Sunday, January 13, 2008

ARTEFAK PRASEJARAH DI KALIMANTAN SELATAN: KAJIAN PERSEBARAN DAN PERMASALAHANNYA [FIB UGM1] Revisi 1
Bambang Sugiyanto

Abstrak
Koleksi artefak prasejarah yang ada di Museum Lambung Mangkurat, dapat dipergunakan sebagai data untuk membahas persebaran dan perkembangan budaya prasejarah di wilayah Kalimantan Selatan. Data tentang keterangan tempat atau lokasi asal[A2] arrtefak ditemukan dapat dijadikan dasar untuk menentukan langkah penelitian selanjutnya. Namun, tidak semua keterangan tempat [A3] merupakan tempat artefak itu ditemukan, sehingga perlu dipertanyakan lagi asal artefak tersebut. Aspek ruang, waktu, dan bentuk sangat penting dalam pengamatan dan analisis artefak prasejarah. Dalam hal ini, Koleksi artefak prasejarah Museum Lambung Mangkurat hanya memiliki aspek bentuk saja.

Prehistory artefak colecction in Lambung Mangkurat Museum can to use as data to study of prehistory culture distribution and development in South Kalimantan province. Data abaut place identification or sites where the artefak founded can be use base of to ascertain mereover research step. In spite of, not all that identification place to represent place where artefact founded, so that need to ask where found the artefact mentioned. Space, time, and form aspect very important in inspection and analizise prehistory artefact. This case inside, prehistory artefact collection Lambung Mangkurat Museum only have of form aspect.

Kata Kunci : Persebaran, budaya prasejarah, Kalimantan Selatan.

A. Pendahuluan
Artefak prasejarah [FIB UGM4] yang sering ditemukan baik dalam penelitian maupun yang ditemukan secara tidak sengaja oleh sebagian penduduk pada umumnya berupa peralatan yang terbuat dari bahan batuan. Artefak dari bahan batuan (artefak lithik[FIB UGM5] ) ini memang dikenal mempunyai ketahanan yang cukup bagus sesuai dengan bahannya, sehingga sebagian besar masih [FIB UGM6] utuh pada saat ditemukan. Sementara untuk artefak prasejarah lainnya yang terbuat dari bahan tulang, bambu, kayu atau pun tanduk, pada umumnya tidak mempunyai ketahanan fisik yang bagus[FIB UGM7] , terutama bila tidak memiliki kandungan tertentu yang membuatnya awet. Kondisi tanah tertentu, misalnya asam juga makin membuat bahan-bahan organic mudah lapuk dan hancur. Dalam kondisi demikian artefak[FIB UGM8] dari bahan organik seperti itu hanya biasa ditemukan pada kegiatan penelitian ekskavasi arkeologi dengan metode dan cara yang khusus.[FIB UGM9]

Penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Banjarmasin dari tahun 1995 sampai sekarang, memang belum banyak ditemukan situs-situs prasejarah di wilayah Kalimantan Selatan. [FIB UGM10] Sementara ini yang ditemukan baru [FIB UGM11] situs Gua Babi dan Gua Tengkorak yang berada di perbukitan kars Gunung Batubuli di sekitar Desa Randu, Kecamatan Muara Uya, Kabupaten Tabalong. Situs Gua Babi merupakan sebuah situs gua hunian prasejarah yang berasal dari periode budaya Mesolithik, sedangkan [FIB UGM12] situs Gua Tengkorak merupakan sebuah situs gua penguburan pertama di wilayah Kalimantan Selatan yang menyimpan sisa penguburan manusia Australomelanesid (Widianto dan Handini, 1997).Beberapa penelitian survei lain yang dilakukan di wilayah kabupaten lain di Kalimantan Selatan juga menunjukkan adanya indikasi yang kuat akan potensi situs-situs prasejarah, seperti di daerah pegunungan karst di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tanah Bumbu, dan Tanah Laut. Di wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, akhir tahun 2006 berhasil ditemukan 2 buah situs gua prasejarah, yaitu Gua Sugung dan Gua Landung, yang berada di sekitar Desa Mantewe (Km 42). Penemuan 2 situs prasejarah tersebut tampaknya membuka kemungkinan baru tentang kebenaran hipotesa bahwa persebaran manusia prasejarah di Kalimantan Selatan berasal dari arah selatan melalui pegunungan Meratus, yang pada masa yang lalu pernah berhubungan dengan pegunungan Rembang di Jawa.Berdasarkan hipotesa tersebut, beberapa catatan tentang adanya temuan artefak prasejarah di sekitar wilayah Kalimantan Selatan bagian Tenggara menjadi penting artinya dalam pembahasan tersebut. Persebaran temuan artefak prasejarah yang sekarang menjadi koleksi Museum Negeri Lambung Mangkurat Banjarbaru, dapat digunakan sebagai data untuk mengungkapkan kebenaran hipotesa tersebut di atas.

B. Artefak Prasejarah [FIB UGM13] Koleksi Museum Lambung Mangkurat
Sedikitnya terdapat sekitar 143 buah artefak prasejarah yang menjadi koleksi Museum Negeri Lambung Mangkurat Banjarbaru. Secara morfologis, artefak batu koleksi Museum Negeri Lambung Mangkurat dapat dibedakan dalam kapak penetak, kapak perimbas, kapak genggam sederhana, serpih besar, beliung persegi, serta beberapa batu alam yang digunakan manusia atau yang mempunyai bentuk yang unik, beberapa kapak corong, mata tombak, manik-manik batuan dan gerabah, serta setangkup cetakan kapak corong dari batuan. Semua koleksi prasejarah museum Lambung Mangkurat tersebut diatas merupakan temuan permukaan yang ditemukan oleh penduduk setempat pada saat tertentu, seperti: menggarap lahan perkebunan, pembuatan saluran irigasi, pembuatan pondasi rumah dan lain-lain. Sebagai barang temuan di permukaan tanah atau yang terangkat ke atas tanah secara tidak sengaja, yang kemudian dilaporkan atau dihibahkan ke Museum Lambung Mangkurat. Hibah semacam ini biasanya biasanya dilakukan oleh perseorangan atau kelompok yang menyadari arti pentingnya benda tersebut bagi perkembangan dan penelitian kebudayaan lokal maupun nasional.Berdasarkan informasi pada keterangan temuan diketahui bahwa koleksi prasejarah tersebut berasal dari Kabupaten Barito Kuala (4 situs), Kabupaten Banjar (9 situs), Kabupaten Hulu Sungai Tengah (6 situs), Kabupaten Kotabaru (4 situs), Kabupaten Tapin (2 situs), Kabupaten Hulu Sungai Selatan (3 situs), Kotamadya Banjarbaru (2 situs), Kotamadya Banjarmasin (2 situs), Kabupaten Tanah Laut (2 situs), Kabupaten Hulu Sungai Utara (1 situs). Lokasi asal koleksi artefak prasejarah ini tidak langsung mencerminkan sebagai situs prasejarah. Hal ini disebabkan pada umumnya benda koleksi tersebut sudah menjadi barang warisan atau simpanan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, sampai pada saat dihibahkan pada Museum Lambung Mangkurat.

Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat menjelaskan apakah alamat asal koleksi artefak prasejarah yang sekarang disimpan di Museum Lambung Mangkurat merupakan suatu situs atau bukan. Pertama kita melihat lokasi yang ada di Kabupaten Barito Kuala. Menurut keterangan, koleksi artefak prasejarah yang berasal dari Kabupaten Barito Kuala, antara lain berasal dari: Desa Patih Muhur, Kecamatan Anjir Muara; Desa Tamban Muara, Kecamatan Tamban; Desa Tabunganen, Kecamatan Tabunganen Muara; dan Desa Marabahan, Kecamatan Marabahan. Secara geografis keempat desa tersebut terletak di dataran rendah yang bersifat tanah gambut. Pada lokasi yang demikian, pada umumnya koleksi yang ada cenderung berasal dari luar daerah, yang sengaja disimpan atau dibawa ke daerah ini sampai pada akhirnya dihibahkan ke Museum. Dapat dikatakan bahwa pada keempat desa tersebut kecil sekali kemungkinannya benar-benar sebagai lokasi penemuan aslinya. Desa Pati Muhur, Kecamatan Anjir Muara baru-baru ini diketahui sebagai salah satu situs pemukiman lama yang akan diteliti oleh Balai Arkeologi Banjarmasin. Sisa-sisa pemukiman yang berupa tonggak-tonggak kayu ulin yang panjang dan besar masih banyak terdapat didalam tanah. Sementara itu temuan lepas yang didapat dari situs ini adalah 2 buah beliung persegi dan beberapa benda keramik. Tampaknya 2 buah beliung persegi yang berasal dari masa prasejarah ini tetap dipakai secara turun temurun dengan fungsi yang sudah berubah tidak lagi fungsi praktis yang digunakan, tetapi lebih ke fungsi sosial atau ideologi.Sementara itu, dari Kabupaten Banjar dilaporkan ada 8 desa tempat asal koleksi prasejarah, yaitu: Desa Madurejo, Kecamatan Pengaron; Desa Lobang Baru, Kecamatan Pengaron; Desa Sumenep I Madurejo, Kecamatan Pengaron; Desa Simpang III, Kecamatan Matraman; Kecamatan Martapura; Desa Pakutik, Kecamatan Sei Pinang; Desa Kahelaan, Kecamatan Sei Pinang; Desa Tamboja, Kecamatan Aranio; dan Desa Awang Bangkal, Kecamatan Aranio. Kecamatan Pengaron dan Aranio memang berada di sekitar Pegunungan Meratus yang banyak mempunyai gunung dan bukit karst. Pada kawasan inilah biasanya banyak dijumpai adanya gua-gua dan ceruk payung yang cenderung pernah dipergunakan oleh manusia prasejarah ribuan tahun yang lalu. Bahkan temuan prasejarah pertama dari Kalimantan ditemukan pada undak sungai di tepi selatan Sungai Riam Kanan di Awang Bangkal pada tahun 1939 oleh H. Kupper. Alat-alat batu yang ditemukan ini menurut van Heekeren menyerupai alat tipe Hoa binh yang monofasial, yang kemudian pendapat tersebut diubahnya dan menggolongkan alat-alat itu sebagai unsur budaya kapak perimbas. Alat-alat itu dibuat dari kuarsa terdiri dari lima buah bercorak kapak perimbas, dan dua buah alat serpih ( Poesponegoro dan Notosusanto 1993).

Pada tahun 1958, Toer Soetardjo menemukan sebuah alat paleolitik di Awangbangkal. Alat tersebut ditemukan di dasar sungai Riam Kanan, yang mengalir di sebelah Tenggara Martapura. Sungai Riam Kanan ini terletak di sebelah barat barisan pegunungan Meratus. Daerah aliran sungai yang terbentang di sebelah Tenggara Awang Bangkal melintasi susunan lapisan yang berasal dari Pra-Tersier (terutama sekis hornblenda dan batuan basal) dan Tersier (batu-batuan sedimenter dan lapisan-lapisan vulkanik). Penemuan tahun 1958 ini berupa: sebuah kapak perimbas terbuat dari kerakal kuarsa varian jaspis, berbentuk bulat dan berwarna coklat kemerahan. Ukuran alat ini ialah panjang 13 cm, lebar 11,7 cm, tebal 4 cm. Jejak teknologis yang tampak pada alat tersebut adalah pemangkasannya yang dilakukan secara kasar pada satu pinggiran bidang untuk memperoleh bentuk tajaman yang konveks. Alat ini tampak tertutup patina dan terkikis sekali. Bekas-bekas pemakaian (perimping) tampak jelas pada bagian tajaman alat (Poesponegoro dan Notosusanto 1993). Kemudian pada survei tahun 1976 di daerah aliran Sungai Riam Kanan di sekitar tempat penemuan yang lama, tim yang dipimpin D.D. Bintarti berhasil menemukan beberapa buah alat batu. Alat-alat ini dibuat dari kuarsa yang disiapkan secara monofasial dan bentuknya menyerupai kapak perimbas temuan tahun 1958 dengan ukuran yang lebih kecil (Bintarti 1967 dalam Poesponegoro dan Notosusanto 1993). Berdasarkan keterangan di atas, tampaknya kawasan sungai Riam Kanan dan deretan Pegunungan Meratus merupakan daerah yang cukup potensial untuk penelusuran dan penelitian prasejarah. Kawasan tersebut menyimpan misteri sejarah kehidupan manusia prasejarah yang belum terungkap mulai dari tahapan kehidupan di tempat yang terbuka sampai pada kehidupan di gua-gua.

Pada survei berikutnya yang dilakukan pada kawasan karst di Pegunungan Meratus di wilayah kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Tengah, juga berhasil ditemukan jejak-jejak hunian prasejarah pada beberapa gua, seperti: Gua Janggarawi dan Gua Mandala (Kabupaten Hulu Sungai Selatan). Berikutnya pada survei dan ekskavasi yang dilakukan pada kawasan karst di Kabupaten Tanah Bumbu, tepatnya di Kecamatan Mentewe pada akhir tahun 2006, tim penelitian Balai Arkeologi Banjarmasin berhasil menemukan 3 (tiga) buah situs gua hunian prasejarah baru, yaitu: Gua Sugung, Gua Payung, dan Gua Landung. Hasil ekskavasi penjajagan yang dilakukan pada situs Gua Sugung dan Gua Payung menunjukkan bahwa kedua gua tersebut memang pernah dimanfaatkan oleh kelompok manusia prasejarah pada masa yang lalu. Indikasi kehidupan prasejarah itu antara lain tampak dengan ditemukannya ratusan cangkang kerang air tawar dari jenis thiaridae (yang biasa dikenal dengan istilah “katuyung” oleh penduduk setempat), puluhan serpihan batu, sisa tulang binatang, dan fragmen gerabah baik yang polos maupun berhias. Sementara itu, jejak budaya Gua Landung terungkap lewat survei permukaan yang menemukan beberapa serpihan batuan dan sisa cangkang kerang.
Sementara itu, keterangan tempat yang berasal dari Banjarbaru atau Banjarmasin kemungkinan besar adalah alamat peyimpanan artefak terakhir sebelum dihibahkan ke Museum Lambung Mangkurat. Jika kita melihat uraian di atas, tampaknya banyak artefak prasejarah yang masih disimpan atau dipakai oleh masyarakat Banjar atau Dayak dalam kehidupannya sehari-hari. Tentunya benda atau artefak tersebut tidak lagi dipergunakan sesuai dengan fungsi aslinya (fungsi praktis), tetapi sudah bergeser menjadi fungsi sosial atau ideologi tertentu.

Berdasarkan uraian dan pembahasan diatas, dapat dijelaskan bahwa keterangan atau alamat asal koleksi yang ada di Museum lambung Mangkurat pada umumnya adalah mengacu pada alamat si pemilik/penemu/penyimpan artefak prasejarah, bukan alamat situs dimana artefak prasejarah itu ditemukan. Keterangan tempat seperti ini tidak banyak membantu dalam penelitian berikutnya, karena susah untuk mengetahui dimana sebenarnya benda tersebut berasal. Dalam kasus yang demikian, metode arkeologi hanya dapat mengamatinya berdasarkan bentuk dan teknologi pembuatan saja. Keterangan penting lain seputar artefak tersebut, seperti konteks budaya, waktu (meliputi pembuatan, pemakaian, dan pembuangan) dan pendukung budayanya tidak akan dapat diketahui. Oleh karena itu keterangan koleksi haruslah dibuat dengan selengkap-lengkapnya dengan menyertakan alamat situs dimana artefak tersebut ditemukan.

C. Persebaran Budaya Prasejarah di Kalimantan Selatan[FIB UGM14]
Persebaran budaya prasejarah di wilayah Kalimantan Selatan selama ini memang banyak ditemukan di gua-gua di pegunungan atau perbukitan karst di sekitar Pegunungan Meratus. Seperti diketahui, manusia prasejarah pada masa itu telah mengenal dan memanfaatkan gua dan ceruk payung sebagai tempat tinggal sementara. Berdasarkan data arkeologi yang didapatkan dari penelitian ekskavasi di situs Gua babi dan Gua Tengkorak (Kecamatan Muarauya, Kabupaten Tabalong), diketahui bahwa paling tidak sekitar 6.000 tahun yang lalu, Gua Babi telah dipakai oleh sekelompok manusia prasejarah yang mempunyai karakter budaya pre-neolitik. Karakter budaya ini dicirikan dengan suatu proses hunian manusia yang berkonteks dengan teknologi pre-neolitik sampai dengan perundagian. Manusia pendukung budaya ini mengembangkan teknologi pembuatan alat batu non-masif (alat serpih, bilah, serut, dan lancipan) dan alat tulang, yang bercampur dengan sisa-sisa model subsistensi mereka yang berupa moluska air tawar, sebagai salah satu sumber makanan pokok mereka. Suatu model kehidupan prasejarah yang umum ditemukan dalam komunitas hunian gua adalah pengumpulan moluska air tawar yang ditunjang oleh perburuan binatang kecil. Sementara itu, komponen gerabah dan alat-alat pembuatnya seperti batu pelandas dan batu giling menunjukkan karakter budaya tersendiri. Berdasarkan analisis terhadap teknik pembuatan dan penghiasan serta jenis hiasan yang diterapkan menunjukkan pada teknik pembuatan hand-made yang dipadukan dengan teknik roda putar lambat. Gabungan teknik hand-made dengan roda putar lambat ini berkembang secara pesat pada akhir periode pre-neolitik dan awal perundagian. Tradisi ini berpangkal pada tradisi gerabah Bau Melayu yang berkembang secara luas di Asia Tenggara, baik di kepulauan maupun di daratan (Widianto dan Handini 2003; 56).Tampaknya budaya prasejarah tidak hanya berkembang di Gunung Batubuli saja, dari survei yang dilakukan Balai Arkeologi Banjarmasin di kawasan karst di Kabupaten Hulu Sungai Selatan didapatkan beberapa situs gua yang kemungkinan besar juga pernah dimanfaatkan sebagai hunian pada masa prasejarah (Wasita dkk 2004). Dan data yang paling baru adalah ditemukannya 3 buah gua hunian prasejarah di kawasan karst di Kecamatan Mentewe, Kabupaten Tanah Bumbu. Lokasi situs Mentewe ini tidak seperti situs Gua Babi dan Gua Tengkorak yang berada dalam satu gunung. Tetapi ketiga situs gua hunian itu terdapat pada gunung karst yang masing-masing berdiri sendiri dan terpisah jarak yang lumayan jauh. Hampir semua situs gua hunian prasejarah terdapat pada gugusan pegunungan atau perbukitan karst di jajaran Pegunungan Meratus.

Untuk diketahui, kehidupan prasejarah diawali pada permukiman terbuka di sepanjang tepian sungai, danau atau laut, yang banyak menyediakan sumber bahan perlatan dan makanan. Dengan model kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana, manusia prasejarah pada saat itu dipaksa untuk selalu bergerak berpindah tempat mengikuti perpindahan kelompok binatang buruan mereka. Tempat terbuka di tepian sungai, danau ataupun pantai merupakan lokasi yang sangat strategis bagi kegiatan berburu yang mereka lakukan. Pemilihan lokasi itu didasari oleh kebutuhan akan sumber air dan sumber bahan batuan untuk pembuatan peralatan batu serta kebutuhan akan sumber makanan yang mencukupi untuk kelompok mereka. Pada perkembangan yang berikutnya, mereka mulai mengenal gua dan ceruk payung sebagai salah satu tempat bernaung atau beristirahat yang nyaman, yang kemudian dijadikan sebagai tempat tinggal.Kemudian pada tahapan berikutnya, meskipun masih mempertahankan kegiatan berburu mereka sudah mulai meramu makanan yang berhasil mereka dapatkan dari lingkungan sekitarnya. Peramuan makanan ini dapat terjadi dengan adanya kemampuan untuk membuat api. Dengan kemampuan tersebut, mereka mulai dapat meramu makanan atau mengolahnya menjadi makanan yang lebih baik. Disamping itu, penemuan api ini juga mendasari kemunculan kemampuan untuk membuat wadah dari tanah liat yang dibakar, yang sering disebut tembikar atau gerabah. Sisa-sisa gerabah seperti ini sering kali ditemukan pada situs gua hunian, yang biasanya berasosiasi dengan peralatan batu, peralatan tulang, sampah makanan atau bekas perapian. Bahkan kadang kala juga ditemukan sisa penguburan yang berasal dari ribuan tahun yang lalu. Gambaran seperti ini dapat kita saksikan pada situs Gua Babi, di Kecamatan Muarauya, Kabupaten Tabalong, sementara untuk sisa penguburan ditemukan di Gua Tengkorak, yang juga berada di pegunungan karst yang sama dengan Gua Babi pada sisi lereng yang bertolakbelakang.Tahapan selanjutnya adalah bercocok tanam. Pada masa inilah kepandaian dalam pembuatan alat logam mulai berkembang pesat dan secara cepat menggantikan fungsi peralatan dari batuan dan tulang yang biasanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan berburu sudah tidak lagi menjadi kegiatan utama dalam pemenuhan kebutuhan makanan. Peningkatan kemampuan dan teknologi ini sedikit banyak mendorong tingkat kehidupan ke arah yang lebih baik, yang secara langsung berakibat pada meningkatnya jumlah anggota kelompok secara drastis. Peningkatan jumlah penduduk ini berimbas pada peningkatan jumlah sumber makanan yang mereka perlukan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mereka kemudian mengembangkan model domestikasi tanaman dan binatang, yang lebih baik dalam penyediaan sumber bahan makanan buat mereka. Pengembangan domestikasi tanaman inilah yang kemudian berkembang pesat menjadi model tebang bakar (slash and burn), persawahan kering dan persawahan basah seperti sekarang banyak terdapat di pedesaan di Indonesia.

Berdasarkan keterangan di atas dapatlah dikatakan bahwa jejak-jejak kehidupan prasejarah di Kalimantan Selatan ini memang banyak ditemukan pada gua-gua dan ceruk payung yang terdapat di kawasan karst yang banyak terdapat di sekitar Pegunungan Meratus, dan juga di tepian sungai purba seperti Sungai Riam Kanan yang berhulu di Pegunungan Meratus. Sungai, danau ataupun rawa-rawa yang ada merupakan sumber air yang sangat diperlukan untuk menunjang kelangsungan kehidupan manusia. Semua makhluk hidup tidak dapat hidup tanpa air, dan inilah alasan utama kenapa manusia prasejarah selalu memilih lokasi tempat tinggal atau gua-gua hunian selalu berada di dekat sumber air. Gua-gua yang kering, luas, berudara segar dengan intensitas sinar yang cukup serta yang dekat dengan sumber air, merupakan pilihan manusia prasejarah sebagai tempat tinggal mereka.

Penemuan situs-situs hunian prasejarah baru pada gugusan karst di sekitar Pegunungan Meratus ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa budaya prasejarah itu memang berkembang pesat pada lingkungan karst yang menyediakan banyak gua dan ceruk payung didalamnya. Apa yang sekarang sudah diketahui ini adalah merupakan awal dari proses penelusuran dan pengungkapan misteri kehidupan dan kebudayaan prasejarah yang pernah ada di wilayah Kalimantan Selatan. Masih banyak gugusan karst yang belum dikunjungi dan diketahui potensi budaya prasejarahnya. Yang jelas, keberadaan situs gua hunian prasejarah tersebut mempunyai peran penting dalam penelusuran sejarah kehidupan dan kebudayaan lokal, regional maupun nasional. Situs hunian tersebut paling menunjukkan adanya tempat atau lokasi berkembangnya satu budaya prasejarah tertentu. Secara kawasan, kemungkinan besar masih banyak gugusan karst lain di sekitar Pegunungan Meratus yang menyimpan potensi budaya prasejarah. Kecenderungan ini diperkuat dengan adanya satu hipotesa bahwa perkembangan budaya prasejarah di Kalimantan Selatan ini berasal dari jalur migrasi manusia dan budaya dari Jawa. Hipotesa ini muncul didasari oleh adanya temuan rangka manusia di Gua Tengkorak yang mengarah ke Ras Australomelanesid. Meskipun wilayah Kalimantan Selatan tidak masuk dalam jalur migrasi ras Australomelanesid pada awal Plestosen, tetapi percabangan migrasi tersebut tampaknya telah mampu menjangkau daerah ini dari daerah Indonesia bagian Barat dan Selatan, dengan kemampuan menyeberangi laut yang cukup luas. Untuk diketahui jalur utama migrasi ras Australomelanesid dari Asia Tenggara Daratan adalah melalui Semenanjung Malaysia, Sumatra, Jawa, terus ke timur melalui Bali dan Nusa Tenggara.

D. Penutup
Dari analisis dan pengamatan yang dilakukan pada sekitar 143 buah koleksi prasejarah yang ada di Museum Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan, dapat dijelaskan sebagai berikut:- Keterangan tempat asal artefak koleksi prasejarah yang ada tidak langsung menunjuk situs atau lokasi penemuannya, tetapi pada umumnya merupakan alamat si penyimpan benda sebelum dihibahkan pada Museum. Keterangan asal koleksi akan lebih bermanfaat jika memang menunjuk pada lokasi ditemukannya benda tersebut, misalnya dari sebuah undak sungai, atau gua, sehingga dapat ditelusuri lebih lanjut melalui kegiatan survei dan ekskavasi. Untuk itu pihak Museum Lambung Mangkurat perlu memperbaiki permasalahan pelabelan dan keterangan seputar koleksi artefak prasejarah yang ada.

- Dengan demikian distribusi persebaran budaya prasejarah tidak secara langsung ditunjukkan oleh lokasi asal koleksi yang ada. Dan persebaran budaya prasejarah di wilayah Kalimantan Selatan tetap harus dicari pada kawasan karst di sekitar Pegunungan Meratus yang membujur Utara Selatan.
- Secara umum, hanya beberapa wilayah saja yang bisa direkomendasikan sebagai lokasi yang patut diperhatikan karena memang berada pada kawasan karst yang dimaksud, seperti wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Tapin, Tabalong, Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kotabaru.
- Persebaran situs gua hunian seperti tersebut di atas, menunjukkan adanya perkembangan budaya prasejarah yang masih belum diketahui darimana awalnya? Jika dihubungkan dengan migrasi ras Australomelanesid, kemungkinan besar berasal dari wilayah Jawa sebagai salah satu cabang migrasi yang bergerak menyeberangi laut menuju ke Kalimantan bagian Selatan. Sementara itu, data yang menjelaskan adanya hubungan antara Pegunungan Meratus dengan Pegunungan Rembang tampaknya masih belum diketahui sampai tulisan ini dibuat.

Daftar Pustaka
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Wasita, Hartatik, dan Gunadi. 2004. Penelitian Eksploratif Gua-gua Prasejarah di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian Arkeologi. Banjarbaru : Balai Arkeologi Banjarmasin. Belum diterbitkan.
Kosasih, E.A. dan Bagyo Prasetyo. 1995/1996. Survei Gua-gua Prasejarah Di Pegunungan Muller, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Laporan Penelitian Arkeologi. Banjarmasin : Balai Arkeologi Banjarmasin. Belum diterbitkan.
Nasrudin. 2003. Potensi Situs Gua-Gua Hunian dan Temuan Tanda Tangan Prasejarah di Kawasan Pegunungan Marang, Kalimantan Timur. Laporan Penelitian Arkeologi KerjasamaPenelitian Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional dan CREDO-CNRS, Maison Asie-Pasifique, Marseille France. Belum diterbitkan.
Sugiyanto, Bambang. 2001. Penelitian Gua Prasejarah di Kecamatan Muarauya, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian Arkeologi. Banjarbaru : Balai Arkeologi Banjarmasin. Belum diterbitkan.
Sugiyanto, Bambang dan Wasita. 2002. Laporan Analisis Koleksi Prasejarah Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Belum diterbitkan.
Widianto, Harry, Truman Simanjuntak, dan Budianto Toha 1997. Ekskavasi Situs Gua Babi, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan. Berita Penelitian Arkeologi No. 01. Banjarmasin : Balai Arkeologi Banjarmasin.
Widianto, Harry dan Retno Handini 2003. Karakter Budaya Prasejarah Di Kawasan Gunung Batubuli, Kalimantan Selatan: Mekanisme Hunian Gua Pasca-Plestosen. Berita Penelitian Arkeologi No. 12. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin.

[FIB UGM1]Tulisan ini kurang jelas fokusnya bagi pembaca. Apakah terfokus pada koleksi Mus. Lambung Mangkurat dan permasalahan akibat tidak lengkapnya catatan museum (seperti tertulis pada abstrak dan sebagian isi penutup), ataukah pada masalah lokasi penemuan artefak prasejarah (seperti judulnya dan sebagian lain isi penutup)?
Uraian seringkali tidak runtut, terutama dalam menjelaskan hasil penelitian arkeologi di satu pihak dan koleksi museum di pihak lain. Bila fokus pertama yang dipilih, mungkin urutannya dapat dimulai dengan menjelaskan hasil penelitian arkeologi dulu, baru tentang tempat penyimpanan temuan setelah penelitian selesai. Lebih lanjut dapat dijelaskan tentang kelemahan registrasi , pencatatan, atau inventarisasi temuan yang menimbulkan masalah bagi kajian berikutnya, terutama yang dasarnya hanya koleksi museum.

[A2]asal

[A3]delete

[FIB UGM4]Temuan budaya atau artefak prasejarah

[FIB UGM5]Artefak lithik

[FIB UGM6]Utuh?

[FIB UGM7]Saran, karena tingkat kerapuhan masing-masing bahan berbeda bisa ditambahkan: terutama bila tidak memiliki kandungan kimia tertentu yang membuatnya awet. Kondisi tanah tertentu, misalnya asam, juga makin membuat bahan-bahan organik tersebut mudah lapuk dan hancur.

[FIB UGM8]Awali dengan: Dalam kondisi demikian artefak dari bahan organik

[FIB UGM9]Alinea 1 dan 2 putus. Kalimat di awal alinea 2 ini juga tidak nyambung dengan kalimat-kalimat berikutnya yang terfokus pada hasil penelitian arkeologi, bukan koleksi museum. Lebih baik dihapus.

[FIB UGM10]delete

[FIB UGM11]sisipkan: yang ditemukan

[FIB UGM12]sedangkan

[FIB UGM13]Alternatif judul: Temuan Prasejarah Koleksi Museum Lambung Mangkurat

[FIB UGM14]Judul ini sama dengan judul sub C, demikian pula dengan uraian isinya. Saran: isi sub B dan C digabung, kecuali yang berkaitan dengan koleksi Mus Lambung Mangkurat.

No comments: