Monday, November 19, 2007

ISTANA SEBAGAI SENTRAL STRUKTUR TATA KOTA
(Studi Kasus pada Lima Kota Kerajaan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur)

(Bambang Sakti W.A.)

A. PENDAHULUAN

Bangunan yang selalu ada pada setiap kota kerajaan Islam adalah istana dan masjid yang biasanya berada pada satu areal. Istana merupakan bangunan paling megah bila dibandingkan dengan bangunan yang lain, karena dapat dianggap sebagai lambang kebesaran suatu kerajaan. Istana yang dibangun secara megah menjadi bukti bahwa suatu kerajaan tergolong besar. Selain menjadi tempat tinggal raja beserta keluarga, istana biasanya juga merupakan tempat berlangsungnya pertemuan dengan para punggawa atau pembesar kerajaan. Untuk menunjukkan kemegahan bangunan, selain memiliki ukuran yang cukup luas biasanya istana dibangun dengan arsitektur yang megah dan dilengkapi dengan berbagai ornamen. Di dalam istana biasanya juga terdapat berbagai barang pusaka milik kerajaan, misalnya bendera, benda-benda seni, keris, meriam, dan sebagainya.

Kerajaan besar maupun kecil dipastikan memiliki istana sebagai lambang keberadaan suatu kerajaan, meskipun bentuk dan ukurannya berbeda-beda. Meskipun demikian tidak semua istana sampai saat ini masih dapat dijumpai lagi karena sebagian di antaranya sudah rusak atau bahkan hilang karena berbagai sebab. Bisa juga terjadi suatu kerajaan yang pusat pemerintahannya pernah mengalami pemindahan, memiliki lebih dari satu istana karena setelah istana lama tidak digunakan pasti memerlukan istana baru sehingga harus ada bangunan baru. Dapat dikatakan bahwa lokasi istana biasanya merupakan pusat perkembangan suatu kota kerajaan, dengan tidak menyingkirkan peran bangunan lain seperti pasar dan pelabuhan. Pada umumnya istana berlokasi di tempat yang paling aman, baik dari gangguan keamanan maupun kondisi alam, misalnya lebih rata bila dibandingkan dengan daerah sekitarnya.

Bangunan istana biasanya berbentuk rumah adat yang menggunakan arsitektur tradisional, baik bentuk maupun bahannya. Khusus di Kalimantan karena bahan kayu sangat melimpah semua istana dapat idkatakan menggunkan kayu sebagai bahan utama. Namun demikian tidak menutup kenyataan bahwa terdapat juga bahan yang bukan kayu sebagai unsur tambahan, misalnya jendela kaca dan lantai marmer atau keramik. Istana yang paling berbeda adalah istana raja Kutai Kertanegara yang menggunakan beton sebagai bahan utama, karena istana tersebut dibangun oleh Belanda sebagai hadiah kepada raja pada era 1930 an. Untuk diketahui bahwa sebenarnya Kutai Kertanegara sebelum tahun itu memiliki istana sendiri yang dibuat daru bahan kayu namun habis terbakar. Kasus tersebut terjadi sampai dua kali pada dua istana, sehingga Belanda ikut campur tangan dengan membangunkan istana baru yang tahan lama.

Istana sebagai tempat tinggal raja yang memerintah beserta keluarganya sekaligus sebagai pusat pemerintahan nampaknya merupakan suatu penerusan tradisi pra kerajaan. Pada masa itu masyarakat tinggal di rumah panjang yang dihuni banyak keluarga, salah satunya tentu merupakan pemimpin mereka. Segala kegiatan dipusatkan di rumah panjang tersebut, meskipun pada masa kemudian ketika jaman semakin modern ada rumah adat tersendiri. Pada masa kerajaan tradisi tersebut tetap dipertahankan, meskipun pada awal abad ke -20 ada raja yang mulai mencoba memisahkan lokasi administrasi kerajaan di sebuah bangunan tersendiri sebagai sebuah “kantor”. Upaya tersebut sekedar mengurangi saja beban istana karena untuk berbagai pertemuan tetap saja dilangsungkan di istana. Berikut ini akan diuraikan posisi lima istana kerajaan di Kalimantan, masing-masing dua di Kalimantan Timur dan tiga di Kalimantan Barat.

B. ISTANA DAN PENINGGALAN YANG LAIN

1. Kutai Kertanegara
Kutai Kertanegara merupakan kerajaan yang dapat dikakatakan memiliki nama besar di Kalimantan Timur. Berdasarkan tradisi ibukota mengalami tigakali perpindahan, yaitu Kutai Lama, Jembayan dan Tenggarong. Di antara ketiga kota tersebut hanya di Tenggarong yang istananya masih dapat bertahan sampai saat ini, meskipun merupakan istana abad ke-20. Di Tenggarong sendiri istana tersebut sudah merupakan istana yang ketiga, karena dua istana sebelumnya musnah terbakar. Letak ketiga istana tersebut sebenarnya pada halaman yang sama hanya posisinya saja yang saling berbeda, yaitu pada pertemuan antara Sungai Tenggarong dengan Sungai Mahakam. Di depan istana tersebut pada jarak sekitar 500 meter, di tengah Sungai Mahakam terdapat sebuah pulau yang sekarang bernama Pulau Kumala. Istana ketiga tersebut saat ini berfungsi sebagai Museum Negeri Provinsi Kalimantan Timur.

Istana pertama sama sekali sudah tidak ada bekasnya, sedangkan istana kedua masih menyisakan lima buah pilar penyangga bagian dalam yang dibuat dari kayu ulin berbentuk bulat, dengan ukuran tinggi/panjang ± 6 meter. Di sebelah utara istana, di seberang jalan, terdapat dua buah rumah yang pada masa lalu berfungsi sebagai tempat untuk menampung para pedagang dan keluarganya yang datang ke Tenggarong. Saat ini kedua rumah tersebut sudah mengalami restorasi dan berfungsi sebagai bangunan instansi pemerintah. Masjid terletak 200 meter di belakang (sebelah barat) istana, sedangkan pasar terletak 150 meter di sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Melayu. Sekarang pasar lama tersebut difungsikan sebagai arena kegaiatan seni budaya atau pasar seni.

Seperti umumnya istana pada masa Islam, istana Tenggarong juga dikelilingi parit buatan sebagai batas antara lingkungan istana dengan lingkungan masyarakat umum. Parit-parit tersebut mempunyai dua jalur keluar yaitu ke Sungai Mahakam dan Sungai Tenggarong. Untuk parit yang mengapit lingkungan istana jalur keluarnya di Sungai Mahakam, sedangkan parit yang terletak di belakang istana keluar menuju sungai tenggarong di sebelah selatan. Di depan istana pada jarak sekitar 200 meter merupakan lokasi pelabuhan, yang berada di tepian Sungai Mahakam.

Foto 1. Istana Tenggarong yang dibangun Belanda


Secara alamiah Sungai Tenggarong dan Mahakam merupakan batas-batas kota kuna. Di seberang Sungai Tenggarong merupakan Kampung Melayu yang merupakan permukiman orang Melayu, Banjar, dan Arab. Mereka sebagian besar berprofesi sebagai pedagang. Di sekitar istana merupakan wilayah permukiman para punggawa dan pegawai istana, sekarang bernama Kampung Panji. Secara keseluruhan wilayah kota lama berukuran 750 m x 500 m. Batas-batas kota kota yaitu Sungai Mahakam di sebelah timur, Bukit Pedidi di sebelah utara (lokasi permukiman masyarakat Bugis), di sebelah barat kawasan rawa, dan sebelah selatan berupa Sungai Tenggarong. Posisi istana tidak tepat ditengah tetapi lebih dekat ke arah Sungai Tenggarong.

2. Paser Balengkong

Paser Balengkong merupakan ibukota Kerajaan Paser yang terletak di sebaelah selatan Kerajaan Kutai Kertanegara. Berbeda dengan Tenggarong yang sekarang berkembang menjadi kota besar, Paser Balengkong sekarang hanyalah merupakan sebuah kota kecamatan kecil. Selain itu terdapat pula perbedaan yang cukup mencolok yaitu bangunan yang ada di Paser Balengkong tidak terlalu kompleks. Di tempat tersebut hanya terdapat bangunan istana dan masjid yang masih utuh, menyatu dalam satu halaman. Pasar sebagai tempat aktivitas perekonomian bangunan yang sama sekali baru, sedangkan pelabuhan yang berjumlah dua buah sekarang juga merupakan dermaga baru. Di sebelah utara pada jarak sekitar 400 meter dari istana, terdapat istana raja muda dan bangunan saudagar kaya. Disengaja atau tidak penempatan bangunan tersebut, namun yang jelas nampak bahwa berdasarkan peninggalan yang masih dapat dilacak bangunan istana raja muda tersebut berada di batas kota.

Seperti halnya Tenggarong, Paser Balengkong juga dikelilingi parit keliling. Apabila parit keliling tersebut dianggap sebagai batas kota, maka ukuran kota diperkirakan berkisar 1000 m X 650 m. Adapun batas-batas kota selain parit adalah daerah rawa dan Sungai Kendilo yang terletak 100 meter di depan istana. Istana dan masjid yang berada dalam satu area halaman berada di atas lahan yang sering terendam air apabila Sungai Kendilo meluap. Namun demikian karena tempat tersebut dianggap paling ideal maka kedua bangunan tersebut tidak pernah dipindahkan. Yang agak menarik adalah adanya dua dermaga pada dua tempat berbeda. Dermaga pertama merupakan dermaga milik kerajaan, yang dapat dimaklumi apabila hanya digunakan oleh para pembesar kerajaan saja, sedangkan dermaga kedua berada di depan pasar dan difungsikan sebagai dermaga perdagangan umum. Bila melihat kondisi Sungai Kendilo yang tidak begitu besar mungkin sekali kapal-kapal yang merapat di tempat tersebut hanya kapal kecil, sementara yang besar mungkin berlabuh di muara sungai.

Foto 2. Kompleks Istana dan Masjid Paser Balengkong

Dalam struktur tatakota istana tidak terletak tepat di tengah tetapi cenderung lebih ke utara. Melihat kondisi alam dapat dimaklumi apabila perkembangan kota cenderung stagnan. Wilayah permukiman lebih banyak berada di sebelah selatan istana, sedangkan kawasan perdagangan berada di sebelah utara. Cukup menarik bahwa pasar yang semula berjarak sekitar 300 meter sebelah utara istana pernah dipindahkan ke dekat istana, namun dipindahkan lagi sekitar 100 lebih ke selatan yang terus bertahan sampai saat ini. Apabila dilihat pada kondisi sekarang memang tempat tersebut lebih sesuai karena terletak lebih dekat pada kawasan permukiman.

3. Pontianak

Kompleks istana berada di Kampung dalam Bugis, Kota Pontianak, menghadap ke arah barat laut. Di sekitarnya terdapat toponim yang menunjukkan identitas penghuninya pada masa lalu bahkan sampai saat ini, antara lain Kampung Arab, kampung Bugis, kampung Beting, Kampung Luar, Kampung Melayu, dan Kampung Saigon. Di depan istana terdapat alun-alun dan perumahan para punggawa kerajaan. Di belakang istana yang dihubungkan dengan teras terbuka terdapat rumah tempat tinggal raja. Kompleks istana, rumah raja, dan rumah para punggawa berada di dalam tembok keliling yang pada bagian depannya dipasangi meriam. Untuk masuk ke kawasan tersebut harus melalui pintu gerbang yang berjarak sekitar 100 meter dari istana. Istana yang ada sekarang sebenarnya bukan bentuk asli ketika didirikan pertama, tetapi sudah merupakan hasil perombakan.

Foto 3. Istana Kadriyah Pontianak

Sekitar 200 meter di depan istana terdapat masjid jami kerajaan yang dinamakan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman. Menurut cerita masjid tersebut lebih dahulu berdiri dibandingkan istana. Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat raja pertama sebelumnya merupakan seorang ulama yang bernama Syarif Abdurrahman. Raja juga memiliki pelabuhan khusus yang berada di belakang masjid jami”. Sebagaimana istana, masjid inipun juga sudah mengalami beberapa kali perombakan, sehingga menghasilkan bentuk dan luasan seperti yang terlihat sekarang. Tentunya perubahan-perubahan yang terjadi pada istana maupun masjid tersebut tidak terlepas dari situasi dan kondisi Kesultanan Pontianak, baik ekonomi, sosial, maupun politik (Satyananda, 1996 : 7).

Di sekeliling istana juga terdapat parit yang menembus permukiman penduduk. Pada masa lalu parit-parit tersebut cukup lebar, dan mempunyai banyak fungsi. Akan tetapi seiring makin padatnya penduduk, prit tersebut makin menyempit dan banyak tertutup sampah rumah tangga. Parit-parit tersebut ada yang alirannya sejajar istana ada juga yang menyilang, namun pada akhirnya bermuara ke Sungai Kapuas Kecil yang terletak di sebelah barat istana. Meskipun antara istana dengan Sungai Kapuas masih terdapat permukiman namun jarak dari istana ke sungai tetap lebih dekat dibandingkan sejumlah permukiman yang mengelilinginya.

4. Mempawah

Istana sebagai sentral kegiatan kerajaan terletak di sebuah tempat yang dikelilingi sungai sehingga mirip sebuah pulau, sehingga dinamakan orang pulau pedalaman. Istana yang sekarang ini sebenarnya “baru”, yang selesai dibangun tahun 1922. Istana lama sudah rusak, namun lokasinya hanya berada di belakang istana yang sekarang. Secara keseluruhan luas kompleks istana sekitar 2 hektar, dikelilingi pagar dan tembok keliling. Di seputar istana terdapat bangunan benteng, makam raja-raja, kolam pemandian, bekas gudang mesiu, serta dermaga raja. Di luar tembok istana terdapat alun-alun, kantor raja, masjid, serta rumah wali raja. Kantor raja sekarang sudah terbakar dan dan di tempat tersebut sekarang berdiri bangunan baru menjadi kantor kelurahan. Permukiman di sekitar istana ada empat yang dinamakan sesuai nama etnis, yaitu Kampung Berunai, Kampung Bugis, Kampung Melayu, dan Kampung Siantan.

Di luar itu semua terdapat fasilitas yang lain berupa pasar yang letaknya di seberang Sungai Mempawah dan pelabuhan dagang lubuk sauh yang sekarang tinggal sebagai tempat pemancingan. Lubuk Sauh sebenarnya tidak terlalu jauh dari kota namun karena Sungai Mempawah berbelok-belok kelihatan jadi lebih jauh. Pada masa lalu perahu-perahu layar atau kapal dagang masuk ke Mempawah membongkar muatannya di tempat tersebut. Di dekat pasar sebenarnya juga terdapat dermaga namun nampaknya hanya sekedar berfungsi untuk aktivitas di pasar tersebut.

Foto 4. Istana Amantubillah Mempawah

5. Landak

Landak merupakan salah satu kerajaan di Kalimantan Barat yang memiliki sumber penghasilan utama dari pengolahan batu mulia. Pusat pemerintahan kerajaan ini mengalami beberapa kali perpindahan, yang terakhir sampai dengan saat ini ada di Ngabang (Yufiza, dalam Nurcahyani, 2005 : 5-6). Kompleks istana terletak di Kampung Raja, di dalamnya antara lain berisi istana tempat tinggal raja beserta keluarga, kantor raja (tempat bertemu raja dengan para punggawanya), masjid jami’, dan rumah Sekretariat Festival Seni Budaya Melayu yang merupakan bangunan tambahan sejak 2003. Bagian depan dan samping kompleks istana dikelilingi pagar, sedangkan bagian belakang dibatasi tanah yang menggunduk serta kawat. Gundukan tanah tersebut merupakan bekas benteng pertahanan untuk menahan serbuan musuh dari belakang atau arah hutan.

Kompleks makam terletak sekitar 200 meter di belakang istana, berbaur dengan pohon-pohon karet dan tanaman liar. Di depan istana di seberang jalan, merupakan alun-alun kerajaan yang sekarang digunakan untuk madrasah dan pesantren. Setelah melewati alun-alun, pada jarak lurus sekitar 200 meter dari istana, terdapat dermaga kerajaan yang berada di tepi Sungai Landak. Dermaga ini kadang-kadang masih berfungsi untuk penambatan perahu masyarakat dan dalm satu tahun sekali digunakan untuk mengawali perayaan tahunan kerajaan.

Foto 5. Istana Landak di Ngabang

Di depan kompleks istana terdapat jalan yang dinamakan Jl. P. Sancanata Kusuma memanjang arah utara selatan. Di pinggir jalan tersebut terdapat sejumlah rumah kediaman punggawa kerajaan, di antaranya rumah mangkubumi, rumah demang, rumah penghulu, dan sejumlah rumah milik bangsawan yang lain. Pada saat ini rumah-rumah tersebut dalam kondisi yang memprihatinkan dan tidak terawat, kecuali yang masih didiami dan dipelihara oleh ahli warisnya.

C. ISTANA DALAM STRUKTUR TATA KOTA

Mencermati berbagai posisi istana yang ada di sejumlah kerajaan tersebut di atas, nampaknya ada sejumlah perbedaan posisi istana dalam struktur kota. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi penempatan istana dalam struktur kota, misalnya magis religius, kondisi lingkungan alam, dan kondisi sosial politik pada masanya. Meskipun ada berbagai faktor pengaruh namun di manapun lokasi pembangunan istana biasanya mengawali pembentukan suatu kota. Hampir tidak ada suatu istana yang dibangun pada suatu tempat yang sudah terbentuk menjadi kota.

Faktor magis religius berhubungan dengan kepercayaan atau rasa kebatinan para penguasa yang sedang memerintah, misalnya adanya rasa diperintah dari alam gaib untuk membangun istana di suatu tempat tertentu. Kondisi lingkungan alam berhubungan dengan memenuhi syarat atau tidaknya lingkungan alam tempat akan didirikannya suatu istana, misalnya ketersediaan sumber air, rata atau tidaknya dataran di tempat tersebut, dan aman dan tidaknya dari bencana alam. Faktor sosial politk berkaitan erat dengan kondisi politik yang dijalankan para penguasa baik terhadap rakyat maupun terhadap negara tetangga. Apabila faktor ini dikedepankan karena keadaan perang maka di sekitar istana akan dikelilingi tembok benteng atau dapat juga dibangunkan benteng sebagai markas tentara atau gudang senjata.

Untuk membuktikan bahwa suatu istana didirikan pada suatu tempat karena faktor magis religius agak sulit uktuk mencari pembuktiannya, karena tidak dapat dilihat secara fisik, hanya dapat didengar dari cerita-cerita yang beredar. Ada suatu cerita menarik tentang pendirian kota Tenggarong yaitu mimpi sang raja untuk membangun istana di tempat tersebut. Dikisahkan bahwa sang raja bermimpi untuk mendirikan istana di suatu tempat di mana ada perkelahian antara dua ekor naga yang memperebutkan sebuah intan. Nampaknya hal tersebut merupakan suatu perlambang karena memang apabila dilihat dari udara istana Tenggarong tersebut berada di pertemuan dua sungai, dan terdapat sebuah pulau di depan pertemuan dua sungai tersebut, yaitu Pulau Kumala. Dalam kenyatan sebenarnya pemindahan istana ke Tenggaromg adalah untuk menghindari serangan bajak laut yang ganas.

Posisi istana dalam tata ruang kota akan mempengaruhi dan dipengaruhi berbagai kondisi yang ada di sekitarnya. Istana yang dikelilingi tembok atau pagar adalah dalam rangka melindungi diri dari berbagai kemungkinan tindakan penyerangan. Benteng-benteng atau tembok tersebut umumnya berkembang pada abad ke-16—17. Bangunan-bangunan tersebut utamanya untuk melindungi sebagian kawasan atau kawasan inti pada pusat kerajaan. Pertumbuhan kota lebih banyak terjadi di luar tembok tersebut. Tidak semua kota dikelilingi tembok tersebut tetapi paling tidak tetap ada cara lain untuk melindungi kota yaitu dengan membuat parit keliling yang diisi air. Namun demikian parit ini memiliki banyak fungsi, misalnya transportasi dan penyediaan air (Reid, 1999 : 112-116).

Salah satu istana yang memiliki benteng dalam bentuk bangunan maupun benteng dalam bentuk air ini adalah Mempawah. Pendiri kerajaan ini adalah Panembahan Adijaya yang memerintah tahun 1761 s.d. 1787. Pada masa itu sudah terjadi perang melawan Belanda yang kemudian juga meminta bantuan Pontianak, sehingga posisi Mempawah terjepit. Meskipun pertahanan Mempawah cukup kuat namun pada akhirnya istana dapat direbut musuh, sehingga raja meninggalkan istana menuju ke daerah yang lebih aman. Sampai sekarang bangunan benteng dan saluran-saluran air yang ada di Mempawah masih dapat disaksikan dengan jelas (Soren 2005 : 60-64).

Bagaiman letak istana dalam satu kota dibandingkan dengan keletakkan bangunan-bangunan yang lain, atau dengan jaringan jalan yang ada ? Dapat dikatakan bahwa posisi istana dalam struktur kota antara satu tempat dengan tempat yang lain tidak seragam. Beberapa hal yang mempengaruhi antara lain kondisi alam, kondisi sosial, dan tentu saja keinginan penguasanya sendiri. Ada istana yang berada di tengah-tengah bangunan yang lain dalam satu garis lurus, ada yang berada di persimpangan jaringan jalan darat yang juga berfungsi sebagai batas perkampungan, ada juga yang di tepi sungai langsung tanpa dibatasi bangunan lain. Ketidak seragaman tersebut memang banyak menimbulkan penafsiran, namun yang jelas memunculkan banyak keragaman.

Di Kalimantan Timur, misalnya, antara dua istana yang ada yaitu Tenggarong dan Paser Balengkong keletakaannya terhadap bangunan yang lain juga berbeda. Di Tenggarong lokasi istana pertama cenderung lebih dekat ke sungai dibandingkan istana kedua dan ketiga yang relatif sejajar. Pada posisi istana yang kedua dan ketiga lebih memberi ruang halaman yang jauh lebih luas, sehingga seperti terlihat sekarang di depan istana terdapat taman. Bangunan yang lain cenderung menyebar mengelilingi istana, sehingga nampak bahwa istana sebagai titik tengah berbagai bangunan yang ada. Namun demikian di depan istana terdapat hambatan alam yang cukup besar, yaitu Sungai Mahakam, sehingga belum memungkinkan untuk mendirikan berbagai bangunan di seberang sungai.

Bentuk yang demikian nampaknya dapat diasosiasikan sebagai suatu perembetan perluasan kota yang selalu mengarah ke pinggiran. Hal tersebut diakibatkan meningkatnya penduduk perkotaan sehingga membutuhkan ruang hidup yang lebih luas. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan, maka berbagai fungsi bangunan akan selalu mengambil ruang di daerah pinggiran kota. Apabila proses itu terjadi ke arah luar kota dapat disebut sebagai “urban sprawl” . Pada kasus di Paser Balengkong dan Landak perluasan ini dapat dikatakan sebagai perluasan memanjang, yaitu paling cepat terjadi di sepanjang jalur transportasi utama (Yunus, 2000 : 124-127). Hal ini jelas terlihat bahwa istana berada di tepi jalan transportasi utama, dan di sepanjang jalur tersebut terdapat berbagai bangunan lain yang berhubungan dengan aktivitas kerajaan. Di bagian yang lain hampir-hampir tidak ada perluasan wilayah. Kalau saat ini memang perluasan terjadi secara merata karena teknologi sudah memungkinkan untuk menaklukkan lahan yang pada masa lalu tidak dapat dimanfaatkan.

Agak berbeda dengan tiga kota di atas, Mempawah dan Pontianak mempunyai spesifikasi tersendiri. Secara geografis posisi Pontianak hampir sama dengan Tenggarong, berada di pertemuan dua sungai besar, yaitu Kapuas dan Landak. Namun demikian posisi istana terhadap bangunan di sekitarnya agak berbeda. Apabila di Tenggarong istana berada di tengah-tengah bangunan yang lain dalam bentuk setengah lingkaran tanpa ada tembok kota, maka di Pontianak istana berada di ujung deretab bangunan para pembesar istana, yang berada di dalam tembok keliling. Yang agak unik adalah posisi istana dan masjid berada pada satu garis lurus, meskipun terdapat permukiman penduduk di antara keduanya.

Pada awalnya istana dan masjid tentu ukurannya tidak sebesar dan semegah sekarang dan nampaknya dibuat dengan bahan-bahan yang lebih sederhana. Namun demikian karena perkembangan waktu dan kemampuan kerajaan maka kedua bangunan tersebut menjadi lebih besar. Adanya tembok keliling (mungkin dahulu hanya dari kayu ?) tentu untuk melindungi dari dari berbagai gangguan yang akan menimpa. Daerah sekitar tersebut sebelum adanya kerajaan memang dapat dikatakan rawan kejahatan terutama perompakan. Namun demikian atas bantuan dari berbagai pihak akhirnya Syarif Abdurrahman dapat membangun kota di tempat tersebut dan selanjutnya menjadi raja pertama (Purwana, dkk, 2004 : 13-15).

Untuk memasuki wilayah istana nampaknya cukup sulit, karena dibuat sistem pengamanan berlapis. Lapisan pertama tentunya sungai besar sebagai jalan raya utama, setelah itu ada parit-parit keliling yang cukup lebar meskipun di beberapa tempat tentunya ada jembatan, setelah itu baru tembok keliling. Tentunya antara sungai besar dengan parit dan antara parit dengan tembok keliling terdapat permukiman penduduk. Untuk mencapai tempat terpenting, yaitu istana atau kraton tidak mudah karena terdapat gerbang yang tentu terdapat tentara penjaga. Pada tembok keliling tersebut juga dipasangi sejumlah meriam, meskipun mungkin saja dipasang pada masa kemudian (Purwana, ibid, 30-31).

Semua masjid kerajaan dapat dikatakan dibangun di dekat istana, dapat dalam satu halaman dapat pula berada di halaman lain. Hal ini menunjukkan bahwa raja sebagai penguasa masih tetap memperhatikan keperluan para pemeluk agama Islam dalam menjalankan ibadahnya. Biasanya dalam satu kota besar hanya akan terdapat satu masjid besar saja, dengan atap tumpang yang membedakan dengan jenis bangunan yang lain. Kadang-kadang apabila atapnya cukup tinggi akan mudah terlihat dari jarak jauh. Meskipun hanya ada satu masjid besar namun tentu saja di dalam suatu kota tatap terdapat tempat beribadah yang lebih kecil, misalnya surau atau langgar. Adanya bangunan-bangunan keagamaan tersebut salah satunya tentu dimaksudkan untuk tetap menjaga kebajikan yang dilandasi perintah agama (Reid, op.cit., : 111, Tjandrasasmita, 1993 : 284).

Di Pontianak masjid berada di sebelah depan istana pada jarak sekitar 200 m, di antara keduanya terdapat permukiman dan kanal. Di Mempawah letak masjid sekitar 200 m di sebelah selatan, di tepi Sungai Mempawah. Masjid Tenggarong juga tidak berada satu halaman dengan istana, karena berada di luar parit keliling. Posisi istana dan masjid yang berada dalam satu halaman adalah di Landak dan Paser Balengkong. Untuk kedua kota terakhir ini masjid, istana dan bangunan-bangunan lain berada pada satu deret secara linier, di tepi jalan raya utama, baik jalan raya darat maupun jalan air.

Dilihat poisinya pada saat ini, hanya Tenggarong dan Pontianak yang dapat dikatakan kompleks istananya masih berada di dalam wilayah kota sekarang, sedangkan Landak, Mempawah dan Paser Balengkong tidak lagi berada di tengah kota. Mungkin saja secara kebetulan, namun posisi istana Tenggarong dan Pontianak beserta bangunan yang lain tidak hanya berada pada satu garis lurus tetapi menyebar. Posisi tersebut memang lebih memungkinkan untuk dapat berkembang lebih lanjut, apalagi topografi tanahnya relatif datar. Landak dan Paser Balengkong istananya berada pada satu garis lrus dengan berbagai bangunan yang lain. Posisi ini memang sangat sulit mengembangkan kota karena banyak kendala terutama faktor alam. Demikian juga istana Mempawah yang meskipun tidak berpola linier namun berada di satu tempat yang terisolir, sehingga perkembangan kota jauh berada di luar kawasan kota lama.

D. PENUTUP

Posisi atau keletakan istana dalam struktur tata ruang kota tidak selalu sama antara satu tempat dengan tempat yang lain. Persamaan dan perbedaan merupakan suatu keanekaragaman budaya yang selalu ada sejak masa lalu hingga saat ini. Keberadaan berbagai istana di lima kota tersebut meskipun belum menggambarkan seluruh kota-kota kerajaan yang ada di Kalimantan, namun dapat memberikan sedikit gambaran mengenai kondisi sebagian di antaranya. Tidak setiap kota kerajaan mempunyai alun-alun karena memang kondisi alamnya yang tidak memungkinkan, tetapi pasti mempunyai istana dan masjid yang keberadaannya masih dapat dapat disaksikan hingga saat ini. Kondisi alam atau geografis sangat mempengaruhi perkembangan kota setelah berakhirnya era kerajaan, sehingga dapat dimaklumi kalau kemudian istana sekarang tidak lagi terletak di tengah kota, tetapi bergeser ke pinggiran yang sepi.

DAFTAR PUSTAKA

Reid, Anthony, 1999. Dari Ekspansi Hingga Krisis : jaringan perdagangan global Asia Tenggara 1450 – 1680 (terj. Oleh R.Z. Leirissa dan P.Soemitro). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Tjandrasasmita, Uka, ed. 1993. Sejarah Nasional ndonesia III. Jakarta : Balai Pustaka.

Yunus, hadi Sabari, 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Purwana, Bambang H. Suta, dkk, 2004. Sejarah Pemerintahan Kota Pontianak dari Masa ke Masa. Pontianak : Pemerintah Kota Pontianak.

Soren, Ellyas Suryani, 2005. Sejarah Mempawah Tempo Doeloe. Mempawah : Kantor Informasi, Arsip dan Perpustakaan Daerah.

Yufiza, 2005. Gelar Bangsawan di Kerajaan Landak dan Penggunaannya, dalam Lisyawati Nurcahyani, Jurnal Sejarah dan Budaya Kalimantan edisi 07/2005 hlm. 1-21. Pontianak : Balai kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.

Satyananda, I Made, ed., 1996. Pendataan Peninggalan Sejarah Keraton Kadriah Pontianak. Pontianak : Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Kalimantan Barat.

No comments: