandang mata. Demikian juga dengan keberaadaan rumah lanting, hanya masyarakat kecil saja yang masih bertahan di tempat sungai yang masih terhitung lebar dan airnya lumayan banyak. Rumah lanting tersebut tampaknya seolah menambah kumuhnya kondisi sungai. Hal tersebut didukung oleh bentuknya yang terlihat jauh berbeda dengan gedung-gedung yang berdiri megah di sekitarnya. Di samping kebiasaan penghuninya yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan. Meskipun gedung beton sudah berdiri megah, ada satu hal yang tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat, yaitu tetap menggunakan sungai sebagai jamban dan mck (mandi cuci kakus) mereka sehari-hari. Gambaran yang sangat kontras tersebut dapat kita amati pada saat pagi hari dan sore hari di sepanjang sungai yang mengalir membelah kota Banjarmasin dan kota lain di wilayah Kalimantan. Kota lain tersebut adalah Pontianak. Pembangunan yang gencar dilakukan semenjak masa orde baru, yang modelnya banyak meniru pembangunan di Jawa. Padahal pada masa Belanda, Pontianak seperti halnya Banjarmasin juga dibangun sebagai kota baru yang mengadopsi system pembangunan kanal-kanal seperti di negeri Belnda. Sistem kanal digunakan untuk mengantisipasi banjir. Pada 30 tahun lalu di kota Pontianak masih dapat dijumpai parit-parit yang cukup lebar misalnya di Jalan Merdeka. Akan tetapi kondisinya pada saat ini sangat memprihatinkan. (Kompas tgl 12 Agustus 2003, hlm. 30) Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan di Banjarmasin. Pada saat ini sisa parit Belanda yang masih bisa diamati adalah di sekitar Masjid Sabilal Muhtadin, tetapi parit tersebut tidak berfungsi dengan baik karena tampak hanya berhenti di tempat tersebut, sambungan ke wilayah lain sudah tertutup bahkan hilang. Oleh karena itu setiap tahun Banjarmasin selalu menjadi langganan banjir.

Dari gambaran di atas, tampak bahwa kepedulian masyarakat terhadap kelestarian sungai sangat kurang. Kondisi tersebut dalam kenyatannya juga diperparah dengan sikap yang tidak tegas dari pemerintah baik dalam pengelolaan hutan maupun pengelolaan sungai. Rumah lanting yang pada masa lalu pernah menjadi primadona rumah di atas sungai semakin tidak mendapat tempat. Dengan munculnya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang pelarangan bersandarnya rumah lanting di Kabupaten Murung Raya dan Barito Utara, Kalimantan Tengah menjadi salah satu contoh, semakin menggusur keberadaan rumah lanting di wilayah Kalimantan.Dengan diberlakukan perda tersebut maka dengan terpaksa 24 warga yang tinggal dirumah lanting berusaha untuk menjual rumah mereka ke wilayah Alalak, Banjarmasin, Kalimantan Selatan dengan menyusuri Sungai Barito sepanjang 620 km. (Kompas tgl 29 April 2007, hlm 2) Rumah lanting tersbut dijual kepada pengusaha kayu yang banyak berada di wilayah alalak. Selanjutnya kayu-kayu tersebut akan diolah lagi sebagai bahan pembuat perabot rumah tangga.


E. PENUTUP

Dari uraian di atas tampak bahwa keberadaan lanting mulai ditinggalkan oleh masyarakat di Kalimantan disebabkan oleh beberapa faktor. Perubahan tersebut termasuk dalam sebuah proses yang dialami oleh sebuah masyarakat yang hidup berdampingan dengan sungai. Keberadaan rumah lanting bisa diidentikan dengan hasil budaya yang bersifat tradisional yang berkembang sebelum memasuki fase modern. Adanya proses bahwa masyarakat tidak lagi menyesuaikan diri terhadap alam di sekitarnya, tetapi masyarakat sebaliknya mulai menyesuaikan lingkungan kepada dirinya menyebabkan mulai hilangnya keberadaan rumah lanting.

Hanya saja dalam proses penyesuaian lingkungan kepada diri masyarakat, banyak mengabaikan nilai-nilai kearifan yang seharusnya tetap dipertahankan. Nilai kearifan itu sendiri akan sangat menguntungkan bagi kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu, harus dimulai untuk kembali menyeimbangkan ekosistem yang ada di sepanjang DAS yang berada di Kalimantan ini, sehingga harmonisasi akan tetap terjaga, meskipun fase modernisasi telah jauh merasuki kehidupan masyarakat.

Meskipun demikian pada saat ini kita masih dapat melihat keberadaan lanting tersebut di beberapa titik tempat, yaitu di Lokbaintan, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar; di Muara Kuin dan Muara Mantuil, Banjarmasin. Rumah lanting di wilayah tersebut dimanfaatkan sebagai toko terapung. Mudahan keberadannya masih dapat terjaga dan lestari.
DAFTAR PUSTAKA

Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: Rajawali Press.

Irianto, Gatot. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Strategi Pendekatan dan Pendayagunaannya. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.

Seman, H.M. Syamsiar & H. Irhamna. 2006. Arsitektur Tradisional Banjar Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Lembaga Pengkajian & Pelestarian Budaya Banjar Kalsel.

Sodikin, Amir. Lanting, Rumah Terapung Warisan Peradaban Banjar, Harian Kompas, tanggal 12 November 2004, hlm. 33

Syaifulloh, M. Merangkl Alam Sebelum Terlambat, Harian Kompas, tanggal 12 Agustus 2003, hlm. 30.

______________ Pembabatan Hutan, DAS Empat Sungai Besar di Kalimantan Makin Kritis. Harian Kompas tanggal 31 Oktober 2007, hlm 23.

------------------------. Industri perkayuan. Perda Menggusur Rumah Apung di Tepian Sungai Barito. HArian Kompas, tanggal 29 April 2007, hlm. 2.

Van Peursen, C.A. 1992.Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

No comments: