Monday, November 19, 2007

PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM
SEBAGAI PENDUKUNG BUDAYA DI PEGUNUNGAN MERATUS

Andi Nuralang
Balai Arkeologi Banjarmasin

Abstrak
Menara air Kalimantan Selatan ada di Meratus. Jika Meratus rusak, daerah lain dipastikan banjir. Manusia sebagai bagian dari lingkungannya mempunyai hubungan timbal balik yang selaras dengan lingkungannya atau ada keseimbangan alam dalam berinteraksi. Dari semua makhluk, manusialah yang paling mampu untuk beradaptasi. Namun, intervensi manusia dengan intensitas tinggi terhadap lingkungannya maupun ekosistemnya mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekologik dan menimbulkan reaksi yang akhirnya melahirkan bencana. Oleh karena itu dalam mengeksploitasi alam hendaknya menyadari akan pentingnya alam dan jika rusak akan mempunyai akibat.
Pengembalian keasrian kawasan Pegunungan Meratus tidak bisa ditunda lagi jika ingin menyelamatkan masyarakat Kalimantan Selatan dari bencana alam dan keterpurukan dalam kemiskinan. Fakta bencana alam, baik banjir bandang, longsor hingga kekeringan yang melanda sejumlah daerah saat ini merupakan akibat kerusakan lingkungan hutan di pegunungan. Hilangnya hutan berarti akan menghilangkan lingkungan manusia dan budayanya.

South Kalimantan’s Watertower in Meratus mountain range. If Meratus break, it territory will inundated. The people is a part included have relationship balancing accordance or dropped and balance of interaction. From all the creature, the people can interaction. While it intervention with high intensity with included although ecosystem result disturbed balancing ecology until inundated. If explitation wish be aware important realm.
Return Meratus’s harmoniously cannot delay, if will become prosperity south Kalimantan from calamity and destitute. The fact calamity to the amount territory result disturbed forest in mountain. Be lost forest meaning will be lost inundated people and it culture.

Kata kunci: budaya, rehabilitasi, hutan, lahan, sumberdaya, alam, Meratus, sumber air.

I. Pendahuluan
Pemanfaatan sumberdaya alam sebagai pendukung budaya tidak terlepas dari aspek lingkungan alam, manusia dan budaya yang dihasilkannya. Konsep yang biasanya melatarbelakangi hubungan ini adalah adaptasi. Mengingat lingkungan adalah salah satu komponen dalam membentuk budaya masyarakat. Pemanfataan sumberdaya alam oleh manusia dijembatani oleh hasil karya yang dihasilkan (Prijono, 2001). Hal ini dapat ditemukan berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Banjarmasin di kaki Pegunungan Meratus telah ditemukan sisa-sisa aktivitas kehidupan masyarakat purba, temuannya antara lain penggunaan alat batu yang bahannya dari sekitar pegunungan tersebut; penggunaan sungai sebagai sumber kehidupan temuannya berupa cangkang-cangkang molusca yang dijadikan sebagai makanan; penggunaan gua sebagai tempat tinggal dan beraktivitas misalnya penguburan, (Widianto, dkk 1997; Widianto dan Retno Handini 2004; Bambang Sugiyanto, 2006).
Pegunungan Meratus membentang dari Kabupaten Banjar sampai ke Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan bahkan memasuki wilayah Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Dari sekian banyak suku yang mendiami wilayah tersebut, dapat diketahui berdasarkan sisa-sisa kehidupan yang ditinggalkan di permukaan maupun di dalam tanah. Sisa-sisa kehidupan tersebut berupa artefak maupun lingkungan tempat mereka hidup. Sedangkan pada saat ini, Pegunungan Meratus dijadikan sebagai tempat tinggal antara lain bagi Dayak Meratus. Manusia memanfaatkan sumberdaya alam melalui kemampuan teknologi dan pengetahuan yang didorong oleh ketajaman nalurinya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Kemampuan teknologi terwujud pada budaya materi hasil ciptaannya, dapat diketahui berdasarkan penelitian pada Situs Gua Babi sedangkan pengetahuan terwujud dalam tindakan yang berkaitan langsung dengan sumber kehidupan dapat diketahui dari aktivitas yang mendiami wilayah pegunungan tersebut. Dayak Meratus sebagai penghuni “nomor satu” memanfaatkan alam sebagai bagian dari budayanya. Kebudayaan yang menonjol dari budaya Dayak Meratus adalah cara mereka menyambung hidup dengan mata pencaharian bertani, uniknya cara bercocok tanamnya dihubungkan dengan religi yang mereka yakini. Misalnya upacara-upacara membuka lahan pertanian baru yang dilanjutkan sampai panen. Kesalingtergantungan antara sistem religi dan sistem ekonomi terlihat dalam cara memproduksi dan mengkonsumsinya.
Permasalahan timbul ketika manusia ingin menguasai alam melewati batas kemampuannya? Keadaan Pegunungan Meratus dimana aktivitas manusia yang beradab dan santun memelihara alam terusik. Alam tak lagi dihormati seperti hormatnya Dayak Meratus kepada alam tempat mereka hidup. Perambahan hutan dan eksploitasi besar-besaran membuat belantara Pegunungan Meratus kian hari kian kritis. Tidak tanggung-tanggung, 229 Kuasa Pertambangan (KP) secara terang-terangan merusak 87.411 hektare hutan lindung Meratus. Padahal pemegang KP tidak mendapatkan izin pinjam pakai. Penambang juga menggarap 397.770 hektare hutan produksi di daerah tangkapan air tersebut. Data Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan memperlihatkan pula setidaknya ada enam kabupaten, yang hutan lindungnya, dikapling pengusaha pertambangan. Paling banyak di Kabupaten Tabalong (dimana Situs Gua Prasejarah yang potensial adalah di kabupaten tersebut).
Pengembalian keasrian kawasan Pegunungan Meratus tidak bisa ditunda lagi jika ingin menyelamatkan masyarakat Kalimantan Selatan dari bencana alam dan keterpurukan dalam kemiskinan. Fakta bencana alam, baik bandang, longsor hingga kekeringan yang melanda sejumlah daerah di Tanah Air saat ini merupakan akibat kerusakan lingkungan hutan di pegunungan. Akibat penambangan dan penebangan liar di kawasan ini, tercatat 3.147.464.578 hektare dalam kondisi kritis. Luas lahan yang demikian ini menunjukkan pertambahan terus menerus, sehingga mengancam kelestarian lingkungan hidup di Kalimantan Selatan. Pemerintahpun segera meluncurkan program rehabilitasi untuk mengantisipasi kian parahnya lingkungan berikut dampak yang dialami masyarakat Kalimantan Selatan. Diantaranya dicanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Di Kalimantan Selatan, gerakan ini menargetkan 349.912 hektare dari 3 juta hektare lahan rehabilitasi di Indonesia. Apalagi secara hukum, penambangan dan penebangan kayu tidak sesuai peruntukkan sehingga harus dihentikan.
Kondisi kerusakan hutan Indonesia dewasa ini sangat mencemaskan. Oleh karena itu, upaya penyelamatan hutan dan lingkungan serta sumber daya alam menjadi niscaya. Saat ini telah 59 juta hektare kawasan hutan rusak dan kerusakan itu masih terus bertambah dua juta hektare lebih setiap tahun, akibat illegal logging yang merusak ekosistem flora dan fauna. Kerusakan itu tidak hanya mempercepat kepunahan flora dan fauna yang tak dimiliki bangsa lain, tetapi menimbulkan berbagai bencana seperti banjir dan tanah longsor, kesulitan air, perubahan iklim dan kebakaran hutan yang kemudian menimbulkan ekspor asap ke negara tetangga yang cukup memalukan bangsa.
Mari kita canangkan perang terhadap penebangan liar. Kita berantas pencurian hasil hutan dan perdagangan gelap kayu hutan curian itu ke luar negeri serta semua aktivitas yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Kondisi ekosistem di pegunungan Meratus saat ini, banyak ditemukan lubang-lubang tambang yang tidak reklamasi. Areal hutan alam di Kalimantan Selatan tinggal 4.175.414 hektare, sebagian besar di kawasan Meratus. Pegunungan Meratus harus dipertahankan. Semua pihak harus menghentikan segala bentuk kegiatan penambangan dan penebangan hutan, terutama dikawasan yang dilindungi. Pemerintah harus menjamin tidak ada lagi alih fungsi lahan konservasi untuk kegiatan lainnya. Kemana Dayak Meratus di”eksodus”? jika lahan hidupnya sudah hancur?
Dikhawatirkan rencana PT Krakatau Steel, pengolah bijih besi justru memperparah lingkungan Kalimantan Selatan. Potensi bijih besi di Meratus memang sangat besar. Jika dieksploitasi, Kalimantan Selatan akan menghadapi masalah besar karena merusak kawasan sumber air utama bagi masyarakat Kalimantan Selatan. Mendukung program penyelamatan lingkungan, Departem Kehutanan menyetop 107 pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dari kawasan konsesi. PT Kayu Lapis Indonesia adalah satu diantara banyak pemegang saham HPH yang sudah dibidik. Laju deforestasi Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Setidaknya deforestasi menimpa 1,9 juta hektare dalam 5 tahun terakhir sejak 2000-2005. melihat fakta itu, dephut berencana melakukan audit total terhadap pemegang HPH. Itu sebabnya revisi Perda tentang tata ruang Kalimantan Selatan dipastikan Meratus diberi ruang khusus demi menjaga kelestariannya (Bpost, Senin, 24 April 2006 hal. 1).

II. Potensi Kalimantan Selatan
Keinginan untuk ekspansi mendirikan pabrik baja di Kalimantan Selatan, setelah di Cilegon (Krakatau Steel), tampaknya cukup beralasan. Pasalnya, potensi bijih besi di wilayah Kalimantan Selatan sangat menjanjikan yakni mencapai 50 miliar ton lebih. Berdasarkan data Seksi pengembangan Geologi dan Sumber Daya Mineral Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Selatan tahun 2002, potensi bijih besi yang tersebar di 15 lokasi pada empat kabupaten yakni Tanah Bumbu, Kotabaru, Tanah Laut dan Balangan. Data tersebut belum termasuk yang di Tabalong. Padahal kegiatan eksplorasi di kawasan tersebut telah ada. Dari empat kabupaten itu, Tanah Bumbu memiliki potensi terbesar. Setidaknya ada 100 juta ton sumberdaya terunjuk bijih besi berkadar sampai 44 persen.
Potensi terbesar berikutnya ada di Kabupaten Kotabaru, terekam data ada 86.120.700 ton besi-besi berkadar 46,76 persen. Bahan baku baja ini ditemui di Pulau Sebuku. Sementara, daerah yang memiliki potensi lokasi sebaran bijih besi terbanyak adalah di Kabupaten Tanah Laut. Di kabupaten ini, potensi tambang bijih besi terdapat di 11 titik yang membentang diantara daerah Tanjung (12 kilometer timur laut ibukota kabupaten, Pleihari), Gunung Batu Kora (10 kilometer timur laut Pleihari), Jajakan, Saranggalang, Takisung, Gunung Tembaga, Gunung Melati, Koratain Riam Pinang, Gunung Ulin, dan Desa Panggung di Pleihari. Jika ditotal keseluruhan potensi disana ada 3.579.200 ton. Dari segi kualitas, bijih besi di Tanah Laut merupakan yang terbaik dibanding daerah lainnya. Kadarnya lumayan tinggi yakni antara 58 persen hingga 62 persen, Kabarnya, saat ini penambangan bijih besi disana telah dilakukan. Sementara di daerah Balangan ada dua daerah berpotensi sumberdaya bijih besi. Di kawasan Gunung Tanalang dan Batu Berani terdapat kandungan sekitar 4,64 juta ton bijih besi. Dengan perkiraan potensi tersebut, apakah Kalimantan Selatan mampu memasok untuk pabrik baja seperti yang direncanakan sulit memprediksinya yang pasti tidak dapat dilakukan secara instan.(Bpost, Rabu, 5 April 2006 hal 12.).
Kabupaten Tabalong memiliki 42.821 hektare hutan lindung yang dieksploitasi 10 pemegang KP. Urutan kedua ditempati Kotabaru. Di kabupaten ini 72 KP menggarap 31.143 hektare hutan lindung. Disusul Tanah Bumbu yang memiliki sebaran KP terbanyak yaitu 118 KP di areal 9.485 hektare hutan lindung. Sementara di Kabupaten Banjar ada 3.322 hektare hutan lindung ditambang 12 pemegang KP. Tapin dengan 1.040 hektare hutan lindung dikerjakan 12 KP. Terakhir HSS dengan 5 KP dan 139 hektare hutan lindung yang dicaplok. Anehnya hanya ada dua perusahaan yang memiliki izin pinjam pakai penambangan di hutan yakni PT Arutmin di Kotabaru (izin PKP2B oleh pusat) dan PT Jorong Barutama Grestone.

Pertambangan di Hutan Lindung:

Kabupaten

KP
Luas
Banjar
12
3.322 ha
Tapin
12
1.040 ha
HSS
5
139 ha
Tabalong
10
42.282 ha
Tanah Bumbu
118
9.485 ha
Kotabaru
72
31.143 ha
Jumlah

229
49.411 ha
Sumber: Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan

Peta penunjukan kawasan hutan dan perairan di Kalimantan Selatan. Sesuai SK Menteri Perhutanan No. 453/Kpts-II/1999, total kawasan hutan lindung di Kalimantan Selatan seluas 564.139 hektare. Luasan tersebut memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan. (Bpost Selasa 25 April 2006 hal 12)

No

Jenis izin
Jumlah
Lokasi
1
Kontrak Karya (KK)
2
Banjarbaru, Banjar, Tala, Kotabaru
2
Perjanjian Penguasaan
23
Kotabaru, Tala, Tabalong, Tapin, Pertambangan Batubara HSS, HST, Balangan, Tanbu (PKP2B)
3
KP Non Batu bara
17
Tanbu, Tabalong, Kotabaru, Tala, (Termasuk bijih besi) HSU, Banjar.
4
KP eksplorasi non bara
2
Banjar, Tanbu, Tabalong, Kotabaru
5
KP eksploitasi bara
94
Tapin, Tanbu. Banjar, Kotabaru, Tala, Tabalong
6
KP eksplorasi
154
Tapin, Tanbu, Banjar, Kotabaru, Tala, Tabalong
7
KP penyelidikan umum
10
Tapin, Tanbu, Banjar, Kotabaru, Tala dan Tabalong
Sumber: Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan

Pegunungan Meratus merupakan kawasan alami yang tersisa di Propinsi Kalimantan Selatan. Kawasan ini seperti pegunungan lainnya, termasuk ekosistem yang ringkih (fragile ecosystem) alias lingkungan yang sangat sensitif akan kerusakan. Namun pada kenyataannya kerusakannya sudah ada di depan mata. Penambangan dan perambahan lahan di hutan Meratus sudah bukan rahasia lagi. Data di Dinas Kehutanan cukup mencengangkan, hutan lindung yang seyogyanya tidak boleh dirambah justru telah dicaplok oleh kuasa pertambangan (KP) yang kerjaannya mengeruk kekayaan alam Kalimantan Selatan kendati tidak mengantongi izin pinjam pakai (Baca Bpost Selasa 25 April 2006). Padahal, kawasan Meratus apalagi hutannya sangat berperan untuk menjamin stabilitas iklim, tidak hanya tingkat lokal, tapi juga nasional, bahkan internasional. Begitu juga menara air Kalimantan Selatan ada di Meratus. Jika meratus rusak, daerah lain dipastikan banjir.
Provinsi Kalimantan Selatan yang luasnya 37.530 kilometer persegi tidak lagi memiliki hutan alam tropis basah dataran rendah yang berarti karena hutannya terus dieksploitasi sejak tahun 1968. saat ini hutan alam yang tergolong cukup baik hanya di beberapa bagian Pegunungan Meratus. Namun, hutan tersebutpun tampaknya rawan eksploitasi, berubah menjadi kawasan tambang. Jika hutan di Meratus ini tak terselamatkan, Kalimantan Selatan menjadi provinsi pertama di Kalimantan yang kehabisan hutan alam. Hutan Kalimantan Selatan paling cepat habis dibandingkan dengan hutan di tiga provinsi lainnya di Kalimantan. Penyebabnya, sejak dimulai investasi penanaman modal dalam negeri tahun 1968, pendidrian industri kayu dengan kewajiban memiliki hak pengusahaan hutan (HPH) terkonsentrasi di Kalimantan Selatan. Provinsi ini jadi pilihan karena infrastrukturnya memadai dan jalur angkutan lautnya paling ramai.
Sampai tahun 2005 di Kalimantan Selatan ada 129 industri kayu, terdiri dari 14 industri kayu, terdiri dari 14 industri kayu lapis, tujuh Veneer (produk dari lapisan kayu halus), dan 108 kilang penggergajian kayu (sawmill). Industri tersebut memerlukan bahan baku empat juta meter kubik kayu per tahun. Sementara itu, jatah tebang hutan produksi Kalimantan Selatan hanya 66.000 meter kubik dan realisasinya 46.000 meter kubik pertahun. Hutan tanaman industri (HTI) menyumbang bahan baku sekitar 516.000 meter kubik pertahun. Artinya 85 persen bahan baku kayu didatangkan dari luar, seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Maluku dan Irian Jaya. Kondisi inilah yang menyebabkan banyak industri kayu rontok. Sejauh ini tiga industri kayu lapis pailit dan hampir semua industri kayu lapis lainnya mengurangi karyawan dan hanya beroperasi 30-40 persen dari kapasitas terpasang. Industri tersebut hanya beroperasi jika ada bahan baku, kalau tetap ingin ada kayu 20 tahun mendatang, mulai kini harus gemar menanam. Tanpa itu Kalimantan Selatan sulit mempertahankan industri kayunya (Bpost, Senin, 8 Mei 2006 hal. 22).
Nilai berharga hutan Meratus bagi para pekerja lingkungan, terletak pada kekayaan flora dan fauna serta lingkungannya. Eksploitasi diyakini akan menghancurkan kekayaan alamnya. Pada saat bersamaan, dari sisi bisnis, hutan Meratus adalah aset berharga yang sangat menggiurkan. Milliaran hingga triliunan rupiah berpotensi didulang, tentu dengan investasi yang tidak kecil pula. Melihat potensi alam dan budayanya, salah satu program pemberdayaan masyarakat hutan yang dinilai cocok adalah ekowisata atau hasil hutan non kayu.












III. Mitos Kearifan Dan Kerusakan Lingkungan
Ramalan suku Indian menyebutkan akan datang suatu masa ketika bumi sekarat akibat ulah manusia dan Juga disebutkan dalam Al-Qur’an ( Qur’an : S. Al-Baqarah ; ayat : 11).
Dan apabila dikatakan kepada mereka janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi mereka menjawab sesungguhnya kami hanya mengadakan perbaikan. Bahwa akan datang suatu masa bumi beserta isinya akan hancur ulah dari manusia.
Akibat lemahnya pengawasan baik karena sistem maupun sumber daya manusia, kerusakan lingkungan tetap terjadi akibat proyek pembangunan sekalipun lolos uji AMDAL. Bukan rahasia lagi, AMDAL terdegradasi menjadi formalitas perizinan berkonsekuensi biaya, bahkan seolah-olah menghambat investasi. Kondisi pelaksanaan AMDAL saat ini dinilai masih banyak menimbulkan persoalan sejak proses hingga hasil akhir di lapangan. Proses dinilai berbelit-belit dan melibatkan uang sogokan, sedangkan penerapan di lapangan jauh dari harapan.
Selamatkan hutan dan sumber daya alam lainnya sekarang juga. kondisi kerusakan hutan Indonesia dewasa ini sangat mencemaskan. Oleh karena itu, upaya menyelamatkan hutan dan lingkungan serta sumber daya alam menjadi niscaya. Saat ini telah 59 juta hektare kawasan hutan negeri ini rusak dan kerusakan itu masih terus bertambah 2 juta hektare lebih setiap tahun, akibat ilegal loging yang merusak ekosistem flora dan fauna. Kerusakan itu tidak hanya mempercepat kepunahan flora dan fauna yang tidak dimiliki bangsa lain, tetapi menimbulkan berbagai bencana seperti banjir dan tanah longsor, kesulitan air, perubahan iklim dan kebakaran hutan yang kemudian menimbulkan ekspor asap ke negara tetangga yang cukup memalukan bangsa. Dari sini mari kita canangkan perang terhadap penebangan liar, kita berantas pencurian hasil hutan dan perdagangan gelap kayu hutan curian itu ke luar negeri, serta semua aktivitas yang tidak direklamasi.
Merencanakan pembangunan harus memahami karakteristik masyarakat dimana program pembangunan tersebut menyentuh batas-batas budaya suatu masyarakat. Bercermin pada fenomena tersebut, perlu kiranya disusun program pembangunan yang betul-betul berurat nadi pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk menuangkan segala aspirasi dan kebutuhan mendesak, kemudian mendiskusikan secara musyawarah mufakat akan menjamin keberhasilan pembangunan. Dengan melibatkan partisipasi masyarakat sebagai sasaran pembangunan, maka masyarakat tidak merasa di “eksodus” di daerahnya sendiri. Realitas yang terjadi di masyarakat Indonesia menjadi bukti bahwa ketika suatu pembangunan terjadi, lahan diambilalih masyarakatnya terusik ke pinggiran. Masyarakat dan pemerintah masing-masing mempunyai peran, yang terjadikan selama ini Dayak Meratus dinafikan perannya sekaligus sebagai penyebab kerusakan hutan di Pegunungan Meratus, berkat ladang berpindahnya.
Pemberdayaan masyarakat adalah untuk medelegasikan sebagian otoritas pembangunan artinya melibatkan masyarakat dan tidak mengesampingkan perannya. Rencana pembangunan pabrik baja diharapkan tidak meninggalkan masalah baru bagi lingkungan di Pegunungan Meratus masalahnya menara air Kalimantan Selatan ada di Pegunungan Meratus. Kalau Meratus sampai gundul bencana akan melanda Kalimantan Selatan. Jalan terbaik jika hutan produksi dan hutan lindungnya tidak disewakan dan dimanfaatkan untuk perorangan atau sekelompok orang lagi.
Kemana Dayak Meratus akan melanjutkan budaya bertanamnya ketika lahannya tidak ada lagi ? masyarakat dayak identik dengan praktek perladangan berpindah[1]. Kondisi fisik lahan yang dikelilingi kawasan hutan alam tropis, faktor demografis penduduk yang terus bertambah, tingkat kesuburan lahan, kelimpahan potensi sumber daya hutan serta sistem sosial budaya masyarakat setempat telah menjadikan sistem pertanian ladang berpindah merupakan mata pencaharian utama masyarakat sejak beberapa generasi. Selain mampu memenuhi kebutuhan ekonomis, praktek perladangan berpindah juga terbukti mampu mewujudkan harmonisasi hubungan antar komunitas. Namun yang paling penting, praktek perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat selama beberapa generasi terbukti mampu mewujudkan kelestarian fungsi ekonomi hutan tanpa mengabaikan peran lingkungan maupun keberlanjutan peran sosial budaya sumberdaya hutan.
Persoalannya, praktek pertanian ladang mengalami distorsi konseptual yang berdampak sangat negatif terhadap eksistensi dan kelangsungannya. Salah satu distorsi persepsi tentang praktek pertanian ladang berpindah adalah stigma yang menyatakan bahwa praktek pertanian tradisional ini merupakan salah satu sumber kerusakan lingkungan. Dalam kamus komunitas modern dinyatakan bahwa ladang berpindah adalah sebuah bentuk praktek pengelolaan lahan yang konon tidak ekonomis dan tidak akrab lingkungan. Maka, perladangan yang sesungguhnya merupakan sebuah sistem yang demikian adaptif terhadap lingkungannya., mengalami pergeseran. Sebuah marginalisasi. Perladangan yang sarat dengan kearifan kini tergerus oleh berbagai perubahan yang-sebagian diantaranya- dilakukan secara sistematis.
Tidak mengherankan apabila dalam perjalanan waktu untuk mempertahankan eksistensi dan segenap kearifan, sistem pertanian ladang terus mengalami tantangan dan hambatan. Terdapat tiga persoalan pokok yang menghantui eksistensi sistem perladangan, yaitu 1) tekanan penduduk, 2) hilangnya kesuburan lahan, dan 3) kebijakan pemerintah yang tidak memihak. Menghadapi tekanan penduduk dan tingkat kesuburan tanah yang makin menurun, kearifan masyarakat diyakini akan mampu mengakomodasikannya, namun menghadapi kebijakan yang tidak memihak, terbukti masyarakat tidak berdaya menghadapinya (Nugraha, 2005).
Untuk menjembatani masalah eksploitasi yang tak terkendali saat ini, sebaiknya dilakukan langkah-langkah konkrit dengan penerapan Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) yang harus betul-betul mendapat pengawasan, baik dari pemerintah, masyarakat maupun pemegang proyek tersebut. Semua kebijakan untuk kelestarian sumberdaya alam dan sumberdaya budaya tergantung pada masyarakat, dan pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan akan dimintai pertanggungjawabannya, apabila hal ini terabaikan, maka akan dianggap sebagai pemerintah yang tidak mempunyai sense of responsibility terhadap sumberdaya tersebut. Pengelolaan yang paling cocok yaitu, melalui strategi ramah lingkungan. Oleh karena itu, hubungan timbal-balik antara pembangunan dengan lingkungan, lingkungan dengan sosial-budaya, dan sosial-budaya dengan pembangunan. Kurangnya informasi dan kerjasama dengan masyarakat mengakibatkan pembangunan kurang berwawasan lingkungan dan mengenai pentingnya warisan budaya bagi perkembangan bangsa. Konflik perbedaan kepentingan terjadi akibat ketidaksamaan persepsi dalam wawasan, atau dalam memberikan arti dan makna bagi benda cagar budaya dan lingkungannya. Suatu hal yang menjadi keprihatinan kita sampai sekarang adalah masih kurangnya pemahaman dan penghargaan masyarakat terhadap nilai-nilai warisan budaya bangsa. Pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) dapat dilakukan terbatas, tidak melebihi batas yang dibutuhkan, dan tetap berjalan pada aturan yang ditetapkan yaitu, pengelolaan lingkungan yang berbasis alam. Hilangnya sumberdaya alam dan lingkungannya otomatis akan menghilangkan sumberdaya budaya manusia pendukungnya.

IV. Penutup dan Rekomendasi
Pengembangan dan pembinaan kebudayaan nasional bangsa Indonesia tidak dapat berjalan lancar tanpa adanya keseimbangan dalam wawasan. Kondisi di lapangan terjadinya kerusakan dan ketidakseimbangan ekosistem alam, lingkungan dan nilai budaya disebabkan ketidaksamaan persepsi dalam wawasan. Suatu hal yang menjadi keprihatinan kita sampai sekarang adalah masih kurangnya pemahaman dan penghargaan masyarakat terhadap nilai-nilai warisan budaya bangsa baik itu hanya sebagai nilai budaya, budaya materi maupun lingkungan alamnya. Sumberdaya budaya dan nilai suku Dayak Meratus akan hilang seiring dengan hilangnya lingkungan mereka hidup. Masalahnya yang belum tuntas sampai kini bagaimana menyamakan persepsi bagi pemilik kepentingan. Salah satu langkah nyata yaitu meningkatkan pengetahuan dan penyadaran tentang pentingnya budaya, nilai budaya dan lingkungannya bagi berlangsung suatu komunitas. ini semua adalah tugas bersama bagi instansi terkait, pemerintah, masyarakat dan seluruh komponen masyarakat.
Dibutuhkan kemitraan dalam semangat saling memahami dan saling percaya yang positif konstruktif diantara berbagai stakeholders demi menjamin lingkungan hidup menjadi bagian integral dari keseluruhan proses pembangunan. Keberhasilan pembangunan berkelanjutan memerlukan suatu sinergi positif antara tiga kekuatan utama, yaitu: 1). Negara (pemerintah) dengan kekuatan politiknya, Sektor swasta dengan kekuatan ekonominya, dan masyarakat dengan kekuatan moralnya.
Adakah keinginan untuk menjadi greenpeace-greenpeace yang akan menyelamatkan hutan, lingkungan dan budaya Kalimantan Selatan ?

Daftar Pustaka

Ariyanto, Gesit.
2006 Cagar Biosfer di Persimpangan Jalan. Kompas, Selasa 2 Mei 2006 hal 13 & 14.
Keraf, A.Sonny.
2006 Etika Lingkungan.Jakarta: Kompas
Maunati, Yekti
2004 Identitas Dayak Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS
Mundardjito
1993 Pertimbangan Ekologi dalam Penempatan Situs masa Hindu Budha di daerah Yogyakarta : Kajian Arkeologi Ruang Skala Makro: Tesis, Jakarta, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Nugraha, Agung
2005 Rindu Ladang Perspektif Perubahan Masayarakat Desa Hutan. Banten: Wana Aksara.
Nuralang, Andi
2005 Huma Tugal: Sistem Ekonomi Orang Bukit, Tradisi dan Refleksi Nilai-Nilai Lokal dalam Buku Dinamika Kearifan Lokal Masyarakat Kalimantan. Banjarbaru: IAAI Komda Kalimantan.
Prijono, Sudarti
2001 Sumberdaya Alam Situs Gunung Lumpang, Kabupaten Cirebon sebagai pendukung Budaya Megalitik dalam Buku Manusia dan Lingkungannya Keragaman Budaya Dalam Kajian Arkeologi. Bandung : Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Jawa Barat.

Radam, Noerid Haloei
2001 Religi Orang Bukit, Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi Dalam Kehidupan Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Yayasan Semesta.
Siahaan, N.H.T.
2007 Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan. Jakarta: Pancuran Alam.
Soeroso
1994 Pola Persebaran Situs Bangunan masa Hindu Budha di Pesisir Utara Wilayah Batujaya dan Cibuaya, Jawa Barat : Tinjauan Ekologi: Tesis, Jakarta, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Sugiyanto, Bambang
2006 Masalah Pelestarian Gua-Gua Penguburan di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Naditira Widya No. 16. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin.
Widianto, Harry, Truman Simanjuntak, dan Budianto Toha.
1997 Ekskavasi Situs Gua Babi, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan. Berita Penelitian Arkeologi No. 1. Banjarmasin: Balai Arkeologi Banjarmasin.
Widianto, Harry dan Retno Handini
2004 Karakter Budaya Prasejarah di Kawasan Gunung Batubuli, Kalimantan Selatan: Mekanisme Hunian Gua Pasca-Plestocen. Berita Penelitian Arkeologi No. 12. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin.
[1] Perladangan berpindah menghadapi dua issu besar yang saling berlawanan. Mitos kearifan di satu sisi dan mitos kerusakan di sisi lain. Dalam mitos kearifan diakui merupakan sebuah praktek yang penuh dengan kearifan karena kegiatannya sangat adaptif terhadap ekosistem dan alam sekitarnya. Juga menjaga kelestarian keragaman hayati atau biodiversitas, utamanya keanekaragaman tanaman. Hal ini disebabkan pertanian ladang berpindah telah menerapkan konsep diversifikasi tanaman. Dalam satu ladang ditanam beragam tanaman. Sistem pertanian ladang berpindah menerapkan sistem polikultur yang sesuai landscape hutan tropis yang bersifat beragam. Dalam mitos kerusakan diakui perkembangan demografi dan penyempitan lahan sebagai akibat pertambahan penduduk. Faktor tersebut telah mengakibatkan masa bera menjadi semakin menurun yang berdampak terhadap kesuburan tanah. Jelas hasil panen jauh berkurang. Juga faktor budaya tanam tinggal. Dengan menurun tingkat kesuburan, maka pertanian ladang berpindah membutuhkan perawatan yang lebih intensif. Dengan budaya tanam tinggal mengakibatkan sistem perladangan semakin tidak ekonomis ditengah berkembangnya budaya masyarakat yang kian berorientasi pada aspek-aspek ekonomi (Nugraha, 2005).
ISTANA SEBAGAI SENTRAL STRUKTUR TATA KOTA
(Studi Kasus pada Lima Kota Kerajaan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur)

(Bambang Sakti W.A.)

A. PENDAHULUAN

Bangunan yang selalu ada pada setiap kota kerajaan Islam adalah istana dan masjid yang biasanya berada pada satu areal. Istana merupakan bangunan paling megah bila dibandingkan dengan bangunan yang lain, karena dapat dianggap sebagai lambang kebesaran suatu kerajaan. Istana yang dibangun secara megah menjadi bukti bahwa suatu kerajaan tergolong besar. Selain menjadi tempat tinggal raja beserta keluarga, istana biasanya juga merupakan tempat berlangsungnya pertemuan dengan para punggawa atau pembesar kerajaan. Untuk menunjukkan kemegahan bangunan, selain memiliki ukuran yang cukup luas biasanya istana dibangun dengan arsitektur yang megah dan dilengkapi dengan berbagai ornamen. Di dalam istana biasanya juga terdapat berbagai barang pusaka milik kerajaan, misalnya bendera, benda-benda seni, keris, meriam, dan sebagainya.

Kerajaan besar maupun kecil dipastikan memiliki istana sebagai lambang keberadaan suatu kerajaan, meskipun bentuk dan ukurannya berbeda-beda. Meskipun demikian tidak semua istana sampai saat ini masih dapat dijumpai lagi karena sebagian di antaranya sudah rusak atau bahkan hilang karena berbagai sebab. Bisa juga terjadi suatu kerajaan yang pusat pemerintahannya pernah mengalami pemindahan, memiliki lebih dari satu istana karena setelah istana lama tidak digunakan pasti memerlukan istana baru sehingga harus ada bangunan baru. Dapat dikatakan bahwa lokasi istana biasanya merupakan pusat perkembangan suatu kota kerajaan, dengan tidak menyingkirkan peran bangunan lain seperti pasar dan pelabuhan. Pada umumnya istana berlokasi di tempat yang paling aman, baik dari gangguan keamanan maupun kondisi alam, misalnya lebih rata bila dibandingkan dengan daerah sekitarnya.

Bangunan istana biasanya berbentuk rumah adat yang menggunakan arsitektur tradisional, baik bentuk maupun bahannya. Khusus di Kalimantan karena bahan kayu sangat melimpah semua istana dapat idkatakan menggunkan kayu sebagai bahan utama. Namun demikian tidak menutup kenyataan bahwa terdapat juga bahan yang bukan kayu sebagai unsur tambahan, misalnya jendela kaca dan lantai marmer atau keramik. Istana yang paling berbeda adalah istana raja Kutai Kertanegara yang menggunakan beton sebagai bahan utama, karena istana tersebut dibangun oleh Belanda sebagai hadiah kepada raja pada era 1930 an. Untuk diketahui bahwa sebenarnya Kutai Kertanegara sebelum tahun itu memiliki istana sendiri yang dibuat daru bahan kayu namun habis terbakar. Kasus tersebut terjadi sampai dua kali pada dua istana, sehingga Belanda ikut campur tangan dengan membangunkan istana baru yang tahan lama.

Istana sebagai tempat tinggal raja yang memerintah beserta keluarganya sekaligus sebagai pusat pemerintahan nampaknya merupakan suatu penerusan tradisi pra kerajaan. Pada masa itu masyarakat tinggal di rumah panjang yang dihuni banyak keluarga, salah satunya tentu merupakan pemimpin mereka. Segala kegiatan dipusatkan di rumah panjang tersebut, meskipun pada masa kemudian ketika jaman semakin modern ada rumah adat tersendiri. Pada masa kerajaan tradisi tersebut tetap dipertahankan, meskipun pada awal abad ke -20 ada raja yang mulai mencoba memisahkan lokasi administrasi kerajaan di sebuah bangunan tersendiri sebagai sebuah “kantor”. Upaya tersebut sekedar mengurangi saja beban istana karena untuk berbagai pertemuan tetap saja dilangsungkan di istana. Berikut ini akan diuraikan posisi lima istana kerajaan di Kalimantan, masing-masing dua di Kalimantan Timur dan tiga di Kalimantan Barat.

B. ISTANA DAN PENINGGALAN YANG LAIN

1. Kutai Kertanegara
Kutai Kertanegara merupakan kerajaan yang dapat dikakatakan memiliki nama besar di Kalimantan Timur. Berdasarkan tradisi ibukota mengalami tigakali perpindahan, yaitu Kutai Lama, Jembayan dan Tenggarong. Di antara ketiga kota tersebut hanya di Tenggarong yang istananya masih dapat bertahan sampai saat ini, meskipun merupakan istana abad ke-20. Di Tenggarong sendiri istana tersebut sudah merupakan istana yang ketiga, karena dua istana sebelumnya musnah terbakar. Letak ketiga istana tersebut sebenarnya pada halaman yang sama hanya posisinya saja yang saling berbeda, yaitu pada pertemuan antara Sungai Tenggarong dengan Sungai Mahakam. Di depan istana tersebut pada jarak sekitar 500 meter, di tengah Sungai Mahakam terdapat sebuah pulau yang sekarang bernama Pulau Kumala. Istana ketiga tersebut saat ini berfungsi sebagai Museum Negeri Provinsi Kalimantan Timur.

Istana pertama sama sekali sudah tidak ada bekasnya, sedangkan istana kedua masih menyisakan lima buah pilar penyangga bagian dalam yang dibuat dari kayu ulin berbentuk bulat, dengan ukuran tinggi/panjang ± 6 meter. Di sebelah utara istana, di seberang jalan, terdapat dua buah rumah yang pada masa lalu berfungsi sebagai tempat untuk menampung para pedagang dan keluarganya yang datang ke Tenggarong. Saat ini kedua rumah tersebut sudah mengalami restorasi dan berfungsi sebagai bangunan instansi pemerintah. Masjid terletak 200 meter di belakang (sebelah barat) istana, sedangkan pasar terletak 150 meter di sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Melayu. Sekarang pasar lama tersebut difungsikan sebagai arena kegaiatan seni budaya atau pasar seni.

Seperti umumnya istana pada masa Islam, istana Tenggarong juga dikelilingi parit buatan sebagai batas antara lingkungan istana dengan lingkungan masyarakat umum. Parit-parit tersebut mempunyai dua jalur keluar yaitu ke Sungai Mahakam dan Sungai Tenggarong. Untuk parit yang mengapit lingkungan istana jalur keluarnya di Sungai Mahakam, sedangkan parit yang terletak di belakang istana keluar menuju sungai tenggarong di sebelah selatan. Di depan istana pada jarak sekitar 200 meter merupakan lokasi pelabuhan, yang berada di tepian Sungai Mahakam.

Foto 1. Istana Tenggarong yang dibangun Belanda


Secara alamiah Sungai Tenggarong dan Mahakam merupakan batas-batas kota kuna. Di seberang Sungai Tenggarong merupakan Kampung Melayu yang merupakan permukiman orang Melayu, Banjar, dan Arab. Mereka sebagian besar berprofesi sebagai pedagang. Di sekitar istana merupakan wilayah permukiman para punggawa dan pegawai istana, sekarang bernama Kampung Panji. Secara keseluruhan wilayah kota lama berukuran 750 m x 500 m. Batas-batas kota kota yaitu Sungai Mahakam di sebelah timur, Bukit Pedidi di sebelah utara (lokasi permukiman masyarakat Bugis), di sebelah barat kawasan rawa, dan sebelah selatan berupa Sungai Tenggarong. Posisi istana tidak tepat ditengah tetapi lebih dekat ke arah Sungai Tenggarong.

2. Paser Balengkong

Paser Balengkong merupakan ibukota Kerajaan Paser yang terletak di sebaelah selatan Kerajaan Kutai Kertanegara. Berbeda dengan Tenggarong yang sekarang berkembang menjadi kota besar, Paser Balengkong sekarang hanyalah merupakan sebuah kota kecamatan kecil. Selain itu terdapat pula perbedaan yang cukup mencolok yaitu bangunan yang ada di Paser Balengkong tidak terlalu kompleks. Di tempat tersebut hanya terdapat bangunan istana dan masjid yang masih utuh, menyatu dalam satu halaman. Pasar sebagai tempat aktivitas perekonomian bangunan yang sama sekali baru, sedangkan pelabuhan yang berjumlah dua buah sekarang juga merupakan dermaga baru. Di sebelah utara pada jarak sekitar 400 meter dari istana, terdapat istana raja muda dan bangunan saudagar kaya. Disengaja atau tidak penempatan bangunan tersebut, namun yang jelas nampak bahwa berdasarkan peninggalan yang masih dapat dilacak bangunan istana raja muda tersebut berada di batas kota.

Seperti halnya Tenggarong, Paser Balengkong juga dikelilingi parit keliling. Apabila parit keliling tersebut dianggap sebagai batas kota, maka ukuran kota diperkirakan berkisar 1000 m X 650 m. Adapun batas-batas kota selain parit adalah daerah rawa dan Sungai Kendilo yang terletak 100 meter di depan istana. Istana dan masjid yang berada dalam satu area halaman berada di atas lahan yang sering terendam air apabila Sungai Kendilo meluap. Namun demikian karena tempat tersebut dianggap paling ideal maka kedua bangunan tersebut tidak pernah dipindahkan. Yang agak menarik adalah adanya dua dermaga pada dua tempat berbeda. Dermaga pertama merupakan dermaga milik kerajaan, yang dapat dimaklumi apabila hanya digunakan oleh para pembesar kerajaan saja, sedangkan dermaga kedua berada di depan pasar dan difungsikan sebagai dermaga perdagangan umum. Bila melihat kondisi Sungai Kendilo yang tidak begitu besar mungkin sekali kapal-kapal yang merapat di tempat tersebut hanya kapal kecil, sementara yang besar mungkin berlabuh di muara sungai.

Foto 2. Kompleks Istana dan Masjid Paser Balengkong

Dalam struktur tatakota istana tidak terletak tepat di tengah tetapi cenderung lebih ke utara. Melihat kondisi alam dapat dimaklumi apabila perkembangan kota cenderung stagnan. Wilayah permukiman lebih banyak berada di sebelah selatan istana, sedangkan kawasan perdagangan berada di sebelah utara. Cukup menarik bahwa pasar yang semula berjarak sekitar 300 meter sebelah utara istana pernah dipindahkan ke dekat istana, namun dipindahkan lagi sekitar 100 lebih ke selatan yang terus bertahan sampai saat ini. Apabila dilihat pada kondisi sekarang memang tempat tersebut lebih sesuai karena terletak lebih dekat pada kawasan permukiman.

3. Pontianak

Kompleks istana berada di Kampung dalam Bugis, Kota Pontianak, menghadap ke arah barat laut. Di sekitarnya terdapat toponim yang menunjukkan identitas penghuninya pada masa lalu bahkan sampai saat ini, antara lain Kampung Arab, kampung Bugis, kampung Beting, Kampung Luar, Kampung Melayu, dan Kampung Saigon. Di depan istana terdapat alun-alun dan perumahan para punggawa kerajaan. Di belakang istana yang dihubungkan dengan teras terbuka terdapat rumah tempat tinggal raja. Kompleks istana, rumah raja, dan rumah para punggawa berada di dalam tembok keliling yang pada bagian depannya dipasangi meriam. Untuk masuk ke kawasan tersebut harus melalui pintu gerbang yang berjarak sekitar 100 meter dari istana. Istana yang ada sekarang sebenarnya bukan bentuk asli ketika didirikan pertama, tetapi sudah merupakan hasil perombakan.

Foto 3. Istana Kadriyah Pontianak

Sekitar 200 meter di depan istana terdapat masjid jami kerajaan yang dinamakan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman. Menurut cerita masjid tersebut lebih dahulu berdiri dibandingkan istana. Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat raja pertama sebelumnya merupakan seorang ulama yang bernama Syarif Abdurrahman. Raja juga memiliki pelabuhan khusus yang berada di belakang masjid jami”. Sebagaimana istana, masjid inipun juga sudah mengalami beberapa kali perombakan, sehingga menghasilkan bentuk dan luasan seperti yang terlihat sekarang. Tentunya perubahan-perubahan yang terjadi pada istana maupun masjid tersebut tidak terlepas dari situasi dan kondisi Kesultanan Pontianak, baik ekonomi, sosial, maupun politik (Satyananda, 1996 : 7).

Di sekeliling istana juga terdapat parit yang menembus permukiman penduduk. Pada masa lalu parit-parit tersebut cukup lebar, dan mempunyai banyak fungsi. Akan tetapi seiring makin padatnya penduduk, prit tersebut makin menyempit dan banyak tertutup sampah rumah tangga. Parit-parit tersebut ada yang alirannya sejajar istana ada juga yang menyilang, namun pada akhirnya bermuara ke Sungai Kapuas Kecil yang terletak di sebelah barat istana. Meskipun antara istana dengan Sungai Kapuas masih terdapat permukiman namun jarak dari istana ke sungai tetap lebih dekat dibandingkan sejumlah permukiman yang mengelilinginya.

4. Mempawah

Istana sebagai sentral kegiatan kerajaan terletak di sebuah tempat yang dikelilingi sungai sehingga mirip sebuah pulau, sehingga dinamakan orang pulau pedalaman. Istana yang sekarang ini sebenarnya “baru”, yang selesai dibangun tahun 1922. Istana lama sudah rusak, namun lokasinya hanya berada di belakang istana yang sekarang. Secara keseluruhan luas kompleks istana sekitar 2 hektar, dikelilingi pagar dan tembok keliling. Di seputar istana terdapat bangunan benteng, makam raja-raja, kolam pemandian, bekas gudang mesiu, serta dermaga raja. Di luar tembok istana terdapat alun-alun, kantor raja, masjid, serta rumah wali raja. Kantor raja sekarang sudah terbakar dan dan di tempat tersebut sekarang berdiri bangunan baru menjadi kantor kelurahan. Permukiman di sekitar istana ada empat yang dinamakan sesuai nama etnis, yaitu Kampung Berunai, Kampung Bugis, Kampung Melayu, dan Kampung Siantan.

Di luar itu semua terdapat fasilitas yang lain berupa pasar yang letaknya di seberang Sungai Mempawah dan pelabuhan dagang lubuk sauh yang sekarang tinggal sebagai tempat pemancingan. Lubuk Sauh sebenarnya tidak terlalu jauh dari kota namun karena Sungai Mempawah berbelok-belok kelihatan jadi lebih jauh. Pada masa lalu perahu-perahu layar atau kapal dagang masuk ke Mempawah membongkar muatannya di tempat tersebut. Di dekat pasar sebenarnya juga terdapat dermaga namun nampaknya hanya sekedar berfungsi untuk aktivitas di pasar tersebut.

Foto 4. Istana Amantubillah Mempawah

5. Landak

Landak merupakan salah satu kerajaan di Kalimantan Barat yang memiliki sumber penghasilan utama dari pengolahan batu mulia. Pusat pemerintahan kerajaan ini mengalami beberapa kali perpindahan, yang terakhir sampai dengan saat ini ada di Ngabang (Yufiza, dalam Nurcahyani, 2005 : 5-6). Kompleks istana terletak di Kampung Raja, di dalamnya antara lain berisi istana tempat tinggal raja beserta keluarga, kantor raja (tempat bertemu raja dengan para punggawanya), masjid jami’, dan rumah Sekretariat Festival Seni Budaya Melayu yang merupakan bangunan tambahan sejak 2003. Bagian depan dan samping kompleks istana dikelilingi pagar, sedangkan bagian belakang dibatasi tanah yang menggunduk serta kawat. Gundukan tanah tersebut merupakan bekas benteng pertahanan untuk menahan serbuan musuh dari belakang atau arah hutan.

Kompleks makam terletak sekitar 200 meter di belakang istana, berbaur dengan pohon-pohon karet dan tanaman liar. Di depan istana di seberang jalan, merupakan alun-alun kerajaan yang sekarang digunakan untuk madrasah dan pesantren. Setelah melewati alun-alun, pada jarak lurus sekitar 200 meter dari istana, terdapat dermaga kerajaan yang berada di tepi Sungai Landak. Dermaga ini kadang-kadang masih berfungsi untuk penambatan perahu masyarakat dan dalm satu tahun sekali digunakan untuk mengawali perayaan tahunan kerajaan.

Foto 5. Istana Landak di Ngabang

Di depan kompleks istana terdapat jalan yang dinamakan Jl. P. Sancanata Kusuma memanjang arah utara selatan. Di pinggir jalan tersebut terdapat sejumlah rumah kediaman punggawa kerajaan, di antaranya rumah mangkubumi, rumah demang, rumah penghulu, dan sejumlah rumah milik bangsawan yang lain. Pada saat ini rumah-rumah tersebut dalam kondisi yang memprihatinkan dan tidak terawat, kecuali yang masih didiami dan dipelihara oleh ahli warisnya.

C. ISTANA DALAM STRUKTUR TATA KOTA

Mencermati berbagai posisi istana yang ada di sejumlah kerajaan tersebut di atas, nampaknya ada sejumlah perbedaan posisi istana dalam struktur kota. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi penempatan istana dalam struktur kota, misalnya magis religius, kondisi lingkungan alam, dan kondisi sosial politik pada masanya. Meskipun ada berbagai faktor pengaruh namun di manapun lokasi pembangunan istana biasanya mengawali pembentukan suatu kota. Hampir tidak ada suatu istana yang dibangun pada suatu tempat yang sudah terbentuk menjadi kota.

Faktor magis religius berhubungan dengan kepercayaan atau rasa kebatinan para penguasa yang sedang memerintah, misalnya adanya rasa diperintah dari alam gaib untuk membangun istana di suatu tempat tertentu. Kondisi lingkungan alam berhubungan dengan memenuhi syarat atau tidaknya lingkungan alam tempat akan didirikannya suatu istana, misalnya ketersediaan sumber air, rata atau tidaknya dataran di tempat tersebut, dan aman dan tidaknya dari bencana alam. Faktor sosial politk berkaitan erat dengan kondisi politik yang dijalankan para penguasa baik terhadap rakyat maupun terhadap negara tetangga. Apabila faktor ini dikedepankan karena keadaan perang maka di sekitar istana akan dikelilingi tembok benteng atau dapat juga dibangunkan benteng sebagai markas tentara atau gudang senjata.

Untuk membuktikan bahwa suatu istana didirikan pada suatu tempat karena faktor magis religius agak sulit uktuk mencari pembuktiannya, karena tidak dapat dilihat secara fisik, hanya dapat didengar dari cerita-cerita yang beredar. Ada suatu cerita menarik tentang pendirian kota Tenggarong yaitu mimpi sang raja untuk membangun istana di tempat tersebut. Dikisahkan bahwa sang raja bermimpi untuk mendirikan istana di suatu tempat di mana ada perkelahian antara dua ekor naga yang memperebutkan sebuah intan. Nampaknya hal tersebut merupakan suatu perlambang karena memang apabila dilihat dari udara istana Tenggarong tersebut berada di pertemuan dua sungai, dan terdapat sebuah pulau di depan pertemuan dua sungai tersebut, yaitu Pulau Kumala. Dalam kenyatan sebenarnya pemindahan istana ke Tenggaromg adalah untuk menghindari serangan bajak laut yang ganas.

Posisi istana dalam tata ruang kota akan mempengaruhi dan dipengaruhi berbagai kondisi yang ada di sekitarnya. Istana yang dikelilingi tembok atau pagar adalah dalam rangka melindungi diri dari berbagai kemungkinan tindakan penyerangan. Benteng-benteng atau tembok tersebut umumnya berkembang pada abad ke-16—17. Bangunan-bangunan tersebut utamanya untuk melindungi sebagian kawasan atau kawasan inti pada pusat kerajaan. Pertumbuhan kota lebih banyak terjadi di luar tembok tersebut. Tidak semua kota dikelilingi tembok tersebut tetapi paling tidak tetap ada cara lain untuk melindungi kota yaitu dengan membuat parit keliling yang diisi air. Namun demikian parit ini memiliki banyak fungsi, misalnya transportasi dan penyediaan air (Reid, 1999 : 112-116).

Salah satu istana yang memiliki benteng dalam bentuk bangunan maupun benteng dalam bentuk air ini adalah Mempawah. Pendiri kerajaan ini adalah Panembahan Adijaya yang memerintah tahun 1761 s.d. 1787. Pada masa itu sudah terjadi perang melawan Belanda yang kemudian juga meminta bantuan Pontianak, sehingga posisi Mempawah terjepit. Meskipun pertahanan Mempawah cukup kuat namun pada akhirnya istana dapat direbut musuh, sehingga raja meninggalkan istana menuju ke daerah yang lebih aman. Sampai sekarang bangunan benteng dan saluran-saluran air yang ada di Mempawah masih dapat disaksikan dengan jelas (Soren 2005 : 60-64).

Bagaiman letak istana dalam satu kota dibandingkan dengan keletakkan bangunan-bangunan yang lain, atau dengan jaringan jalan yang ada ? Dapat dikatakan bahwa posisi istana dalam struktur kota antara satu tempat dengan tempat yang lain tidak seragam. Beberapa hal yang mempengaruhi antara lain kondisi alam, kondisi sosial, dan tentu saja keinginan penguasanya sendiri. Ada istana yang berada di tengah-tengah bangunan yang lain dalam satu garis lurus, ada yang berada di persimpangan jaringan jalan darat yang juga berfungsi sebagai batas perkampungan, ada juga yang di tepi sungai langsung tanpa dibatasi bangunan lain. Ketidak seragaman tersebut memang banyak menimbulkan penafsiran, namun yang jelas memunculkan banyak keragaman.

Di Kalimantan Timur, misalnya, antara dua istana yang ada yaitu Tenggarong dan Paser Balengkong keletakaannya terhadap bangunan yang lain juga berbeda. Di Tenggarong lokasi istana pertama cenderung lebih dekat ke sungai dibandingkan istana kedua dan ketiga yang relatif sejajar. Pada posisi istana yang kedua dan ketiga lebih memberi ruang halaman yang jauh lebih luas, sehingga seperti terlihat sekarang di depan istana terdapat taman. Bangunan yang lain cenderung menyebar mengelilingi istana, sehingga nampak bahwa istana sebagai titik tengah berbagai bangunan yang ada. Namun demikian di depan istana terdapat hambatan alam yang cukup besar, yaitu Sungai Mahakam, sehingga belum memungkinkan untuk mendirikan berbagai bangunan di seberang sungai.

Bentuk yang demikian nampaknya dapat diasosiasikan sebagai suatu perembetan perluasan kota yang selalu mengarah ke pinggiran. Hal tersebut diakibatkan meningkatnya penduduk perkotaan sehingga membutuhkan ruang hidup yang lebih luas. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan, maka berbagai fungsi bangunan akan selalu mengambil ruang di daerah pinggiran kota. Apabila proses itu terjadi ke arah luar kota dapat disebut sebagai “urban sprawl” . Pada kasus di Paser Balengkong dan Landak perluasan ini dapat dikatakan sebagai perluasan memanjang, yaitu paling cepat terjadi di sepanjang jalur transportasi utama (Yunus, 2000 : 124-127). Hal ini jelas terlihat bahwa istana berada di tepi jalan transportasi utama, dan di sepanjang jalur tersebut terdapat berbagai bangunan lain yang berhubungan dengan aktivitas kerajaan. Di bagian yang lain hampir-hampir tidak ada perluasan wilayah. Kalau saat ini memang perluasan terjadi secara merata karena teknologi sudah memungkinkan untuk menaklukkan lahan yang pada masa lalu tidak dapat dimanfaatkan.

Agak berbeda dengan tiga kota di atas, Mempawah dan Pontianak mempunyai spesifikasi tersendiri. Secara geografis posisi Pontianak hampir sama dengan Tenggarong, berada di pertemuan dua sungai besar, yaitu Kapuas dan Landak. Namun demikian posisi istana terhadap bangunan di sekitarnya agak berbeda. Apabila di Tenggarong istana berada di tengah-tengah bangunan yang lain dalam bentuk setengah lingkaran tanpa ada tembok kota, maka di Pontianak istana berada di ujung deretab bangunan para pembesar istana, yang berada di dalam tembok keliling. Yang agak unik adalah posisi istana dan masjid berada pada satu garis lurus, meskipun terdapat permukiman penduduk di antara keduanya.

Pada awalnya istana dan masjid tentu ukurannya tidak sebesar dan semegah sekarang dan nampaknya dibuat dengan bahan-bahan yang lebih sederhana. Namun demikian karena perkembangan waktu dan kemampuan kerajaan maka kedua bangunan tersebut menjadi lebih besar. Adanya tembok keliling (mungkin dahulu hanya dari kayu ?) tentu untuk melindungi dari dari berbagai gangguan yang akan menimpa. Daerah sekitar tersebut sebelum adanya kerajaan memang dapat dikatakan rawan kejahatan terutama perompakan. Namun demikian atas bantuan dari berbagai pihak akhirnya Syarif Abdurrahman dapat membangun kota di tempat tersebut dan selanjutnya menjadi raja pertama (Purwana, dkk, 2004 : 13-15).

Untuk memasuki wilayah istana nampaknya cukup sulit, karena dibuat sistem pengamanan berlapis. Lapisan pertama tentunya sungai besar sebagai jalan raya utama, setelah itu ada parit-parit keliling yang cukup lebar meskipun di beberapa tempat tentunya ada jembatan, setelah itu baru tembok keliling. Tentunya antara sungai besar dengan parit dan antara parit dengan tembok keliling terdapat permukiman penduduk. Untuk mencapai tempat terpenting, yaitu istana atau kraton tidak mudah karena terdapat gerbang yang tentu terdapat tentara penjaga. Pada tembok keliling tersebut juga dipasangi sejumlah meriam, meskipun mungkin saja dipasang pada masa kemudian (Purwana, ibid, 30-31).

Semua masjid kerajaan dapat dikatakan dibangun di dekat istana, dapat dalam satu halaman dapat pula berada di halaman lain. Hal ini menunjukkan bahwa raja sebagai penguasa masih tetap memperhatikan keperluan para pemeluk agama Islam dalam menjalankan ibadahnya. Biasanya dalam satu kota besar hanya akan terdapat satu masjid besar saja, dengan atap tumpang yang membedakan dengan jenis bangunan yang lain. Kadang-kadang apabila atapnya cukup tinggi akan mudah terlihat dari jarak jauh. Meskipun hanya ada satu masjid besar namun tentu saja di dalam suatu kota tatap terdapat tempat beribadah yang lebih kecil, misalnya surau atau langgar. Adanya bangunan-bangunan keagamaan tersebut salah satunya tentu dimaksudkan untuk tetap menjaga kebajikan yang dilandasi perintah agama (Reid, op.cit., : 111, Tjandrasasmita, 1993 : 284).

Di Pontianak masjid berada di sebelah depan istana pada jarak sekitar 200 m, di antara keduanya terdapat permukiman dan kanal. Di Mempawah letak masjid sekitar 200 m di sebelah selatan, di tepi Sungai Mempawah. Masjid Tenggarong juga tidak berada satu halaman dengan istana, karena berada di luar parit keliling. Posisi istana dan masjid yang berada dalam satu halaman adalah di Landak dan Paser Balengkong. Untuk kedua kota terakhir ini masjid, istana dan bangunan-bangunan lain berada pada satu deret secara linier, di tepi jalan raya utama, baik jalan raya darat maupun jalan air.

Dilihat poisinya pada saat ini, hanya Tenggarong dan Pontianak yang dapat dikatakan kompleks istananya masih berada di dalam wilayah kota sekarang, sedangkan Landak, Mempawah dan Paser Balengkong tidak lagi berada di tengah kota. Mungkin saja secara kebetulan, namun posisi istana Tenggarong dan Pontianak beserta bangunan yang lain tidak hanya berada pada satu garis lurus tetapi menyebar. Posisi tersebut memang lebih memungkinkan untuk dapat berkembang lebih lanjut, apalagi topografi tanahnya relatif datar. Landak dan Paser Balengkong istananya berada pada satu garis lrus dengan berbagai bangunan yang lain. Posisi ini memang sangat sulit mengembangkan kota karena banyak kendala terutama faktor alam. Demikian juga istana Mempawah yang meskipun tidak berpola linier namun berada di satu tempat yang terisolir, sehingga perkembangan kota jauh berada di luar kawasan kota lama.

D. PENUTUP

Posisi atau keletakan istana dalam struktur tata ruang kota tidak selalu sama antara satu tempat dengan tempat yang lain. Persamaan dan perbedaan merupakan suatu keanekaragaman budaya yang selalu ada sejak masa lalu hingga saat ini. Keberadaan berbagai istana di lima kota tersebut meskipun belum menggambarkan seluruh kota-kota kerajaan yang ada di Kalimantan, namun dapat memberikan sedikit gambaran mengenai kondisi sebagian di antaranya. Tidak setiap kota kerajaan mempunyai alun-alun karena memang kondisi alamnya yang tidak memungkinkan, tetapi pasti mempunyai istana dan masjid yang keberadaannya masih dapat dapat disaksikan hingga saat ini. Kondisi alam atau geografis sangat mempengaruhi perkembangan kota setelah berakhirnya era kerajaan, sehingga dapat dimaklumi kalau kemudian istana sekarang tidak lagi terletak di tengah kota, tetapi bergeser ke pinggiran yang sepi.

DAFTAR PUSTAKA

Reid, Anthony, 1999. Dari Ekspansi Hingga Krisis : jaringan perdagangan global Asia Tenggara 1450 – 1680 (terj. Oleh R.Z. Leirissa dan P.Soemitro). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Tjandrasasmita, Uka, ed. 1993. Sejarah Nasional ndonesia III. Jakarta : Balai Pustaka.

Yunus, hadi Sabari, 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Purwana, Bambang H. Suta, dkk, 2004. Sejarah Pemerintahan Kota Pontianak dari Masa ke Masa. Pontianak : Pemerintah Kota Pontianak.

Soren, Ellyas Suryani, 2005. Sejarah Mempawah Tempo Doeloe. Mempawah : Kantor Informasi, Arsip dan Perpustakaan Daerah.

Yufiza, 2005. Gelar Bangsawan di Kerajaan Landak dan Penggunaannya, dalam Lisyawati Nurcahyani, Jurnal Sejarah dan Budaya Kalimantan edisi 07/2005 hlm. 1-21. Pontianak : Balai kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.

Satyananda, I Made, ed., 1996. Pendataan Peninggalan Sejarah Keraton Kadriah Pontianak. Pontianak : Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Kalimantan Barat.
Latarbelakang Perpindahan Lokasi Pusat-pusat Kerajaan Banjar

Oleh: Nugroho Nur Susanto

Abstract
Lokasi pusat ibu kota kerajaan umumnya dipilih tidak jauh dari pusat aktifitas, mudah dijangkau, dan strategis. Namun demikian, pada situasi menghadapi penetrasi militer dan politis imperialis tempat yang strategis ini tidak selalu menguntungkan. Agresi Belanda terus dilancarkan sebagai usaha membalas dendam dan menegakkan hegemoninya . Perpindahan pertama dilakukan terkait serangan Belanda berlangsung pada tahun 1612 yang mengharuskan pusat kerajaan berpindah dari Kuin.

Berturut-turut pusat pemerintahan kerajaan Banjar pernah berlangsung di Batang banyu, atau Teluk Selong kemudian ke Martapura, berpindah lagi ke Karang Intan, dan oleh Sultan Adam dikembalikan lagi ke Martapura. Pada tahun 1859 Keraton Banjar di Martapura dibumihanguskan dan dinyatakan telah bubar oleh Belanda. Walaupun pusat Kerajaan Banjar telah musnah tetapi, perlawanan dari keturunan Kerajaan Banjar berusaha mempertahankan eksistensinya. Mereka mengangkat pemimpin sebagai simbol hegemoni Kerajaan Banjar yang didukung oleh kekuatan rakyat. Latar belakang kekuasaan dan keamanan menyebabkan terjadinya perpindahan-perpindahan lokasi pada pusat kerajaan Banjar. Politik mengisolasi diri dan mundur dari persaingan dengan imperialis, apalagi diperparah perpecahan di dalam keluarga kerajaan membuat Kerajaan Banjar memudar.


Kata Kunci : pusat pemerintahan, lokasi ,perang Banjar, pegustian,

A. P e n d a h u l u a n
Pusat kerajaan merupakan sentral kegiatan pemerintahan, biasanya diawali dengan aktivitas yang maju di bidang ekonomi perdagangan, sekaligus menjadi pusat budaya tempat berinterksi antar kelompok masyarakat. Lokasi pusat ibu kota kerajaan umumnya dipilih tidak jauh dari pusat aktifitas, mudah dijangkau, dan strategis. Umumnya memiliki kedudukan yang sangat istimewa, yang kadang lokasi ini dipilih dengan alasan-alasan magis karena hal itu terkait dengan kepercayaan bahwa penempatannya tidak boleh sebarangan dan harus mendapat restu dari pendahu dari ”dunia” lain.
Namun demikian keadaan yang telah disebutkan diatas –tempat yang strategis dan memiliki potensi ekonomi- tidak selalu menguntungkan dari segi pertahanan dan keamanan yang membutuhkan tempat yang terlindungi secara geografis. Tempat yang strategis membuat orang mudah menjangkau, kemungkinan mobilitas musuh sewaktu-waktu bisa mengancam. Tempat yang ramai perdagangannya, membuat orang lain tergoda untuk menguasainya. Dalam situasi terjepit oleh imperialis-imberalis Barat Kesultanan Banjar menggunakan sistem pertahanan yang menggabungkan antara perlindungan benteng alam dan kemampuan dukungan gerakan pasukan . Latar belakang pemilihan pusat pemerintahan inilah yang disinyalir menyebabkan telah terjadi perpindahan pusat-pusat kerajaan Banjar. Serangan-serangan armada Belanda dan pertentangan yang terjadi antara pihak-pihak di dalam lingkup kerajaan, paling tidak telah memberi andil tentang terjadinya kenyataan sejarah tentang perpindahan-perpindahan pusat kerajaan itu.

Kronika sejarah Banjar menyebutkan bahwa kerajaan Banjar berdiri di tahun 1526 M, yang pada waktu pertama kali pusat kerajaan di Kuin , suatu daerah yang strategis di Banjarmasin yang tidak jauh dari pertemuan sungai-sungai besar. Kawasan ini begitu strategis, cocok dengan era pada saat itu. Daerah ini dialiri oleh Sungai Martapura, Sungai Kelayan, Sungai Kuin, dan Sungai Barito merupakan sungai terbesar dan paling berpengaruh.
Pada abad ke-14 dan 15 sebelum kedatangan Bangsa Barat, dapat disebut era emas periode perdagangan. Jalur laut dari Malaka, asia tenggara pada umumnya dan kepulauan Nusantara laris manis dikunjungi pedagang-pedagang Cina, India dan Timur Jauh. Pusat-pusat pelabuhan selalu identik dengan pusat perniagaan yang pada akhlirnya dinobatkan sebagai ibu kota oleh sebuah institusi kekuasaan lokal . Perlindungan terhadap pelabuhan dan aktivitas pernaigaan sebagai jaminan sehingga kekuasaan ini dibutuhkan. Sebagai imbal balik para penguasa ini mengambil upeti dan pajak .

B. Serangan Yang Membuyarkan
Kedatangan Bangsa Barat yang ditandai oleh jatuhnya Malaka pada tahun 1511 oleh Portugis membuat politik perdagangan surut kebelakang. Penaklukan terhadap Bangsa Timur oleh tentara Portugis yang sudah begitu berpengalaman menghadapi pedagang Non Kristen atau komunitas Muslim membuat mereka semakin percaya diri, melakukan penetrasi ke kantong-kantong perniagaan. Kompeni Belanda pun mengikuti jejak langkah Portugis. Imbas dari ekpansionisionis perniagaan Barat ini menyebabkan politik isolasi atau menarik diri dari persaingan dan mengundurkan lokasi pusat kerajaannya. Hal ini menimpa kerajaan-kerajaan maritim di Jawa yang semula berpusat di Demak mundur ke Pajang, kemudian ke Mataram. Hal yang sama terjadi pula pada kerajaan Birma yang mengundurkan ibu kota Birma dari Pegu, kota pelabuhan maritim ke Ava ( Mandelay) ( Reid: 312- 2004).
Malapetaka terhadap eksistensi Kerajaan Banjar ditandai oleh serangan terhadap Keraton Kesultanan Banjar yang dilancarkan oleh Belanda pada tahun 1612 (Ideham,Edwar Saleh ).Pada periode Kuin ini telah memerintah Sultan Suriansyah, sebagai Sultan pertama setelah memasuki periode Islam, yang berbeda dari periode sebelumnya yang masih menganut agama Hindu, seperti cerita tradisi yang erat dengan Peninggalan di Candi Laras dan Candi Agung. Sesudah pemerintahan Suriansyah digantikan oleh puteranya yaitu Sultan Rahmatullah dan terakhir Sultan Hidayatullah, dimana pusat kerajaan sudah dianggap sudah tak memungkinkan untuk dipertahankan akibat serangan Belanda.
Adapun sebab musabab mengapa Belanda membumihangus Kuin adalah unsur balas dendam Belanda. Dimana pada tahun 1606 rombongan Gillis Michelszoon yang dikirim oleh J.W. Verschoor telah ditipu orang ke darat dan mati dibunuh semuanya. Pembakaran dan mpenyerangan armada Belanda atas Banjarmasih, termasuk Kuin terjadi pada bulan Mai 1612 ( menurut Van Dijk). Setelah Kuin dibumihanguskan pusat pemerintahan di pinggir Sungai Martapura pedalaman, yaitu ke Pamakuan, kemudian ke Batang Mangapan dan seterusnya ke Batang banyu. Adapun toponim yang hingga kini masih dapat dijumpai misalnya nama Kuliling Benteng, di Kayu Tangi, Teluk Selong Martapura yang dahulu didsebut sebagai Batang Banyu.
Menurut keterangan Edwar Saleh, pusat keraton Banjar pertama diperkirakan diantara Sungai Keramat dan Sungai Jagabaya ( Saleh, Edwar:1983). Sedang Gunadi berpendapat pusat atau keratin Banjar adalah dilokasi Makam. Hal ini didasarkan pada tradisi penggunaan lahan yang biasa mengingatkan pada suatu tempat yang bersejarah yang tidak ditinggalkan begitu saja, tetapi dimanfaatkan untuk makam atau tempat sakral yang lain ( Gunadi, 2004). Alasan lain didasarkan pada sisa-sisa artefaktual berupa susunan batu-batu bata yang membentuk struktur atau fondasi bangunan. Hal ini mengingatkan pada konstruksi bangunan yang mengindikasikan sebuah bangunan penting yang terpengaruh dengan tradisi bangunan masa Hindu /Majapahit akhir sekitar abad -15 atau awal masa hegemoni Kerajaan Islam pada abad -16 di Jawa (pengaruh Demak). Secara makro pusat kota Banjar membentang dari Sungai Sugaling hingga Sungai Pangeran (Ibid).
Sebagaimana disebutkan bahwa akibat serangan Belanda pada tahun 1612 mengakibatkan kraton terbakar, sehingga status sebagai pusat pemerintahan tidak memungkinkan dipertahankan. Situasi demikian dianggap tidak mungkin dipertahankan, karena merasa terancam dan sudah tercemar hegemoninya sebagai pusat kerajaan. Dalam situasi demikian keluarga bangsawan Kerajaan Banjar memutuskan untuk memindahkan pusat kerajaan ke pedalaman Sungai Martapura, di Daerah Teluk Selong, Kayu Tangi atau disebut pula Batang Banyu. Pada saat itu tampuk pemerintahan Sultan Mustainbillah yang merupakan Syultan ke-4 setelah Sultan Suriansyah. Pada saat Sultan Mustain Billah, yang juga seorang anak raja yang dahulu sempat menjadi penguasa di daerah Daha ditunjuk oleh Sultan Hidayattullah (sultan ke-3 ) untuk menggantikannya kedudukan setelah beliau surut, sekaligus dalam misi menyelamatkan kerajaan dan mengobarkan perlawanan. Pada situasi yang demikian, Mustainbillah menyusuri Sungai Martapura untuk mencari daerah yang baru, sebagai pengganti pusat Kerajaan Banjar . Namun perlu diketahui pula bahwa ikatan tanah leluhur di Kuin, tidak begitu saja ditinggalkan. Hal ini terbukti pada tahun 1663 Pangeran Suryanata atau P. Adipati Anom merebut kekuasaan dan memindahkan pusat kekuasaannya di Banjarmasin disekitar Sungai Pangeran dan ia jadi Sultan dengan gelar Sultan agung (Idwar Saleh, 1983:42).
Kemarahan rakyar Banjar atas pembumingusan pusat kerajaan di sekitar Kuin ini menyebabkan kota Benteng Tatas di Banjarmasin menjadi sasaran. Pengrusakan dan pembakaran terhadap loji-loji maupun gudang-gudang Belanda terus berlangsung dari tahun 1612-1616 dan juga masih muncul pada tahun 1630 dengan tingkat yang lebih dahsyat lagi, yang sasarannya gudang-gudang lada dan rotan milik Belanda dan Inggris.

C. Batang Banyu, Teluk Selong, Sungai Kitanu dan Benteng Kuliling
Menurut tradisi lokal sejarah “Hikayat Banjar” Sultan Mustaimbillah yang memerintah dari tahun 1650 hingga 1678 M. Sultan yang bergelar Penembahan Marhum merupakan raja keempat yang memerintah Kerajaan Banjar. Beliau memindahkan pusat pemerintahan dari Kuin, Banjarmasin ke Kayutangi dekat Teluk Selong, sedang pusat kota pernah ada pemikiran akan di Pamakuan . Pada saat ini di Teluk Selong ada toponim Kuliling Benteng yang memindikasikan sebagai tempat kediaman sultan. Alasan pemindahan ini akibat dari serangan Belanda.
Tindakan pemindahan ini dirasa sangat tepat untuk menyelamatkan hegemoni Kesultanan Banjar. Apalagi pengalaman Sultan Mustain billah tidak diragukan lagi apalagi sebelum pemindahan ini Sultan Mustaimbillah pun pernah mempunyai pengalaman memerintah di Daha, yang dianggap sebagai tempat pusat cikal bakal hegemoni kerajaan sebelum para penguasa Kerajaan Banjar memeluk Agama Islam dan memindahkan pusat pemerintahan ke Kuin, Banjarmasin di waktu kemudian.
Selain nama Kayutangi, ada nama tempat Telok Selong, dan toponim Sungai Kitanu. Sungai Kitanu merupakan sungai buatan sebagai anak cabang sungai Martapura yang memanjang ke arah timur. Pada musim kemarau sungai ini biasanya kering dan air melimpah pada musim hujan. Namun, hingga saat ini sumber sejarah/ tradisi (Hikayat Banjar) tidak menyebut tokoh Ki Tanu . Dengan demikian keberadaan tokoh ini masih diragukan keberadaannya apakah tokoh ini sebagai tokoh mitos atau seorang tokoh sejarah, hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Pada saat ini tokoh sentral yang dimakamkan di sekitar Dalam Pagar atau Akar Begantung adalah seorang tokoh yang sangat penting, siapa tokoh yang dimakamkan hingga saat ini masih misterius. Pendapat pertama Ia adalah tokoh Sultan Innayatullah. sebagian orang lagi percaya bahwa makam yang dimaksud adalah makam Sultan Tamjidillah, hal ini terlihat dari penamaan yang tidak sejalan yang mencantumkan pada papan nama tokoh yang terpampang . Letak makam , tidak jauh dari keberadaan Puskesmas Dalam Pagar kearah timur sekitar 100 m , atau kearah sisi timur Sungai Martapura kira-kira 150 meter. Sedang jarak dari makam Sultan Mustainbillah sekitar 800 meter arah lurus sebelah selatan makam. Makam Sultan Inayatullah ( lebih kuat) pada saat ini telah dipugar dengan masih mempertahankan nisannya. Pada saat ini nisan dibuat dari porselin warna biru, merupakan pemugaran terbaru. Kedua nisan makam masih dipertahankan, terbuat dari batu, berbentuk langgam Aceh yang bercorak / tipe Aceh .
Makam Sultan Inayattullah, memerintah menggantikan ayahanda yang berlangsung dari tahun1620- 1637) ini terletak disebelah selatan Desa Sungai Kitanu, sekitar 500 meter dari aliran Sungai Kitanu. Makam tersebut berada di dalam cungkup hasil pemugaran baru, yang dikelilingi pagar kayu. Di sekitar cungkup tersebut tidak terdapat makam lain yang bisa dikenal . Menurut penuturan masyarakat, makam tersebut adalah makam Sultan Tamjidillah, seorang Sultan

Hasil dari aktivitas pengamatan dan informasi masyarakat, pada saat ini tersimpan sisa-sisa artefaktuan yang tersimpan di rumah seorang tokoh Karismatik Guru Nuzhan (Almarhum) yang hingga kini disimpan oleh keturunan beliau. Koleksi pertama, berupa batu bata - batu bata . Sedang koleksi penting yang lain berupa sepotong kayu Ulin, koleksi temuan batu-batu bata dan Kayu Ulin. batu bata- kayu ulin diperkirakan sejaman dengan Kerajaan Banjar masa Sultan Inayatullah Susanto,2006).
Dari hasil penelitian tim terdahulu, mengungkapkan bahwa temuan keramik asing dan gerabah juga ditemukan di dekat komplek Makam Akar Begantung, sekarang disebut Desa Akar Baru. Letak lokasi sebelah utara Sungai Batang Banyu, sekitar 70 Meter. Kedudukan sungai selain bermuara di Sungai Martapura, yang apabila ditelusuri hingga dapat menjangkau daerah Pengaron dan Kalampayan ( Astambul).

D. Pusat kota Martapura
Pusat kerajaan Banjar di Martapura berlangsung dalam waktu yang selatif lama, dibanding ketika pusat kerajaan berlokasi di Teluk Selong, Kayutangi, dekat Sungai Kitanu, maupun ketika pusat kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Suleman yang berpusat d Karang Intan. Pusat Kerajaan Banjar di Martapura dirasa cocok dengan karakter masyarakat Banjar dan budaya sungainya. Menurut catatan Keraton Banjar, Martapura, terletak sekitar Desa Keraton, Alun-alun (Pasar Bumi Cahaya) hingga Tunggung Hirang. Keberadaan Keraton, sudah sulit dikenali keletakkannya karena sudah dibumihanguskan oleh Belanda terkait dengan “Perang Banjar” pada tahun 1859. Namun pada tahun 1856 seorang pelukis Belanda yang bernama Schumaker, yang memgambarkan sebuah kraton dengan lingkungan yang tertata dengan pusat pemerintahan dan ada unsur Masjid, sebagai identitas sebuah kerajaan Islam. Mengenai unsur kraton yang ditonjolkan antara lain : halaman depan kraton atau alun-alun, yang difungsikan tempat berkumpul, tempat belajar berkuda dan tempat latihan perang. Bangunan pusat pemerintahan, obyek sepasang meriam, Masjid kraton dan rumah-rumah di sekitar siti hinggil Lukisan lain dibuat dengan menonjolkan kediaman raja dengan bagian belakang berupa masjid .

1. Peninggalan Meriam
Objek benda sejarah yang masih dapat dilihat keberadaannya dan dapat dihubungkan dengan Kerajaan Banjar adalah berupa peninggalan meriam. Pada saat survai ada beberapa temuan meriam yang mengindikasikan terkait dengan pusat Kerajaan Banjar, ketika pusat pemerintahan di Martapura. Temuan meriam di Martapura itu antara lain: (1)Temuan Meriam di Desa Murung Keraton. Meriam ini menjadi Koleksi seorang warga di Desa Murung Kraton. , menurut sejumlah warga penemuan meriam tidak jauh dari lokasi murung Kraton itu sendiri. Pada saat ini meriam ditempatkan di depan sebuah rumah warga sekitar 60 meter dari pojok Masjid Al-Mukaromah, (2) Temuan Meriam di Pasar Martapura. Meriam ini ditemukan pada tahun 2004, ketika pembuatan sarana sanitasi pasar Thoibah, Martapura. Lokasi temuan tidak jauh dari anak sungai Martapura yang berjarak sekitar 20 m, dan 100 m dari arah tenggara Masjid Al Mukaromah. Pada saat ini Meriam disimpang di Gedung Mahligai Sultan Adam, rumah Dinas Bupati Banjar, yang terletak di jalan A. Yani (Susanto, 2006).

2. Data makam Raja Banjar Martapura, Desa Keraton
Kompleks makam teretak di belakang kantor DPRD Kabupaten Banjar, yaitu di Kelurahan Kraton. Ada sebuah kompleks makam umum yang cukup luas, yang hingga saat ini masih digunakan. Komplek makam ini penting karena terdapat makam 5 orang raja yang pernah memerintah di Kerajaan Banjar ketika pusat kerajaan di Martapura Bumi Kencana. Sultan-sultan tersebut antara lain: (1) Sultan Sa’idillah (Ratu Anum) bin Inayatullah Musta’imbillah yang memerintah ( tahun 1637-1642). Makam ini terpisah dengan makam-makam sultan yang lain. Bangunan makam dibuat lebih tinggi dari area disekitarnya. Pada komplek makam yang sama ditemukan lagi makam 4 sultan periode kemudian, setelah Saidullah secara berurutan dari arah kiri adalah makam: (2) Sultan Tahlilullah, memerintah 1700-1720 (3)Sultan Badarul Alam (Sultan Kuning) bin Tahlilullah memerintah 1720-1745), (4)Sultan Tamjidillah bin Tahlilullah, yang memerintah 1745-1778m dan (5) Sultan Tahmidillah bin Tamjidillah yang memerintah tashun 1778-1808 M .
Selain ditemukan makam pada area makam ditemukan batu bata-batu bata yang mengindikasikan sejaman dengan keberadaan bangunan pusat-pusat pemerintahan atau pusat kerajaan Banjar. Selain makam raja-raja tersebut terdapat juga bata-bata lepas yang mengindikasikan batu bata kuna dengan warna merah berukuran cukup besar yang disusun sebagai jalan setapak. Di antara bata-bata tersebut ada yang masih utuh ada pula yang sudah pecah ( Ibid).

E. Periode Karang Intan dan Sultan Adam dan Hegemoni Perlawanan
Pada masa ibu kota periode Karang Intan tidak banyak informasi yang dapat dikumpulkan secara arkeologis. Ada beberpa data toponimi yang menguatkan bahwa di Desa Lihung (karang Intang) pernah dijadikan sebagai pusat kerajaan Banjar pada saat Sultan Suleman Rahmatullah. Kegiatan penelitian mendata temuan di Karang Intan yaitu peninggalan berupa makam Sultan Suleman Rakhmatullah yang memerintah tahun 1808-1825 M . Menurut informasi penduduk Kediaman raja atau kraton terletak di dua tempat yang masing-masing mempunyai alasan tersendiri. Kediaman raja pertama, disekitar makam atau Desa Lihung. Kompleks kerajaan dibangun disini dengan alasan strategis, dekat pinggir Sungai Martapura . Temuan permukaan disekitar masjid berupa pecahan keramik asing . Bangunan lain yang mengindikasikan sebagai pusat kraton adalah adanya Masjid Jami’ ( Susanto, 2006 ).
Disebelah utara masjid sekitar 70 meter ada toponin kolam raja. Area ini merupakan daerah dataran sempit yang rendah, yang terhubung dengan Sungai Martapura yang diapit oleh dua bukit kecil. Lokasi ini tidak begitu luas memanjang sekitar 50 meter dengan lebar 20 meter. Area ini kemungkinan telah banyak mengalami perubahan tentang ketinggian dan penggunaannya. Toponin Padang kraton juga dijumpai di desa sebelah timur desa Lihung yaitu di Desa Tambak Anyar, sekitar 2 km jarak lurus. Tidak jauh dari toponim padang kraton ditemukan juga toponim sumur raja ( Ibid)
Masa Pemerintahan Sultan Suleman (1808-1825 ) merupakan masa sulit terutama bagaimana menentukan bentuk hubungan dengan Belanda, sekaligus mempertahankan hegemoni kerajaan yang menghadapi situasi yang serba sulit. Setalah perjanjian antara Sultan Suleman dan Belanda ditandatangani, hegemoni kerajaan melemah, tetapi pengakuan terhadap keberadaan sultan menguat, tetapi dengan mengorbankan kekuasaan beberapa wilayah akibatnya dukungan rakyar dan kedaulatan kedalam melemah.

1. Periode Sultan Adam
Sultan Adam merupakan raja ke-11, memerintah dari tahun 1825 - 1857 menggantikan ayahanda Sultan Suleman. Sultan Adam mempunyai inisiatif mengembalikan pusat kerajaan dari Karang Intan ke Martapura yang dipandang tidak menguntungkan dari segi letak dan posisi yang tidak strategis. Perpindahan ini apakah inisiatif Sultan Adam sendiri atau memang pertimabangan dari Sultan yang lama, hal ini tidak diketahui dengan jelas. Pada waktu itu di Martapura Belanda telah mempunyai kedudukan yang kokoh, terbukti dengan adanya toponim Benteng ( SD di Kelurahan Jawa) . Peretimbangan lain Martapura dianggap daerah yang paling cocok dan sekaligus melanjutkan pendahulunya sebelum Sultan Suleman, sedang Belanda dipandang bukan sebagai ancaman lagi (?).
Namun demikian, di era Sultan Adam semangat menentang Belanda ternyata tak pernah surut, demikian juga semangat yang dikobarkan oleh Sultan Adam untuk menjalankan syariat Islam, walaupun secara politis mereka berdekatan dengan penguasa Belanda. Sultan Adam merupakan Sultan yang terkenal sebelum Sultan Abdurrahman yang memiliki misi memajukan masyarakat yang islami. Makam Sultan Adam terletak kompleks pemakaman di Kampung Jawa, Martapura.

2. Periode Sultan Abdurrahman
Sultan Abdurrahaman merupakan putra Sultan Adam dan raja Banjar yang ke -12, yang memerintah setelah Sultan Adam Al Wasikbillah. Mengenai kematian Sultan ini masih misterius apakah ada kaitannya dengan ketidaksenangan Belanda atau intrik politik di dalam keluarga kerajaan. Makamnya berada di Desa Pesayangan, di kompleks makam umum yang terdapat di tengah perkampungan penduduk. Sultan Adurraman sebagai tokoh utama diakui oleh kerabat kerajaan memerintah hanya pada tahun 1852. Tokoh ini oleh Belanda tidak dianggap sebagai seorang sultan, karena Belanda lebih mempercayakan kesinambungan pemerintahan kepada Sultan Tamjidillah (1857-1862).
Periode Sultan Ke-13 ada dua sultan masing-masing memiliki pengakuan yang berbeda, tokoh yang bersaing itu adalah: 1) Sultan Hidayatullah, yang mendapat mandat dari kakak, Sultan Adam dan dukungan rakyat, dan 2) Sultan Tamjidillah yang konon anak kesayangan Sultan Abdurrahman dan memiliki pandangan politik praktis terhadap kondisi kerajaan ( Syamsudin, 2001) dan memerintah atas dukungan Belanda yang memusatkan pemerintahan di Banjarmasin, dekat Sungai Mesah (Ibid).

3. Masa Perang Banjar
Pangeran Hidayat merupakan seorang calon sultan yang paling berhak menggantikan Sultan Abdurrahman, ayahnya. Selain sebagai putra mahkota Ia dekat dengan rakyat, karena indah perangainya. Sedang penguasa kolonial Belanda lebih memilih Tamjidillah, karena akan lebih menguntungkan dari segi politis dan kedekatan pandangan mengenai konsesi batu bara di Pengaron. Hal ini rupanya jalinan yang baik selama ini terjalin. Kedekatan Tamjidillah secara politis dibuktikan dengan pemilihan tempat tinggal yang lebih senang tinggal di Banjarmasin . Padahal Sultan Adam sangat mengharapkan tampilnya pemimpin yang dekat dengan rakyat dan berbudi mulia seperti halnya Pangeran Hidayat yang lebih memilih menyertai ulama-ulama di Martapura. Konon karena tipu muslihat Belanda yang telah meminjam cap stempel ibu yang sangat diharmati, Pangeran Hidayat terbujuk untuk berunding dan selanjutnya diasingkan ke Cianjur hingga wafatnya ( Antung Shurya Rum, 72).

Pada saat Sultan Hidayat berasil ditangkap oleh Belanda dan di buang di Cianjur hingga wafatnya. Namun demikian secara politis Pemerintahan Kerajaan Banjar belum berakhir. Karena tongkat kepemimpinan perang gerilya masih dipegang oleh keturunan keluarga Kraton, yang sering disebut Pegustian yang diwakili oleh Pangeran Antasari. Hegemoni perlawanan dan kekuasaan politis masih mendapat dukungan rakyat, walau pada saat di pelarian. Kepercayaan ini memberi energi baru bagi Pangeran Antasari yang terus mengadakan perlawanan dalam persembunyiannya. Pada akhirnya Panembahan Antasari wafat pada bulan Oktober 1862, karena sakit. Perlawanan Pegustian belum berakhir yang mengacu pada 2 tokoh sentral lainnya, yaitu Pangeran Sultan Muhammad Seman dan Muhammad said , yang merupakan keturunan dan dibantu oleh pimpinan Surapati, yang sedianya akan diperalat Belanda untuk menangkap Pangeran Antasari. Perang Banjar mereka terus mengadakan perlawanan .Dengan strategi gerilya ini Pengeran Antasari sempat menghancurkan Kapal Onrust. Di lembah Ingey, di Desa Tongka merupakan saksi bisu ahkir dari hegemoni Kerajaan Banjar secara politis, yang ditandai oleh meninggalnya Pangeran Antasari, serta ditangkapnya keturunan Pangeran Antasari, yang bernama Pangeran ‘ Mat Seman di kemudian hari pada tahun 1906.

F. P e n u t u p
Tempat yang strategis dan memiliki potensi ekonomi tidak selalu menguntungkan dari segi pertahanan dan keamanan yang membutuhkan tempat yang terlindungi secara geografis, dan menguntungkan dari strategi pertahanan. Tempat yang strategis akan terlalu mudah dijangkau oleh mobilitas musuh yang sewaktu-waktu bisa mengancam. Kekeroposan politik di dalam kerajaan dan kekalahan menghadapi penetrasi Belanda membuat hegemoni Kesultanan Banjar memudar. Kekuasaan Kesultanan menjadi mengisolasi diri dan semakin tak percaya diri. Latar belakang pemilihan pusat pemerintahan inilah yang disinyalir menyebabkan telah terjadi perpindahan pusat-pusat kerajaan Banjar.
Kronika sejarah Kesultanan Banjar menyebutkan bahwa kerajaan Banjar berdiri di tahun 1526 M, yang pada waktu pertama kali berpusat di Kuin. Serangan Belanda yang berlangsung tahun 1612 membuat kerusakan dan kebakaran yang hebat di Keraton Banjar yang berpusat di Kuin. Perpindahan dari Kuin pusat pemerintahan kerajaan Banjar pernah berlangsung di Batang banyu, Teluk Selong yang diperintahkan oleh Sultan ke-4 Sultan Mustainubillah dan Inayatullah, kemudian berpindah ke Martapura untuk waktu yang agak lama oleh empat masa kasultanan. Perpindah selanjutnya ke karang Intan, oleh Sultan Suleman dan kembali lagi ke Martapura. Pada tahun 1859 Keraton Banjar di Martapura dibumihanguskan dan dinyatakan telah bubar. Perlawanan dan keturunan Kerajaan Banjar berusaha mempertahankan keberadaan dan eksistensi Kerajaan Banjar dengan mengangkat pemimpinnya sebagai symbol kekuatan rakyat. Tokoh-tokoh perlawana itu antara lain Pangeran Hidayattullah, Pangeran Antasari yang memimpin perlawanan hingga ke Hulu Barito dan diahkiri perlawanan Muhammad Seman anak Antasari yang mendapat dukungan dari Komunitas Dayak Siang Murung di Muara Teweh. Saksi bisu ahkir dari hegemoni Kerajaan Banjar secara politis, yang ditandai oleh meninggalnya Pangeran Antasari, pada tahun 1862 serta ditangkapnya keturunan Pangeran Antasari, yang bernama Pangeran ‘ Mat Seman di kemudian hari pada tahun 1906. Perpindahan pusat kerajaan banyak dilatarbelakangi factor politis gehemoni dan superior Belanda yang terus merorongnya.


Daftar Pustaka

Attabrani K Benteng dan Masyarakat Tabanio Bid . Permuseuman dan Kepurbakalaan
Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Prov. Kalimantan Selatan

Ideham M. Suriansyah. 2003. Sejarah Banjar. Pemerintah Prov. Kaliamantan Selatan:
Banjarmasin

Kasnowiharjo, Gunadi Dkk, 2006 Kajian Reka Ulang Replika Keraton Banjar di Kuin, Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Kalimantan Selatan: Banjarmasin

Reid, Anthony. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, LP3S : Jakarta

Saleh, M Idwar, 1981/1982 Banjarmasih Museum Lambung Mangkurat Prov. Lalimantabn
Selatan: Banjarbaru

Symsudin, Helius, 2001. Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis dan
Dinasti. Balai Pustaka: Jakarta


Susanto, Nugroho Nur, 2006 Penelitian Pusat-pusat Kerajaan Banjar Tahap II, LPA Balai Arkeologi
Banjarmasin: Banjarbaru
PENGUBURAN MASYARAKAT DAYAK[1] DAN TORAJA
DALAM PERBANDINGAN
( Hartatik )

Abstrak

Suku Dayak di Kalimantan dan Suku Toraja di Sulawesi mempunyai sebutan yang sama yaitu orang yang tinggal di daerah pedalaman. Ada beberapa persamaan antara konsep religi dan peralatan upacara penguburan antara Suku Dayak dan Suku Toraja, seperti upacara kematian dengan hewan kurban yang cukup banyak dan penguburan dengan menggunakan wadah menyerupai bentuk perahu. Tulisan ini mengulas perbandingan konsep religi terutama penguburan pada kedua suku. Belum ada teori yang secara khusus menjelaskan hubungan antar Suku Dayak dan Suku Toraja, sehingga tulisan ini merupakan tahap awal untuk mengetahui ada tidaknya hubungan histori antar kedua suku tersebut.


The Dayak Ethnic in Kalimantan and the Toraja Ethnic in Sulawesi have same term, is man who live in hinterland. There are several similarity religion concept and burial equipment between The Dayak Ethnic and The Toraja Ethnic, like death ceremonial by sacrifies animals so much and burial use container formed of boat. This paper review the comparation of religion concept specially the burial of both of ethnic. The special theory which explain the relation between the Dayak Ethnic is not yet, so the article constitute a preliminary stage to know there is or no the history relation between the both of ethnic.

Kata Kunci : Dayak, Toraja, religi, konsep, penguburan, perbandingan, liang, kurban

A. Pendahuluan
Keberadaan suku Dayak di Kalimantan dan Suku Toraja di Sulawesi ibarat berada dalam satu garis pararel yaitu sebagai kelompok masyarakat yang berdiam di daerah pedalaman. Istilah alfuru atau to raja (dari gunung) untuk menyebut orang Toraja yang berarti orang pedalaman, artinya tidak jauh beda dengan istilah dayak. Masyarakat Dayak yang mendiami wilayah Kalimantan terbagi dalam beberapa sub etnis dengan budaya dan bahasa yang beragam. Beragam sub etnis Dayak antara lain Dayak Iban, Klemantan, Apokayan, Murut, Punan, Ot Danum serta Ngaju. Dayak Ngaju adalah etnis yang paling dominan dan terkemuka di wilayah Kalimantan tengah, terutama di wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur.
Kotawaringin Timur dengan Ibu Kotanya Sampit, merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Propinsi Kalimantan Tengah. Di wilayah Kotawaringin Timur mengalir tiga sungai besar yaitu Sungai Mentaya (dulu bernama Sungai Sampit) yang berhulu di wilayah Kecamatan Mentaya Hulu, Sungai Pembuang yang mengalir di wilayah Kuala Pembuang dan Sungai Katingan di wilayah Katingan[2]. Ketiga Sungai tersebut bermuara di Laut Jawa. Permukiman masyarakat Dayak Ngaju berada di sepanjang tiga aliran sungai tersebut termasuk beberapa anak sungainya seperti Sungai Tualan atau Sungai Parenggean di Parenggean, Sungai Seranau di wilayah Kecamatan Kotabesi dan Sungai Cempaga yang mengalir di Kecamatan Cempaga). Setiap permukiman penduduk dihubungkan oleh sungai, sebagian kecil di antaranya ada yang dihubungkan oleh jalur darat terutama yang diadakan oleh para pemilik HPH. Sesuai dengan kondisi lingkungannya yang berupa sungai dan hutan, mata pencaharian masyarakat di Kotawaringin Timur adalah sebagai pencari kayu di hutan (mbatang-istilah lokal), penyadap karet, pencari rotan dan pencari ikan di sungai.
Masyarakat Dayak yang mendiami wilayah tersebut mempunyai kebiasaan yang sangat unik, salah satunya adalah upacara adat yang disebut tiwah. Tiwah merupakan upacara kematian yang dilakukan oleh etnis Dayak Ngaju yang menganut kepercayaan Kaharingan. Sebagaimana pendukung budaya adat di daerah lain, upacara tiwah didukung oleh penganut kepercayaan adat yang cukup taat, meskipun sekarang jumlah penganutnya kian berkurang. Penganut kepercayaan adat Dayak Ngaju yang disebut Kaharingan ini sebagian besar bermukim di daerah pedalaman yang berada di pinggiran sungai, seperti Sungai Mentaya, Sungai Seranau, Sungai Parenggean dan Sungai Katingan. Hampir setiap tahun, terutama sehabis panen, penduduk di sepanjang sungai tersebut menyelenggarakan upacara tiwah yang sangat meriah, dihadiri oleh para tamu undangan dari kampung lain dan pejabat setempat. Belakangan ini, oleh Pemda setempat, upacara tersebut mulai dikemas dalam sebuah paket wisata yang bertujuan untuk menarik minat para wisatawan. Perlengkapan yang didirikan pada saat upacara tiwah dapat disaksikan keberadaannya sebagai tinggalan sejarah budaya adalah berupa sandong, sapundu, pantar dan sanggaran[3].
Di daerah lain, yaitu di di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, upacara kematian ini pada masyarakat Dayak Lawangan disebut ijambe; pada masyarakat Dayak Maanyan di Kabupaten barito Timur, Barito Selatan dan Tabalong , Kalimantan Selatan disebut marabia; pada masayarakat Benuaq dan Tunjung di Kutai Barat, Kalimantan Timur disebut kwangkai; sedangkan di luar Kalimantan seperti -pemeluk Hindu di Bali- melakukan upacara yang disebut ngaben; di Batak Toba disebut manghokal holi; dan di Sulawesi Selatan terdapat Suku Toraja yang melakukan aluk rambu solok.
Suku Toraja merupakan salah satu suku dari empat suku yang ada di Sulawesi Selatan, yaitu Suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Istilah Toraja sudah lazim digunakan oleh Suku Bugis Luwu sejak jaman dulu untuk menyebut penduduk yang berdiam di daerah pegunungan (pedalaman). Kemudian nama Toraja digunakan oleh para misionaris pada awal abad ke-20 dan digunakan sebagai nama sekolah yang didirikan oleh Zending di Rantepao pada tahun 1938. Nama Toraja digunakan untuk menggantikan nama kelompok masyarakat yang tinggal di tondok lepongan bulan matarik allo, yang artinya negara dari satu pemerintahan, agama dan adat istiadat, bagaikan bentuk bulan dan matahari. Setelah Indonesia merdeka, Toraja menjadi salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Tana Toraja. Dipandang dari segi etnis, Toraja merupakan kelompok suku yang berdiam di daerah bagian utara wilayah pegunungan Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Enrekang, daerah Mamasa di Kabupaten Polmas, daerah Kalumpang di Kabupaten Mamuju, daerah Suppiran di Kabupaten Pinrang, daerah Lombok di Kabupaten Sidrap, dan daerah pegunungan di Kabupaten Luwu. Beberapa daerah yang secara etnis merupakan bagian dari etnis Toraja, tidak mengakui lagi nama etnisnya karena nama Toraja cenderung bermakna negatif. Hanya Suku Toraja yang berdiam di Kabupaten Tana Toraja yang masih mengakui dan terikat pada Suku Toraja, karena nama Toraja telah menjadi nilai lebih bagi identitas koletif dan terkenal sebagai daerah tujuan wisata yang menarik (Umar, 2003:1-34 ).
Hal yang membedakan secara pararel keberadaan Suku Dayak dan Toraja adalah jika Toraja sudah dikenal sebagai satu ikon destinasi wisata budaya yang menarik, sedangkan Dayak masih sedang dalam tahap persiapan menuju ke ikon tersebut. Akan tetapi, dalam kajian religi, Suku Toraja dan Dayak mempunyai jenis kepercayaan yang sama yaitu pemujaan terhadap roh leluhur yang masih berlangsung sampai sekarang. Bagaimana manifestasi pemujaan tersebut, terutama yang diwujudkan dalam bentuk upacara penguburan ? Tulisan ini juga akan mengulas tentang perbandingan konsep religi dan jenis penguburan yang digunakan oleh kedua suku tersebut. Sebagai tulisan etnoarkeologi, artikel ini merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan sebagai bahan analogi dalam memecahkan berbagai masalah dalam arkeologi. Data-data yang digunakan dalam tulisan ini didapat dari penelitian lapangan religi Suku Dayak di Kotawaringin Timur serta pengamatan dalam perjalanan wisata di Tana Toraja pada tahun 2004. Data-data dari kajian pustaka digunakan sebagai data dukung dalam tulisan ini.

B. Religi Suku Dayak dan Toraja : Pemujaan Roh Leluhur dan Keberlanjutannya
1. Religi Suku Dayak
Masyarakat Dayak Ngaju menganut kepercayaan turun temurun yang disebut Kaharingan. Menurut asal katanya, Kaharingan berasal dari kata dasar haring dengan prefiks ka- dan sufiks –an sehingga membentuk kata sifat yang berarti ada dengan sendirinya atau sesuatu yang tidak diketahui asal muasalnya tetapi selalu ada di mana-mana (Ukur vide Rampai, 1983: 21). Salah satu sisi kehidupan yang menarik dari masyarakat Dayak Ngaju penganut kepercayaan Kaharingan adalah sikap dan perlakuan terhadap orang yang meninggal dunia. Dalam konsep Kaharingan, sebuah kematian dianggap sebagai masa transisi di mana roh si mati harus dipersiapkan dan diantarkan menuju ke alam roh. Kematian merupakan proses dilahirkan kembali untuk menuju kehidupan yang baru menyatu dengan para roh di lewu tatau (surga) yang damai, kaya dan sentosa. Untuk sampai ke tujuan tersebut, arwah harus melalui beberapa perjalanan yang panjang dan penuh rintangan, sehingga keluarga yang ditinggalkan perlu melakukan upacara ritual untuk mengantarkan roh agar sampai ke tempat yang dituju. Perjalanan arwah dimulai ketika orang meninggal dunia, kemudian dikuburkan dalam tanah.
Sebelum dikuburkan, mayat dimandikan, disabun, diminyaki dengan minyak kelapa, dikenakan baju, kemudian dimasukkan ke dalam peti mati dari kayu yang disebut raung, ada pula yang menyebutnya rarung. Dalam beberapa hari, bahkan bisa berbulan-bulan, mayat tersebut diletakkan di dalam rumah sambil menunggu persiapan keluarga almarhum untuk mengadakan upacara penguburan. Selain itu juga untuk memberi kesempatan kepada bagi keluarga yang jauh dapat melihat almarhum untuk yang terakhir kalinya. Untuk mencegah agar bau mayat tidak menyebar serta untuk mengalirkan cairan yang berasal dari tubuh mayat, biasanya menggunakan teknik tradisional dengan sistem danur atau sumpit, yaitu dengan cara melobangi bagian bawah raung kemudian dihubungkan dengan bambu bulat lewat lantai rumah panggung langsung dibuang/masukkkan ke dalam tanah. Pipa bambu tersebut didempul dengan kapur sehingga bau cairan mayat yang mengalir dalam bambu tersebut tidak menimbulkan rembesan ke mana-mana. Di atas rarung diletakkan ramuan dan dan daun-daunan berbau harum untuk mengusir bau tidak sedap, seperti daun mambung, daun mamali, daun limau, daun pinang dan daun sangen. Di samping raung diletakkan berbagai alat seperti gelas, pring, beras, gula, garam, minyak goreng, tikar, mandau, seruling, lanjung dan beriut (wadah dari rotan) sebagai bekal si arwah dalam perjalanan ke dunia asalnya karena di sana arwah juga makan dan beraktivitas seperti layaknya orang hidup. Setelah mayat dikuburkan dalam tanah, sebagian bekal kubur tersebut turut dikuburkan, sedangkan sebagian lagi diletakkan di sekitar kubur.


Foto 1. Raung, peti mati Suku Dayak Ngaju (dok. Balai Arkeologi Banjarmasin 2002).

Kehidupan dalam kubur inilah yang disebut lewu pasahan raung. Dari alam kubur arwah melanjutkan perjalanan ke lewu nalian lanting yang berarti tempat penantian. Setelah keluarga yang ditinggalkan mampu dan cukup mempunyai uang maka segera dilakukan upacara tiwah yang hakekatnya adalah menjemput arwah dari lewu nalian lanting dan mengantarkannya ke lewu tatau (Hartatik, 2002:22-23). Prosesi yang dilakukan dalam tiwah tersebut antara lain terdiri atas menggali tulang dari kubur kemudian dipindahkan ke dalam bangunan sandong. Pesta tiwah juga disertai dengan tari-tarian (menganjan), minum tuak dan menyabung ayam yang merupakan bagian dari kegiatan ritualnya. Dalam tiwah disertai pemotongan hewan kurban berupa ayam, babi dan kerbau atau sapi. Untuk mengikat kerbau atau sapi mereka mendirikan tiang sapundu. Selain sapundu, juga didirikan tiang pantar sebagai simbol tangga arwah dan sanggaran sebagai tanda berakhirnya pesta tiwah. Akan tetapi belakangan ini, ketika kayu ulin sudah sangat sulit untuk diperoleh, sehingga tiang pantar dan sanggaran tersebut jarang disertakan dalam upacara penguburan.

Menurut waktu pelaksanaannya, upacara tiwah dibedakan dalam tiga jenis, yaitu :
1. tiwah napesan atau tiwah langsung, yaitu upacara tiwah yang dilakukan ketika orang meninggal dunia langsung ditiwahkan dan dimasukkan ke dalam sandong. Tiwah napesan ini biasanya dilakukan oleh orang yang mampu atau siap secara materi. Pada jaman dulu, jenazah yang ditiwah napesan ini dibakar kemudian baru diambil tulang-tulang dan abunya untuk disimpan dalam sandong. Sekarang hal itu jarang dilakukan, sehingga jenazah disimpan dalam raung/peti mati untuk kemudian dimasukkan ke dalam sandong.
2. tiwah jandau atau tiwah kecil, yaitu tiwah yang dilaksanakan selama 1 hari saja, tidak menggunakan kurban kerbau.
3. tiwah besar atau tiwah jadi atau bisa disebut tiwah oleh masyarakat pada umumnya, yaitu tiwah yang dilaksanakan selama 3 hari, 5 atau 7 hari dengan disertai kurban kerbau, pendirian sapundu, sandong, pantar dan sanggaran. Tiwah besar ini bisanya diawali dengan persiapan yang cukup matang dengan perhitungan jumlah individu yang akan ditiwah, waktu dan biaya yang akan diperlukan(informasi dari Bp. Aset Kabun, 72 tahun dan Bp. Tusi Birape, 54 th).

Sejak dari masa persiapan sampai selesai, upacara tiwah memakan waktu hampir satu bulan. Tahap persiapan berupa kegiatan meliputi mencari hari baik untuk tiwah, perkiraan biaya, mencari kayu bakar untuk masak, dan mencari kayu serta pembuatan perangkat penguburan seperti sapundu, sandong, pantar dan sanggaran. Adapun puncak upacara tiwah berlangsung selama 3 hari, 5 hari, 7 hari atau 9hari, tergantung kesepakatan dan kemampuan keluarga. Pada masa sekarang ini biasanya puncak upacara tiwah berlangsung selama 3 hari, dengan tahap-tahap sebagai berikut :
Hari ke-1 :
- menggali dan mengangkat tulang dari kubur yang akan ditiwah
- mengumpul anak tian : memanggil roh orang yang sudah meninggal yang akan ditiwah.
- manjarat metu : mengikat hewan kurban (kerbau/sapi) di tiang sapundu.
- manambang laluhan : menyambut orang dari kampung lain yang mengantar sumbangan berupa bermacam-macam barang dengan menggunakan perahu bermotor atau rakit.
- manganjan : menarikan tarian suci mengelilingi sapundu

Hari ke-2 :
- manganjan/menari mengelilingi sapundu
- memotong kerbau, sapi, babi dan ayam
- mahanteran : mengantar orang yang ditiwah kembali ke asalnya
- menjarat metu : mengikat kerbau atau sapi yang akan dikurbankan di sapundu yang akan dipotong lagi pada esok hari.

Hari ke-3 :
- pagi hari : menganjan di sekeliling kerbau dan babi
- pemotongan kerbau, sapi, babi dan ayam
- manimpas tanduk nayu dan mambuka baram pali : memasukkan baram (minuman hasil permentasi beras ketan) ke dalam wadah terbuat dari tanduk kerbau yang digantung di pasar sawawulu (tiang bambu) untuk diminum peserta tiwah.
- mahanteran : mengantarkan roh orang yang ditiwah kembali ke asalnya
- memasukkan peti tulang ke dalam sandong. Dengan dimasukkannya tulang ke dalam sandong berarti upacara tiwah telah selesai. Seluruh peserta upacara tiwah membersihan diri dari segala pali yang mungkin didapat selama pelaksanaan tiwah. Mereka juga mengucap syukur serta memohon kesejahteraan kepada Ranying Hatala Langit . Dengan berakhirnya pesta tiwah berarti arwah leluhur telah sampai ke lewu tatau (surga).

2. Religi Suku Toraja
Sebelum masuknya agama Kristen dan Islam, Suku Toraja mengenal kepercayaan bersifat animisme (percaya pada roh leluhur) yang disebut Aluk Todolok (Aluk = aturan, todolok = leluhur) atau Alukta. Kepercayaan ini mendasarkan pada kepercayaan terhadap arwah leluhur yang memiliki pengaruh kuat terhadap orang yang masih hidup. Sebaliknya, kesejahteraan arwah di alam puya sangat ditentukan oleh perlakuan keluarga yang ditinggalkannya. Kepercayaan tersebut diwariskan secara turun temurun hingga sekarang. Masyarakat Toraja percaya bahwa segala sesuatu dalam dunia ini mempunyai nyawa, termasuk manusia dengan nyawanya yang akan hidup terus walaupun manusia tersebut telah meninggal. Manusia yang telah meningal diberi makan dan minum sebagaimana orang yang masih hidup (Harahap, 1952:16; Duli, 2000:7). Dalan ajaran Aluk Todolok manusia diwajibkan menyembah Puang Matua ( dewa tertinggi pencipta alam semesta) dan deata-deata (dewa-dewa) yang terdiri atas Deata Tangga Langi’ (Pemelihara Langit), Deata Kapadanganna (Pemelihara Bumi) dan Deata Tangana Padang (Pemelihara isi Tanah).
Masyarakat Toraja mengenal dua jenis upacara adat yaitu aluk rambu tukak (upacara yang berkaitan dengan kehidupan) dan upacara aluk rambu solok (upacara yang berkaitan dengan kematian). Aluk rambu solok (rampe matampu) berlaku sejak orang meninggal sampai dengam selesainya upacara pemakaman. Seseorang yang mati harus dirawat dan diperlakukan sebagai orang yang masih hidup, diberi perlengkapan seperti pakaian, perhiasan, harta benda lainnya serta kerbau sebagai bekal di alam puya. Bila hanya sedikit yang dikurbankan dalam upacara kematiannya, maka sedikit pula bekal yang dibawa ke alam puya. Mereka yang sama sekali tidak diupacarakan maka arwahnya tidak diterima secara wajar di alam puya dan akan mengembara di atas dunia dengan penderitaannya sampai tiba saatnya keluarga melepaskannya dengan membuat pengorbanan untuknya (Kadir, 1980:89-97).
Upacara rambu solok diatur dalam aluk rampe matampu ( aturan upacara yang dilaksanakan pada sore hari), biasanya dinyatakan dalam upacara kematian dan penguburan. Dalam tahapan-tahapan pelaksanaan, upacara rambu solok merupakan suatu peristiwa yang di dalamnya mengandung nilai religi dan sosial, dilaksanakan di sebelah barat tongkonan. Menurut status sosial, upacara kematian pada Suku Toraja dibagi menjadi empat jenis, yaitu :
1. Upacara disilik, yaitu upacara kematian bagi masyarakat kelas bawah (tanak kua-kua) yang tidak mampu secara ekonomi tanpa disertai dengan hewan kurban atau kurban hanya berupa beberapa telur ayam saja. Mayat tidak boleh disimpan sampai bermalam di dalam rumah dan harus dikuburkan pada sore atau malam hari. Mayat dikuburkan di gua alam (liang silik) tanpa menggunakan peti (erong), hanya dengan dibalut kain. Bagi bayi yang belum tumbuh gigi, mayatnya dikuburkan di sela-sela akar atau di dalam batang pohon beringin yang dilubangi.
2. Upacara dipasangbongi, yaitu upacara kematian bagi masyarakat kelas tanak karurung atau tanak bassi dan bulaan (keluarga bangsawan) yang tidak mampu, berlangsung satu malam dengan mempersembahkan hewan kurban minimal berupa empat ekor babi dan maksimal delapan ekor kerbau. Mayat dikuburkan di liang dengan menggunakan wadah kubur (erong) berbentuk persegi panjang.
3. Upacara didoya, yaitu upacara kematian bagi masyarakat tanak bassi yang mampu secara ekonomi atau, tanak bulaan yang kurang mampu, berlangsung tiga malam, lima malam, atau tujuh malam. Selama upacara tersebut, peserta upacara tidak boleh tidur semalam suntuk (didoya). Dalam upacara ini hewan kurban berupa babi yang jumlahnya sampai ratusan dan kerbau (minimal 3, maksimal 12 ekor). Upacara ini dilaksanakan di dalam rumah atau tongkonan (rumah adat). Setelah selesai upacara, mayat dikuburkan di liang erong dengan menggunakan wadah berupa erong berbentuk kerbau atau perahu.
4. Upacara dirapai atau aluk rapasan, merupakan upacara kematian bagi golongan tanak bulaan (bangsawan) yang berlangsung minimal tujuh hari bahkan sampai berbulan-bulan dengan persembahan kurban berupa 12 ekor kerbau (minimal) ditambah dengan babi yang jumlahnya mencapai ratusan. Upacara dirapai atau rapasan ini merupakan upacara terbesar, berlangsung dalam dua tahap yaitu :
Tahap Makbatang : merupakan upacara tahap pertama yang berlangsung di Tongkonan Layuk selama tujuh hari berturut-turut.
- Hari ke-1 adalah pembalikan arah mayat dari timur-barat ke utara-selatan sebagai tanda upacara telah dimulai, memotong seekor babi untuk persembahan kepada deata.
- Hari ke-2 : pembuatan patung (tau-tau) dari batang bambu atau kayu nangka yang dihiasi sebagai perwujudan si mati, disertai pemotongan hewan kurban berupa lima ekor kerbau (minimal) dan beberapa ekor babi.
- Hari ke-3 : istirahat
- Hari ke-4 : membalut mayat dengan kain merah yang dilakukan oleh To Mebalun dengan persembahan hewan kurban berupa seekor kerbau dan beberapa babi.
- Hari ke-5 : pengibaran umbul-umbul dan pembuatan panggung di depan Tongkonan Layuk sebagai tempat membagi daging, dengan memotong hewan kurban berupa empat ekor kerbau dan beberapa ekor babi.
- Hari ke-6 : Penerimaan tamu-tamu yang turut berduka cita dengan memotong hewan kurban minimal 12 ekor kerbau. Acara ini merupakan puncak atau inti upacara. Sebelum dipotong, kerbau diikat pada tiang menhir (simbuang)[4] yang terdapat di rante simbuang sebagai simbol bahwa kurban kerbau tersebut ditujukan kepada arwah si mati sebagai bekal ke alam arwah. Setelah itu kerbau ikatan kerbau dilepas dan dipotong dengan sekali tebas.
- Hari ke-7 : penguburan mayat (makparampe) secara simbolis di atas rumah. Erong dengan perlengkapannya diganti kemudian erong lama tersebut dibawa ke rante simbuang untuk ditanam (karopik). Sembilan hari kemudian masa duka diakhiri dengan membawa sesaji makanan ke calon kubur atau liang tempat akan dikuburkannya mayat tersebut serta pelepasan pakaian hitam oleh anggota keluarga.
Setelah tahap makbatang selesai, pihak keluarga mengadakan persiapan dalam jangka waktu tertentu, tergantung kesepakatan keluarga, untuk mengadakan upacara tahap kedua (tahap makpalao). Pesiapan yang dilakukan menjelang makpalao,antara lain membuat tau-tau, usungan mayat (sarigan) berbentuk tongkonan, simbuang, dan pondok-pondok (melantang) seperti pondok tempat membagi daging, pondok mayat berbentuk tongkonan. Simbuang tempat menambatkan hewan kurban diletakkan di sebelah barat rante simbuang[5] dengan mengurbankan satu ekor kerbau, bahkan konon jaman dulu kurbannya manusia atau budak. Proses pengangkutan simbuang dari tempat pembuatannya menuju rante atau tongkonan dilakukan secara bergotongroyong, karena masyarakat menganggap bahwa pekerjaan tersebut merupakan kewajiban bersama. Pelaksanaannya dipimpin oleh pemangku adat.

Tahap Makpalao : upacara yang berlangsung di Rante Simbuang.
- Hari ke-1 : maktundan (membangunkan mayat)
- Hari ke-2 : makbalun yaitu membungkus ulang mayat dan memasukkannya ke dalam erong disertai dengan kubur seperti emas dan barang berharga lainnya.
- Hari ke-3 : makpalao alang, yaitu menurunkan peti mati ke lumbung (alang)untuk dihiasi dengan perhiasan emas dan sejenisnya.
- Hari ke-4 : makpalao, yaitu mangarak mayat ke Rante Simbuang dengan iring-iringan peserta dan peralatan upacara, tari-tarian, tangisan dan nyanyian duka. Pada setiap tahap disertai pemotongan hewan kurban beberapa ekor kerbau dan babi.
- Hari ke-5 dan ke-6 : Mantunu, yaitu penerimaan tamu dan pemotongan hewan kurban. Kerbau yang akan dikurbankan diikatkan pada tiang simbuang berdasarkan asal-usul keturunannya sebagai simbol bahwa anak cucu dari orang yang dibuatkan simbuang tersebut ikut serta mempersembahkan kurban.
- Hari ke-7 : Makpeliang, yaitu memasukkan mayat ke dalam kubur atau liang (Liang Erong, Liang Tokek, Liang Pak, Liang Patane) dengan mengorbankan seekor kerbau dan beberapa ekor babi di depan liang. Dengan selesainya upacara tersebut, orang yang telah meninggal dianggap telah benar-benar mati dan telah menjadi unsur Tomembali Puang atau deata.
Liang merupakan kompleks penguburan bagi masyarakat Toraja yang biasanya terletak di ceruk, gua, atau dindin-dinding batu yang dipahat. Liang juga berfungsi sebagai kompleks penguburan keluarga atau kelompok tertentu (Duli, 2003: 85). Liang yang digunakan sebagai tempat penguburan tersebut berupa kubur-kubur pahat pada dinding gua yang sengaja dipahat membentuk gua atau relung-relung. Pembuatan kubur-kubur pahat pada batu-batu besar tersebut masih berlangsung sampai saat ini (Prasetyo & Dwi, 2004:127).

C. Bentuk Penguburan dan Perlengkapan Kubur dalam Perbandingan
Orang Dayak Kaharingan mengenal dua penguburan, yaitu penguburan tingkat pertama yang menggunakan wadah kubur berupa raung (peti mati dari kayu) dan penguburan kedua setelah ditiwah dengan memindahkan tulang-tulangnya dalam bangunan kubur yang disebut sandong. Raung biasanya terbuat dari bahan kayu ulin, kayu tongkoi, kayu kenaga atau kayu nyatu yang dilobangi pada bagian tengahnya sehingga mirip dengan bentuk perahu (Foto 1 ). Raung digambari dengan motif stiliran flora atau sulur-suluran (bajakah lelek) yang mengandung makna sebagai pengikat arwah agar si arwah tidak mengembara ke mana-mana sehingga tidak mengganggu yang masih hidup (Hartatik, 2000).
Sandong terbuat dari bahan kayu ulin yang ditopang oleh satu tiang atau lebih. Jumlah tiang tergantung pada besar kecilnya bangunan sandong. Sandong yang ditopang oleh satu tiang biasanya mempunyai ukuran lebih kecil dari pada yang ditopang oleh dua, empat atau enam tiang. Tidak ada aturan baku tentang hal teknis pembuatan sandong. Yang pasti, sandong didirikan menghadap ke arah sungai atau jalan. Seluruh komponen sandong terbuat dari bahan kayu ulin.Teknik penyambungan antarbidang kayu tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan pasak-pasak kayu. Bentuk dasar bangunan sandong adalah segi empat panjang yang dinding-dindingnya melebar ke atas. Bentuk ini sama dengan bentuk perahu yang bagian dasarnya lebih sempit dari pada bagian atasnya dengan hiasan-hiasan yang merupakan simbol perjalanan arwah. Hal tersebut karena selain berfungsi sebagai rumah bagi arwah, sandong juga merupakan simbol perahu yang digunakan sebagai kendaraan arwah dalam perjalanannya menuju ke tempat asalnya yaitu di seberang laut.
Menurut ukuran, hiasan dan jumlah tiang sandong adalah bervariasi. Menurut ada tidaknya tiang, sandong dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu :
a. Sandong pambak atau sandong tambak, yaitu sandong yang digunakan untuk menyimpan tulang beserta peti matinya. Dalam bahasa Dayak, peti mati disebut raung, sehingga sandong ini disebut juga sandong raung. Sandong pambak atau sandong raung didirikan langsung di atas tanah tanpa menggunakan tiang atau tiang yang sangat rendah, yaitu kurang dari 50 cm. Ukuran sandong pambak sekitar 2 meter x 2 meter. Pada atap sandong biasanya terdapat hiasan berupa burung tingang, bulan bintang, kepala naga dan ekor naga pada ujung atap sandong (Foto 2).
b. Sandong tulang, yaitu sandong sebagai tempat penyimpan tulang yang berdiri di atas tiang atau kaki (Foto 3). Jumlah tiang sandong bervariasi, ada yang satu, dua, empat atau enam. Tulang-tulang tersebut diletakkan dalam kotak kayu atau guci, kemudian dimasukkan dalam sandong tulang. Ukuran sandong tulang lebih kecil dari pada sandong pambak, yaitu ± 80 cm x 150 cm.
Sebagai sebuah rumah arwah, sandong dapat menerima tambahan penghuni baru dari tiwah berikutnya asalkan masih dalam satu garis keluarga. Dengan kata lain, sandong dapat dipakai untuk beberapa kali tiwah. Setiap upacara tiwah tidak harus mendirikan sandong baru. Ada sandong yang dihias dengan cat warna-warni dan ada pula yang polos. Dinding-dinding sandong biasanya dihiasi dengan lukisan motif sulur-suluran (bajakah lelek), miniatur rumah, pagar, dan pintu semu. Hiasan itu berkaitan dengan konsep sandong sebagai rumah arwah. Sebagai sebuah rumah, sandong dilengkapi dengan pintu dan pagar. Sedangkan suluran sebagai pengikat arwah agar arwah berdiam dengan tenang dalam rumahnya. Pintu tersebut hanya pintu semu, tidak bisa dibuka. Tulang-tulang dan abu dimasukkan dalam sandong lewat atas yaitu dengan cara membuka atap sandong. Untuk sandong pambak, tulang-tulang dimasukkan lewat pintu samping. Atap sandong dihiasi dengan patung naga, burung tinggang/tingang, kadang-kadang disertai bulan dan bintang. Masing-masing hiasan tersebut mempunyai makna yang berkaitan dengan perjalanan arwah. Burung tingang adalah lambang dunia atas, naga adalah lambang dunia bawah sehingga keduanya merupakan



Foto 2. Sandong pambak di Desa Sati, Kotabesi, Kotawaringin Timur
(dok. Balai Arkeologi Banjarmasin 2000).


Foto 3. Sandong tulang diapit sapundu dan sanggaran, di Desa Kandan,
Kotabesi, Kotawaringin Timur (dok. Balai Arkeologi Banjarmasin 2002).


simbol kesatuan kosmos. Kepala naga selalu menghadap ke arah hilir karena naga diharapkan sebagai petunjuk arah bagi si arwah dalam perjalanannya menuju ke laut sebagai tujuan akhir perjalanannya. Burung tingang adalah sebagai simbol harapan agar arwah diterima dengan baik di alam arwah. Bulan dan bintang adalah simbol penerangan selama arwah dalam perjalanan menuju ke lewu tatau (Hartatik, 2000:35).
Bagi masyarakat Toraja penganut Aluk Todolo, kematian merupakan proses perjalanan dari alam dunia ke alam gaib yang disebut puya. Perjalanan tersebut diiringi tahapan upacara dengan peralatan upacara yang harus disiapkan oleh keluarga yang meninggal sebagai salah satu bentuk kewajibannya. Suku Dayak penganut Alukta, terutama golongan bangsawan (tanak bulaan dan tanak bessi) mengenal dua tahap penguburan yaitu penguburan tahap pertama (makbatang) dan penguburan tahap kedua (makpalao). Tahap pertama merupakan penguburan sementara sambil menunggu kesiapan keluarga untuk melakukan upacara pengurbanan (rambu solok). Mayat dibalut dengan kain kemudian dimasukkan ke dalam erong dan ditempatkan di atas rumah (tongkonan). Selama masa penguburan tersebut mayat diperlakukan sebagimana orang hidup yang sedang sakit. Orang dianggap telah benar-benar mati jika upacara rambu solok telah selesai dilakukan. Upacara tahap kedua atau penguburan sekunder merupakan penguburan yang bersifat permanen. Mayat yang sudah kering (tinggal kerangkanya) dimasukkan ke dalam erong baru bersama-sama dengan benda berharga sebagai bekal kubur, kemudian ditempatkan pada kompleks penguburan atau liang. Golongan bangsawan menggunakan wadah kubur berupa erong berbentuk perahu atau kerbau, masyarakat biasa menggunakan erong berbentuk babi atau ayam, sedangkan golongan terbawah atau budak (tanak kua-kua) menggunakan wadah anyaman bambu atau tikar. Akan tetapi, saat ini perbedaan bentuk erong antar golongan sudah tidak tampak lagi (Duli, 2000:1-12).
Dalam ajaran Alukta, kubur (liang) adalah tempat atau rumah bersemayamnya arwah leluhur sehingga harus dibuat senyaman dan sebaik mungkin agar arwah senang tinggal di dalamnya. Anggapan tersebut tercermin dalam penamaan kuburan sebagai benua to membali puang ( rumah para arwah leluhur) atau benua tang merambu (rumah yang tidak berasap). Suku Toraja mengenal lima jenis penguburan, yaitu :
1. Liang, yaitu penguburan dalam gua atau ceruk baik secara alami maupun buatan seperti yan g dipahatkan pada dingin batu. Penguburan liang terdiri atas beberapa bentuk :
a. Liang sili, yaitu dengan memasukkan mayat ke dalam gua pada kaki bukit atau gunung batu kemudian ditutupi dengan susunan batu kecil.
b. Liang erong, yaitu dengan meletakkan mayat di dalam gua atau ceruk dengan menggunakan wadah berupa erong.
c. Liang tokek, yaitu penguburan dengan menggunakan wadah erong dan digantung di atas langit-langit gua atau ceruk.
d. Liang pak, yaitu kubur yang dipahatkan ke dalam permukaan dinding batu yang bagian dalamnya berbentuk rongga besar yang bagian dalamnya bervariasi.
2. Tagdan, yaitu penguburan berbentuk rumah adat (tongkonan) terbuat dari bahan kayu dan diletakkan di atas puncak bukit atau tempat yang sengaja ditinggikan. Pada jaman dulu, tagdan hanya diperuntukkan bagi golongan bangsawan.
3. Patane, yaitu kubur yang merupakan perkembangan dari tagdan, bentuknya menyerupai bangunan rumah tongkonan, terbuat dari kayu dan semen, tidak harus ditempat yang tinggi dan digunakan untuk umum. Selain tempat penguburan, tagdan juga berfungsi sebagai bangunan pelindung semacam jirat yang dibangun di atas liang lahat. Tagdan dan patane banyak digunakan di daerah yang tidak memiliki banyak bongkahan atau pegunungan batu.
4. Passiliran kayu, yaitu penguburan pada pohon kayu/beringin untuk anak-anak yang meninggal belum tumbuh gigi. Mayat diletakkan di sela-sela akar atau batang pohon yang dilubangi kemudian ditutupi dengan serat ijuk.
5. Lamunan, yaitu penguburan dengan memasukkan mayat ke dalam tanah di sekitar rumah, terutama untuk bayi yang belum tumbuh gigi dengan diwadahi tembikar. Setelah masuknya agam Kristen dan Islam, kubur lamunan ini banyak digunakan. Namun demikian, untuk kubur para bangsawan, dapat dikenali berdasarkan tata letak, bentuk, tipologi wadah dan penempatan tau-tau di depan kubur masing-masing (ibid).
Erong mempunyai bentuk seperti lesung (wadah penumbuk padi) yang dengan bagian bagian bawahnya sempit kemudian melebar pada bagian atasnya, ada pula yang meyerupai bentuk babi atau kerbau (Hasanuddin, 2003:39). Erong yang lebih tua bentuknya mirip bentuk perahu yang ujung-ujungnya menyerupai bentuk haluan dan buritan perahu. Bentuk perahu tersebut diyakini sebagai kendaraan yang akan mengantar roh si mati ke alam gaib. Pada sepanjang tepian atas dan sisi depan sampai belakang terdapat ukiran bentuk naga, sedangkan bagian bawah diukir berbagai macam motif hias khas Toraja seperti bentuk spiral dan berbagai suluran. Erong untuk golongan bangsawan diukir dengan motif pa’doti langi’ (menyoroti langit) atau pa’doti siluan yang pada ujung-ujungnya ditambahkan dengan motif berbentuk kepala ular. Dalam pembagian alam raya seperti yang tervisualisasi dalam bentuk tongkonan, penggunaan bentuk ular merupakan simbol dunia bawah. Dengan demikian bagi masyarakat Toraja, puya (alam gaib) sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur berada pada lapisan dunia bawah (Said, 2004:162-164). .
Erong yang berasal dari masa sekarang ini, bentuknya tidak lagi menyerupai lesung tetapi berupa peti mati dengan tutup yang berbentuk agak bulat, tanpa ukiran bentuk ular atau kepala ular. Penggunaan simbol berupa motif pa’doti langi’ tetap diterapkan pada bagian badan erong, sedangkan motif matahari bersinar digambarkan pada erong sisi depan dan belakang. Kedua motif tersebut merupakan simbol kebangsawanan dan kemuliaan dari orang yang meninggal. Pada erong baru, di atas motif matahari bersinar ditambahkan bentuk salib yang merupakan indikasi pengaruh budaya Kristen, atau mungkin telah terjadi akulturasi antara budaya asli dengan budaya dari luar (Kristen). Jika pada erong lama, motif-motif tersebut diukirkan pada erong, tetapi saat ini motif-motif tersebut digambarkan dengan menggunakan cat kayu (Foto 4).


Foto 4. Jejeran erong dengan hiasan cat motif matahari di
liang Londa, Toraja. (sumber : Said, 2004:167).


Foto 5. Erong-erong di tebing-tebing gua Kete’ Kesu’, Tana Toraja (dok. Pribadi)

Foto 6. Erong-erong di dalam gua Kete’ Kesu’, Tana Toraja (dok. pribadi)


Pada upacara kematian masyarakat Toraja (bangsawan) penganut Aluk Todolo, dilengkapi dengan berbagai perlengkapan upacara, antara lain :
Patung simbuang sebagai penambat hewan kurban
Erong, wadah mayat berbentuk lesung (dulu) atau empat persegi panjang yang melebar pada bagian atasnya.
Tau-tau, patung dari bambu atau kayu sebagai perwujudan si mati.
Bungkang-bungkang : perlengkapan upacara kematian berbentuk menyerupai kepiting, terbuat dari bahan kayu, digantungkan pada erong selama prosesi upacara pemakaman bangsawan tinggi. Untuk mayat laki-laki, bungkang-bungkang dibentuk dengan ukiran motif pa’bua kapa’, dengan bagian bawahnya digantungkan kantong-kantong yang terbuat dari rotan sebagai tempat sirih. Untuk mayat perempuan, diberi ukiran motif pa’doti langi’ (menyoroti langit) yaitu motif berbentuk salib simetris dengan bentuk bintang di dalamnya.
Hiasan untuk binatang kurban, yaitu belo babi (hiasan untuk babi) dan belo tedong (hiasan untuk kerbau). Hiasan kerbau berbentuk segitiga menyerupai bentuk bagian depan Tongkonan yang disertai dengan gelang (komba), pollo dodo, tombi, bandera, kain sarita, daun pusuk, manik tedong (kalung kerbau). Hiasan tersebut dikenakan pada hewan kurban sebelum dikurbankan, dan biasanya diarak keliling kampung atau tongkonan (Said, 2004:163-169).

Beberapa hal yang sama antara konsep dan artefak yang digunakan berkaitan dengan penguburan Suku Dayak Ngaju dan Toraja :
Konsep kematian sebagai proses perjalanan menuju alam gaib dimana arwah akan tetap hidup, sama-sama mengandung keyakinan bahwa roh akan sampai ke tujuannya (lewu tatau – Dayak Ngaju; puya – Toraja) setelah dilakukan prosesi ritual dengan mempersembahkan kurban (tiwah – Daya Ngaju; aluk rambu solok – Toraja). Kedua suku meyakini bahwa arah matahari terbenam sebagai orientasi arwah/orang meninggal, sedangkan arah matahari terbit sebagai orientasi kehidupan.
Patung penambat hewan kurban dalam upacara kematian :(sapundu – Dayak Ngaju; simbuang - Toraja).
Penggunaan hewan kurban : kerbau dan babi
Kegiatan yang menyertai pelaksanaan upacara kematian : sabung ayam, tarian melingkar disertai nyanyian duka (manganjan – Dayak Ngaju, makbadong – Toraja).
Bentuk wadah mayat sebelum penguburan terakhir : raung (Dayak Ngaju) dan erong (Toraja) yang sama-sama berbentuk seperti perahu sebagai simbol kendaraan arwah.
Motif hiasan wadah kubur : naga/ular sebagai simbol penguasa dunia bawah, motif benda-benda langit seperti matahari, bulan bintang sebagai simbol derajat yang tinggi.
Perbedaan mencolok pada penguburan antara Dayak Ngaju dan Toraja adalah tempat penguburan sekunder, Suku Dayak Ngaju menggunakan wadah berupa rumah sandong, sedangkan pada Suku Toraja menggunakan erong yang diletakkan di liang atau gua. Perbedaan tersebut dikarenakan faktor ketersediaan bahan dan kondisi lingkungan, dimana daerah Tana Toraja sebagian besar merupakan perbukitan dan banyak gunung batu, sedangkan di Kalimantan merupakan daerah rawa dan minim bahan batu. Suku Toraja yang berdiam di daerah yang tidak banyak bongkahan batu, melakukan penguburan tagdan atau patane (dari bahan kayu dan semen). Sebenarnya, penguburan di dalam gua juga pernah dilakukan oleh Suku Dayak di Kalimantan, tetapi tidak diketahui pasti suku Dayak yang mana. Hal tersebut karena kubur dan tengkorak-tengkorak yang sengaja dikuburkan dalam gua tersebut - seperti di Gua Tengkorak Kabupaten Tanah Grogot, Kalimantan Timur dan Gua Malui, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan - ketika ditemukan sudah tidak ada lagi pendukung budayanya, bahkan masyarakat sekitar gua tidak mengenal cara penguburan tersebut. Mungkinkah pendukung penguburan dalam gua tersebut sudah musnah atau berpindah tempat? Banyaknya persamaan dan adanya perbedaan yang cukup mencolok bisa disebabkan oleh latar belakang sejarah dan pengaruh lingkungan. Belum ada teori yang secara khusus menjelaskan ada tidaknya kaitan sejarah antara suku Dayak dan Toraja, sehingga persamaan dan perbedaan tersebut harus dilihat dari berbagai aspek, seperti lingkungan, sistem kekerabatan atau sistem sosial, teknologi dan bahasa.


D. Penutup
Keberadaan sandong dan perlengkapannya tidak bisa dipisahkan dari upacara tiwah karena benda-benda tersebut didirikan dalam sebuah rangkaian upacara tiwah. Pelaksanaan tiwah merupakan salah satu tanda bakti dan penghormatan kepada orang tua, leluhur dan kerabat yang telah meninggal dunia. Selain untuk mengantarkan arwah ke lewu tatau, mereka juga berharap dengan mengadakan tiwah secara meriah akan menjadi amalan yang dapat mengangkat kedudukan pelaksananya di alam sesudah kematian nantinya. Demikian juga dalam pelaksanaan upacara kematian Suku Toraja terutama dalam aluk rapasan, keluarga almarhum melakukan upacara dengan mempersembahkan hewan kurban sebanyak mungkin supaya arwah sampai ke puya dengan sempurna. Banyaknya hewan kurban yang dipersembahkan juga menandakan baktinya kepada leluhur.
Konsep penghormatan terhadap arwah leluhur yang tercermin dalam bentuk-bentuk bangunan kubur raung, sandong dan perlengkapannya seperti sapundu, pantar dan sanggaran; erong dan simbuang merupakan tradisi yang dapat disejajarkan dengan konsep tradisi megalitik. Raung, sandong, dan erong mempunyai bentuk dasar yang mirip dengan bentuk perahu, identik dengan bangunan kubur batu prasejarah yang berbentuk perahu seperti yang terdapat di Batak, kubur batu kabang di Sumba, kalamba di Sulawei Tengah, sarkofagus di Bali dan peti mati berbentuk perahu di Selayar dan Kei. Perbedaan terletak pada materi yang digunakan, terutama pada simbuang dan liang Suku Toraja terbuat dari batu, sedangkan sapundu dan sandong pada Suku Dayak Ngaju terbuat dari bahan kayu. Perbedaan tersebut disebabkan oleh kondisi lingkungan, Kalimantan tidak mempunyai sumber bahan batu (karena tidak adanya gunung berapi) dan kaya akan bahan kayu, sedangkan di Sulawesi banyak terdapat bahan batu. Persamaan mendasar terletak pada pemujaan roh leluhur yang merupakan konsep budaya megalitik.
Berasal dari ratusan bahkan ribuan tahun silam, melalui perjalanan yang panjang, bertahan dalam keterpencilan dan akhirnya berada dalam alur perubahan. Orang Dayak penganut kepercayan Kaharingan dan orang Toraja penganut Aluk Todolo kian berkurang, prosesi dan peralatan upacara kian disederhanakan upacara seperti ukir-ukiran pada wadah kubur yang digantikan dengan gambar bercat. Ritual yang masih ada lebih terasa sebagai ikon identitas etnis daripada ritual dalam pengertian yang sebenarnya sebagaimana yang diyakini selama ratusan tahun silam.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2001. Selayang Pandang Bumi Habaring Hurung. Buku Petunjuk Pariwisata Kabupaten Kotawaringin Timur. Dinas Tenaga Kerja dan Pariwisata Kabupaten Kotawaringin Timur.

Bock, Carl. 1988. The Head Hunters of Borneo. Singapura : Graham Brash (Pte) Ltd.

Duli, Akin. 2000. Tinjauan Etnoarkeologi Bentuk-Bentuk Penguburan di Tana Toraja. Walennae No. 5. Makassar : Balai Arkeologi Makassar. 1-12.

________.2003. Refleksi Religi dan Sosial Peninggalan Megalitik di Tana Toraja. Toraja Dulu dan Kini. Akin Duli & Hasanuddin, ed. Makassar : Pustaka Refleksi, hlm. 63-86.

Hartatik. 2000. Survei Arkeologi di Kotawaringin Timur Propinsi Kalimantan Tengah. Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Banjarmasin. Belum terbit.

______. 2001. Perahu dalam Kehidupan Religi dan Kontinuitas Budaya Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Naditira Widya Nomor 07, November 2001. Banjarbaru : Balai Arkeologi Banjarmasin, hlm 99-108.

______ . 2002. Penelitian Etnoarkeologi Bangunan Kubur Suku Dayak Ngaju di Kecamatan Parenggean dan Mentaya Hulu Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Banjarmasin. Belum terbit.

Hasanuddin, 2003. Pola Pemukiman Masyarakat Toraja. Toraja Dulu dan Kini. Akin Duli & Hasanuddin, ed. Makassar : Pustaka Refleksi, hlm. 35-61.

Kadir, Harun. 1980. Aspek Megalitik di Toraja, Sulawesi Selatan. Diskusi Ilmiah Arkeologi (DIA), Cibulan 21-26 Februari 1997. Jakarta : Pusat penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.

Prasetyo, Bagyo & Dwi Yani Yuniawati, ed. 2004. Religi pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Arkeologi.
Rampai, Kiwok D. 1983. Bangunan Makam Orang Ngaju di Kalimantan Tengah, Suatu Studi Ethnoarkeologi, Tesis. Yogyakarta : Fak. Sastra, Universitas Gadjah Mada (tidak diterbitkan).

Said, Abdul Azis. 2004. Toraja, Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional. Yogyakarta : Ombak.

Umar, Fatmawati, Andi. 2003. Sejarah dan Budaya Toraja. Toraja Dulu dan Kini. Akin Duli & Hasanuddin, ed. Makassar : Pustaka Refleksi, hlm. 1-34.

[1] Suku Dayak yang dibahas dalam perbandingan ini adalah Dayak Ngaju yang berdiam di wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, sedangkan Suku Toraja adalah masyarakat Toraja yang berdiam di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
[2] Semula Katingan merupakan salah satu kecamatan dalam wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur, tetapi sejak tahun 2002 Katingan menjadi kabupaten sendiri dengan ibu kota di Kasongan. Demikian juga Pembuang telah menjadi Kabupaten sendiri dengan Ibukotanya Kuala Pembuang.
[3] Sandong adalah bangunan kubur dari kayu berbentuk empat persegi panjang dengan bagian atas melebar yang ditopang oleh 1, 2 atau 4 tiang; Sapundu adalah patung untuk menambatkan hewan kurban; pantar adalah tiang kayu yang tinggi sebagai simbol tangga arwah menuju lewu tatau; sanggaran merupakan tiang kayu tinggi dengan hiasan tajau/guci dan burung enggang sebagai simbol telah dilaksanakannya upacara tiwah.
[4] Simbuang atau menhir sebagai penambat hewan kurban pada Suku Toraja terbuat dari batu yang yang dipahat oleh seniman pahat dengan upah seekor kerbau atau lebih tergantung besar kecilnya atau tingkat kerumitannya.
[5] Rante = tempat upacara, lahan datar (Hasanuddin, 2003:35-61). Sejak masuknya agam Kristen (tahun 1920), upacara tidak lagi dilaksanakan di rante simbuang tetapi di halaman rumah atau tongkonan (ibid).