Sunday, January 13, 2008

ARTEFAK PRASEJARAH DI KALIMANTAN SELATAN: KAJIAN PERSEBARAN DAN PERMASALAHANNYA [FIB UGM1] Revisi 1
Bambang Sugiyanto

Abstrak
Koleksi artefak prasejarah yang ada di Museum Lambung Mangkurat, dapat dipergunakan sebagai data untuk membahas persebaran dan perkembangan budaya prasejarah di wilayah Kalimantan Selatan. Data tentang keterangan tempat atau lokasi asal[A2] arrtefak ditemukan dapat dijadikan dasar untuk menentukan langkah penelitian selanjutnya. Namun, tidak semua keterangan tempat [A3] merupakan tempat artefak itu ditemukan, sehingga perlu dipertanyakan lagi asal artefak tersebut. Aspek ruang, waktu, dan bentuk sangat penting dalam pengamatan dan analisis artefak prasejarah. Dalam hal ini, Koleksi artefak prasejarah Museum Lambung Mangkurat hanya memiliki aspek bentuk saja.

Prehistory artefak colecction in Lambung Mangkurat Museum can to use as data to study of prehistory culture distribution and development in South Kalimantan province. Data abaut place identification or sites where the artefak founded can be use base of to ascertain mereover research step. In spite of, not all that identification place to represent place where artefact founded, so that need to ask where found the artefact mentioned. Space, time, and form aspect very important in inspection and analizise prehistory artefact. This case inside, prehistory artefact collection Lambung Mangkurat Museum only have of form aspect.

Kata Kunci : Persebaran, budaya prasejarah, Kalimantan Selatan.

A. Pendahuluan
Artefak prasejarah [FIB UGM4] yang sering ditemukan baik dalam penelitian maupun yang ditemukan secara tidak sengaja oleh sebagian penduduk pada umumnya berupa peralatan yang terbuat dari bahan batuan. Artefak dari bahan batuan (artefak lithik[FIB UGM5] ) ini memang dikenal mempunyai ketahanan yang cukup bagus sesuai dengan bahannya, sehingga sebagian besar masih [FIB UGM6] utuh pada saat ditemukan. Sementara untuk artefak prasejarah lainnya yang terbuat dari bahan tulang, bambu, kayu atau pun tanduk, pada umumnya tidak mempunyai ketahanan fisik yang bagus[FIB UGM7] , terutama bila tidak memiliki kandungan tertentu yang membuatnya awet. Kondisi tanah tertentu, misalnya asam juga makin membuat bahan-bahan organic mudah lapuk dan hancur. Dalam kondisi demikian artefak[FIB UGM8] dari bahan organik seperti itu hanya biasa ditemukan pada kegiatan penelitian ekskavasi arkeologi dengan metode dan cara yang khusus.[FIB UGM9]

Penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Banjarmasin dari tahun 1995 sampai sekarang, memang belum banyak ditemukan situs-situs prasejarah di wilayah Kalimantan Selatan. [FIB UGM10] Sementara ini yang ditemukan baru [FIB UGM11] situs Gua Babi dan Gua Tengkorak yang berada di perbukitan kars Gunung Batubuli di sekitar Desa Randu, Kecamatan Muara Uya, Kabupaten Tabalong. Situs Gua Babi merupakan sebuah situs gua hunian prasejarah yang berasal dari periode budaya Mesolithik, sedangkan [FIB UGM12] situs Gua Tengkorak merupakan sebuah situs gua penguburan pertama di wilayah Kalimantan Selatan yang menyimpan sisa penguburan manusia Australomelanesid (Widianto dan Handini, 1997).Beberapa penelitian survei lain yang dilakukan di wilayah kabupaten lain di Kalimantan Selatan juga menunjukkan adanya indikasi yang kuat akan potensi situs-situs prasejarah, seperti di daerah pegunungan karst di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tanah Bumbu, dan Tanah Laut. Di wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, akhir tahun 2006 berhasil ditemukan 2 buah situs gua prasejarah, yaitu Gua Sugung dan Gua Landung, yang berada di sekitar Desa Mantewe (Km 42). Penemuan 2 situs prasejarah tersebut tampaknya membuka kemungkinan baru tentang kebenaran hipotesa bahwa persebaran manusia prasejarah di Kalimantan Selatan berasal dari arah selatan melalui pegunungan Meratus, yang pada masa yang lalu pernah berhubungan dengan pegunungan Rembang di Jawa.Berdasarkan hipotesa tersebut, beberapa catatan tentang adanya temuan artefak prasejarah di sekitar wilayah Kalimantan Selatan bagian Tenggara menjadi penting artinya dalam pembahasan tersebut. Persebaran temuan artefak prasejarah yang sekarang menjadi koleksi Museum Negeri Lambung Mangkurat Banjarbaru, dapat digunakan sebagai data untuk mengungkapkan kebenaran hipotesa tersebut di atas.

B. Artefak Prasejarah [FIB UGM13] Koleksi Museum Lambung Mangkurat
Sedikitnya terdapat sekitar 143 buah artefak prasejarah yang menjadi koleksi Museum Negeri Lambung Mangkurat Banjarbaru. Secara morfologis, artefak batu koleksi Museum Negeri Lambung Mangkurat dapat dibedakan dalam kapak penetak, kapak perimbas, kapak genggam sederhana, serpih besar, beliung persegi, serta beberapa batu alam yang digunakan manusia atau yang mempunyai bentuk yang unik, beberapa kapak corong, mata tombak, manik-manik batuan dan gerabah, serta setangkup cetakan kapak corong dari batuan. Semua koleksi prasejarah museum Lambung Mangkurat tersebut diatas merupakan temuan permukaan yang ditemukan oleh penduduk setempat pada saat tertentu, seperti: menggarap lahan perkebunan, pembuatan saluran irigasi, pembuatan pondasi rumah dan lain-lain. Sebagai barang temuan di permukaan tanah atau yang terangkat ke atas tanah secara tidak sengaja, yang kemudian dilaporkan atau dihibahkan ke Museum Lambung Mangkurat. Hibah semacam ini biasanya biasanya dilakukan oleh perseorangan atau kelompok yang menyadari arti pentingnya benda tersebut bagi perkembangan dan penelitian kebudayaan lokal maupun nasional.Berdasarkan informasi pada keterangan temuan diketahui bahwa koleksi prasejarah tersebut berasal dari Kabupaten Barito Kuala (4 situs), Kabupaten Banjar (9 situs), Kabupaten Hulu Sungai Tengah (6 situs), Kabupaten Kotabaru (4 situs), Kabupaten Tapin (2 situs), Kabupaten Hulu Sungai Selatan (3 situs), Kotamadya Banjarbaru (2 situs), Kotamadya Banjarmasin (2 situs), Kabupaten Tanah Laut (2 situs), Kabupaten Hulu Sungai Utara (1 situs). Lokasi asal koleksi artefak prasejarah ini tidak langsung mencerminkan sebagai situs prasejarah. Hal ini disebabkan pada umumnya benda koleksi tersebut sudah menjadi barang warisan atau simpanan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, sampai pada saat dihibahkan pada Museum Lambung Mangkurat.

Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat menjelaskan apakah alamat asal koleksi artefak prasejarah yang sekarang disimpan di Museum Lambung Mangkurat merupakan suatu situs atau bukan. Pertama kita melihat lokasi yang ada di Kabupaten Barito Kuala. Menurut keterangan, koleksi artefak prasejarah yang berasal dari Kabupaten Barito Kuala, antara lain berasal dari: Desa Patih Muhur, Kecamatan Anjir Muara; Desa Tamban Muara, Kecamatan Tamban; Desa Tabunganen, Kecamatan Tabunganen Muara; dan Desa Marabahan, Kecamatan Marabahan. Secara geografis keempat desa tersebut terletak di dataran rendah yang bersifat tanah gambut. Pada lokasi yang demikian, pada umumnya koleksi yang ada cenderung berasal dari luar daerah, yang sengaja disimpan atau dibawa ke daerah ini sampai pada akhirnya dihibahkan ke Museum. Dapat dikatakan bahwa pada keempat desa tersebut kecil sekali kemungkinannya benar-benar sebagai lokasi penemuan aslinya. Desa Pati Muhur, Kecamatan Anjir Muara baru-baru ini diketahui sebagai salah satu situs pemukiman lama yang akan diteliti oleh Balai Arkeologi Banjarmasin. Sisa-sisa pemukiman yang berupa tonggak-tonggak kayu ulin yang panjang dan besar masih banyak terdapat didalam tanah. Sementara itu temuan lepas yang didapat dari situs ini adalah 2 buah beliung persegi dan beberapa benda keramik. Tampaknya 2 buah beliung persegi yang berasal dari masa prasejarah ini tetap dipakai secara turun temurun dengan fungsi yang sudah berubah tidak lagi fungsi praktis yang digunakan, tetapi lebih ke fungsi sosial atau ideologi.Sementara itu, dari Kabupaten Banjar dilaporkan ada 8 desa tempat asal koleksi prasejarah, yaitu: Desa Madurejo, Kecamatan Pengaron; Desa Lobang Baru, Kecamatan Pengaron; Desa Sumenep I Madurejo, Kecamatan Pengaron; Desa Simpang III, Kecamatan Matraman; Kecamatan Martapura; Desa Pakutik, Kecamatan Sei Pinang; Desa Kahelaan, Kecamatan Sei Pinang; Desa Tamboja, Kecamatan Aranio; dan Desa Awang Bangkal, Kecamatan Aranio. Kecamatan Pengaron dan Aranio memang berada di sekitar Pegunungan Meratus yang banyak mempunyai gunung dan bukit karst. Pada kawasan inilah biasanya banyak dijumpai adanya gua-gua dan ceruk payung yang cenderung pernah dipergunakan oleh manusia prasejarah ribuan tahun yang lalu. Bahkan temuan prasejarah pertama dari Kalimantan ditemukan pada undak sungai di tepi selatan Sungai Riam Kanan di Awang Bangkal pada tahun 1939 oleh H. Kupper. Alat-alat batu yang ditemukan ini menurut van Heekeren menyerupai alat tipe Hoa binh yang monofasial, yang kemudian pendapat tersebut diubahnya dan menggolongkan alat-alat itu sebagai unsur budaya kapak perimbas. Alat-alat itu dibuat dari kuarsa terdiri dari lima buah bercorak kapak perimbas, dan dua buah alat serpih ( Poesponegoro dan Notosusanto 1993).

Pada tahun 1958, Toer Soetardjo menemukan sebuah alat paleolitik di Awangbangkal. Alat tersebut ditemukan di dasar sungai Riam Kanan, yang mengalir di sebelah Tenggara Martapura. Sungai Riam Kanan ini terletak di sebelah barat barisan pegunungan Meratus. Daerah aliran sungai yang terbentang di sebelah Tenggara Awang Bangkal melintasi susunan lapisan yang berasal dari Pra-Tersier (terutama sekis hornblenda dan batuan basal) dan Tersier (batu-batuan sedimenter dan lapisan-lapisan vulkanik). Penemuan tahun 1958 ini berupa: sebuah kapak perimbas terbuat dari kerakal kuarsa varian jaspis, berbentuk bulat dan berwarna coklat kemerahan. Ukuran alat ini ialah panjang 13 cm, lebar 11,7 cm, tebal 4 cm. Jejak teknologis yang tampak pada alat tersebut adalah pemangkasannya yang dilakukan secara kasar pada satu pinggiran bidang untuk memperoleh bentuk tajaman yang konveks. Alat ini tampak tertutup patina dan terkikis sekali. Bekas-bekas pemakaian (perimping) tampak jelas pada bagian tajaman alat (Poesponegoro dan Notosusanto 1993). Kemudian pada survei tahun 1976 di daerah aliran Sungai Riam Kanan di sekitar tempat penemuan yang lama, tim yang dipimpin D.D. Bintarti berhasil menemukan beberapa buah alat batu. Alat-alat ini dibuat dari kuarsa yang disiapkan secara monofasial dan bentuknya menyerupai kapak perimbas temuan tahun 1958 dengan ukuran yang lebih kecil (Bintarti 1967 dalam Poesponegoro dan Notosusanto 1993). Berdasarkan keterangan di atas, tampaknya kawasan sungai Riam Kanan dan deretan Pegunungan Meratus merupakan daerah yang cukup potensial untuk penelusuran dan penelitian prasejarah. Kawasan tersebut menyimpan misteri sejarah kehidupan manusia prasejarah yang belum terungkap mulai dari tahapan kehidupan di tempat yang terbuka sampai pada kehidupan di gua-gua.

Pada survei berikutnya yang dilakukan pada kawasan karst di Pegunungan Meratus di wilayah kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Tengah, juga berhasil ditemukan jejak-jejak hunian prasejarah pada beberapa gua, seperti: Gua Janggarawi dan Gua Mandala (Kabupaten Hulu Sungai Selatan). Berikutnya pada survei dan ekskavasi yang dilakukan pada kawasan karst di Kabupaten Tanah Bumbu, tepatnya di Kecamatan Mentewe pada akhir tahun 2006, tim penelitian Balai Arkeologi Banjarmasin berhasil menemukan 3 (tiga) buah situs gua hunian prasejarah baru, yaitu: Gua Sugung, Gua Payung, dan Gua Landung. Hasil ekskavasi penjajagan yang dilakukan pada situs Gua Sugung dan Gua Payung menunjukkan bahwa kedua gua tersebut memang pernah dimanfaatkan oleh kelompok manusia prasejarah pada masa yang lalu. Indikasi kehidupan prasejarah itu antara lain tampak dengan ditemukannya ratusan cangkang kerang air tawar dari jenis thiaridae (yang biasa dikenal dengan istilah “katuyung” oleh penduduk setempat), puluhan serpihan batu, sisa tulang binatang, dan fragmen gerabah baik yang polos maupun berhias. Sementara itu, jejak budaya Gua Landung terungkap lewat survei permukaan yang menemukan beberapa serpihan batuan dan sisa cangkang kerang.
Sementara itu, keterangan tempat yang berasal dari Banjarbaru atau Banjarmasin kemungkinan besar adalah alamat peyimpanan artefak terakhir sebelum dihibahkan ke Museum Lambung Mangkurat. Jika kita melihat uraian di atas, tampaknya banyak artefak prasejarah yang masih disimpan atau dipakai oleh masyarakat Banjar atau Dayak dalam kehidupannya sehari-hari. Tentunya benda atau artefak tersebut tidak lagi dipergunakan sesuai dengan fungsi aslinya (fungsi praktis), tetapi sudah bergeser menjadi fungsi sosial atau ideologi tertentu.

Berdasarkan uraian dan pembahasan diatas, dapat dijelaskan bahwa keterangan atau alamat asal koleksi yang ada di Museum lambung Mangkurat pada umumnya adalah mengacu pada alamat si pemilik/penemu/penyimpan artefak prasejarah, bukan alamat situs dimana artefak prasejarah itu ditemukan. Keterangan tempat seperti ini tidak banyak membantu dalam penelitian berikutnya, karena susah untuk mengetahui dimana sebenarnya benda tersebut berasal. Dalam kasus yang demikian, metode arkeologi hanya dapat mengamatinya berdasarkan bentuk dan teknologi pembuatan saja. Keterangan penting lain seputar artefak tersebut, seperti konteks budaya, waktu (meliputi pembuatan, pemakaian, dan pembuangan) dan pendukung budayanya tidak akan dapat diketahui. Oleh karena itu keterangan koleksi haruslah dibuat dengan selengkap-lengkapnya dengan menyertakan alamat situs dimana artefak tersebut ditemukan.

C. Persebaran Budaya Prasejarah di Kalimantan Selatan[FIB UGM14]
Persebaran budaya prasejarah di wilayah Kalimantan Selatan selama ini memang banyak ditemukan di gua-gua di pegunungan atau perbukitan karst di sekitar Pegunungan Meratus. Seperti diketahui, manusia prasejarah pada masa itu telah mengenal dan memanfaatkan gua dan ceruk payung sebagai tempat tinggal sementara. Berdasarkan data arkeologi yang didapatkan dari penelitian ekskavasi di situs Gua babi dan Gua Tengkorak (Kecamatan Muarauya, Kabupaten Tabalong), diketahui bahwa paling tidak sekitar 6.000 tahun yang lalu, Gua Babi telah dipakai oleh sekelompok manusia prasejarah yang mempunyai karakter budaya pre-neolitik. Karakter budaya ini dicirikan dengan suatu proses hunian manusia yang berkonteks dengan teknologi pre-neolitik sampai dengan perundagian. Manusia pendukung budaya ini mengembangkan teknologi pembuatan alat batu non-masif (alat serpih, bilah, serut, dan lancipan) dan alat tulang, yang bercampur dengan sisa-sisa model subsistensi mereka yang berupa moluska air tawar, sebagai salah satu sumber makanan pokok mereka. Suatu model kehidupan prasejarah yang umum ditemukan dalam komunitas hunian gua adalah pengumpulan moluska air tawar yang ditunjang oleh perburuan binatang kecil. Sementara itu, komponen gerabah dan alat-alat pembuatnya seperti batu pelandas dan batu giling menunjukkan karakter budaya tersendiri. Berdasarkan analisis terhadap teknik pembuatan dan penghiasan serta jenis hiasan yang diterapkan menunjukkan pada teknik pembuatan hand-made yang dipadukan dengan teknik roda putar lambat. Gabungan teknik hand-made dengan roda putar lambat ini berkembang secara pesat pada akhir periode pre-neolitik dan awal perundagian. Tradisi ini berpangkal pada tradisi gerabah Bau Melayu yang berkembang secara luas di Asia Tenggara, baik di kepulauan maupun di daratan (Widianto dan Handini 2003; 56).Tampaknya budaya prasejarah tidak hanya berkembang di Gunung Batubuli saja, dari survei yang dilakukan Balai Arkeologi Banjarmasin di kawasan karst di Kabupaten Hulu Sungai Selatan didapatkan beberapa situs gua yang kemungkinan besar juga pernah dimanfaatkan sebagai hunian pada masa prasejarah (Wasita dkk 2004). Dan data yang paling baru adalah ditemukannya 3 buah gua hunian prasejarah di kawasan karst di Kecamatan Mentewe, Kabupaten Tanah Bumbu. Lokasi situs Mentewe ini tidak seperti situs Gua Babi dan Gua Tengkorak yang berada dalam satu gunung. Tetapi ketiga situs gua hunian itu terdapat pada gunung karst yang masing-masing berdiri sendiri dan terpisah jarak yang lumayan jauh. Hampir semua situs gua hunian prasejarah terdapat pada gugusan pegunungan atau perbukitan karst di jajaran Pegunungan Meratus.

Untuk diketahui, kehidupan prasejarah diawali pada permukiman terbuka di sepanjang tepian sungai, danau atau laut, yang banyak menyediakan sumber bahan perlatan dan makanan. Dengan model kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana, manusia prasejarah pada saat itu dipaksa untuk selalu bergerak berpindah tempat mengikuti perpindahan kelompok binatang buruan mereka. Tempat terbuka di tepian sungai, danau ataupun pantai merupakan lokasi yang sangat strategis bagi kegiatan berburu yang mereka lakukan. Pemilihan lokasi itu didasari oleh kebutuhan akan sumber air dan sumber bahan batuan untuk pembuatan peralatan batu serta kebutuhan akan sumber makanan yang mencukupi untuk kelompok mereka. Pada perkembangan yang berikutnya, mereka mulai mengenal gua dan ceruk payung sebagai salah satu tempat bernaung atau beristirahat yang nyaman, yang kemudian dijadikan sebagai tempat tinggal.Kemudian pada tahapan berikutnya, meskipun masih mempertahankan kegiatan berburu mereka sudah mulai meramu makanan yang berhasil mereka dapatkan dari lingkungan sekitarnya. Peramuan makanan ini dapat terjadi dengan adanya kemampuan untuk membuat api. Dengan kemampuan tersebut, mereka mulai dapat meramu makanan atau mengolahnya menjadi makanan yang lebih baik. Disamping itu, penemuan api ini juga mendasari kemunculan kemampuan untuk membuat wadah dari tanah liat yang dibakar, yang sering disebut tembikar atau gerabah. Sisa-sisa gerabah seperti ini sering kali ditemukan pada situs gua hunian, yang biasanya berasosiasi dengan peralatan batu, peralatan tulang, sampah makanan atau bekas perapian. Bahkan kadang kala juga ditemukan sisa penguburan yang berasal dari ribuan tahun yang lalu. Gambaran seperti ini dapat kita saksikan pada situs Gua Babi, di Kecamatan Muarauya, Kabupaten Tabalong, sementara untuk sisa penguburan ditemukan di Gua Tengkorak, yang juga berada di pegunungan karst yang sama dengan Gua Babi pada sisi lereng yang bertolakbelakang.Tahapan selanjutnya adalah bercocok tanam. Pada masa inilah kepandaian dalam pembuatan alat logam mulai berkembang pesat dan secara cepat menggantikan fungsi peralatan dari batuan dan tulang yang biasanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan berburu sudah tidak lagi menjadi kegiatan utama dalam pemenuhan kebutuhan makanan. Peningkatan kemampuan dan teknologi ini sedikit banyak mendorong tingkat kehidupan ke arah yang lebih baik, yang secara langsung berakibat pada meningkatnya jumlah anggota kelompok secara drastis. Peningkatan jumlah penduduk ini berimbas pada peningkatan jumlah sumber makanan yang mereka perlukan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mereka kemudian mengembangkan model domestikasi tanaman dan binatang, yang lebih baik dalam penyediaan sumber bahan makanan buat mereka. Pengembangan domestikasi tanaman inilah yang kemudian berkembang pesat menjadi model tebang bakar (slash and burn), persawahan kering dan persawahan basah seperti sekarang banyak terdapat di pedesaan di Indonesia.

Berdasarkan keterangan di atas dapatlah dikatakan bahwa jejak-jejak kehidupan prasejarah di Kalimantan Selatan ini memang banyak ditemukan pada gua-gua dan ceruk payung yang terdapat di kawasan karst yang banyak terdapat di sekitar Pegunungan Meratus, dan juga di tepian sungai purba seperti Sungai Riam Kanan yang berhulu di Pegunungan Meratus. Sungai, danau ataupun rawa-rawa yang ada merupakan sumber air yang sangat diperlukan untuk menunjang kelangsungan kehidupan manusia. Semua makhluk hidup tidak dapat hidup tanpa air, dan inilah alasan utama kenapa manusia prasejarah selalu memilih lokasi tempat tinggal atau gua-gua hunian selalu berada di dekat sumber air. Gua-gua yang kering, luas, berudara segar dengan intensitas sinar yang cukup serta yang dekat dengan sumber air, merupakan pilihan manusia prasejarah sebagai tempat tinggal mereka.

Penemuan situs-situs hunian prasejarah baru pada gugusan karst di sekitar Pegunungan Meratus ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa budaya prasejarah itu memang berkembang pesat pada lingkungan karst yang menyediakan banyak gua dan ceruk payung didalamnya. Apa yang sekarang sudah diketahui ini adalah merupakan awal dari proses penelusuran dan pengungkapan misteri kehidupan dan kebudayaan prasejarah yang pernah ada di wilayah Kalimantan Selatan. Masih banyak gugusan karst yang belum dikunjungi dan diketahui potensi budaya prasejarahnya. Yang jelas, keberadaan situs gua hunian prasejarah tersebut mempunyai peran penting dalam penelusuran sejarah kehidupan dan kebudayaan lokal, regional maupun nasional. Situs hunian tersebut paling menunjukkan adanya tempat atau lokasi berkembangnya satu budaya prasejarah tertentu. Secara kawasan, kemungkinan besar masih banyak gugusan karst lain di sekitar Pegunungan Meratus yang menyimpan potensi budaya prasejarah. Kecenderungan ini diperkuat dengan adanya satu hipotesa bahwa perkembangan budaya prasejarah di Kalimantan Selatan ini berasal dari jalur migrasi manusia dan budaya dari Jawa. Hipotesa ini muncul didasari oleh adanya temuan rangka manusia di Gua Tengkorak yang mengarah ke Ras Australomelanesid. Meskipun wilayah Kalimantan Selatan tidak masuk dalam jalur migrasi ras Australomelanesid pada awal Plestosen, tetapi percabangan migrasi tersebut tampaknya telah mampu menjangkau daerah ini dari daerah Indonesia bagian Barat dan Selatan, dengan kemampuan menyeberangi laut yang cukup luas. Untuk diketahui jalur utama migrasi ras Australomelanesid dari Asia Tenggara Daratan adalah melalui Semenanjung Malaysia, Sumatra, Jawa, terus ke timur melalui Bali dan Nusa Tenggara.

D. Penutup
Dari analisis dan pengamatan yang dilakukan pada sekitar 143 buah koleksi prasejarah yang ada di Museum Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan, dapat dijelaskan sebagai berikut:- Keterangan tempat asal artefak koleksi prasejarah yang ada tidak langsung menunjuk situs atau lokasi penemuannya, tetapi pada umumnya merupakan alamat si penyimpan benda sebelum dihibahkan pada Museum. Keterangan asal koleksi akan lebih bermanfaat jika memang menunjuk pada lokasi ditemukannya benda tersebut, misalnya dari sebuah undak sungai, atau gua, sehingga dapat ditelusuri lebih lanjut melalui kegiatan survei dan ekskavasi. Untuk itu pihak Museum Lambung Mangkurat perlu memperbaiki permasalahan pelabelan dan keterangan seputar koleksi artefak prasejarah yang ada.

- Dengan demikian distribusi persebaran budaya prasejarah tidak secara langsung ditunjukkan oleh lokasi asal koleksi yang ada. Dan persebaran budaya prasejarah di wilayah Kalimantan Selatan tetap harus dicari pada kawasan karst di sekitar Pegunungan Meratus yang membujur Utara Selatan.
- Secara umum, hanya beberapa wilayah saja yang bisa direkomendasikan sebagai lokasi yang patut diperhatikan karena memang berada pada kawasan karst yang dimaksud, seperti wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Tapin, Tabalong, Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kotabaru.
- Persebaran situs gua hunian seperti tersebut di atas, menunjukkan adanya perkembangan budaya prasejarah yang masih belum diketahui darimana awalnya? Jika dihubungkan dengan migrasi ras Australomelanesid, kemungkinan besar berasal dari wilayah Jawa sebagai salah satu cabang migrasi yang bergerak menyeberangi laut menuju ke Kalimantan bagian Selatan. Sementara itu, data yang menjelaskan adanya hubungan antara Pegunungan Meratus dengan Pegunungan Rembang tampaknya masih belum diketahui sampai tulisan ini dibuat.

Daftar Pustaka
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Wasita, Hartatik, dan Gunadi. 2004. Penelitian Eksploratif Gua-gua Prasejarah di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian Arkeologi. Banjarbaru : Balai Arkeologi Banjarmasin. Belum diterbitkan.
Kosasih, E.A. dan Bagyo Prasetyo. 1995/1996. Survei Gua-gua Prasejarah Di Pegunungan Muller, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Laporan Penelitian Arkeologi. Banjarmasin : Balai Arkeologi Banjarmasin. Belum diterbitkan.
Nasrudin. 2003. Potensi Situs Gua-Gua Hunian dan Temuan Tanda Tangan Prasejarah di Kawasan Pegunungan Marang, Kalimantan Timur. Laporan Penelitian Arkeologi KerjasamaPenelitian Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional dan CREDO-CNRS, Maison Asie-Pasifique, Marseille France. Belum diterbitkan.
Sugiyanto, Bambang. 2001. Penelitian Gua Prasejarah di Kecamatan Muarauya, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian Arkeologi. Banjarbaru : Balai Arkeologi Banjarmasin. Belum diterbitkan.
Sugiyanto, Bambang dan Wasita. 2002. Laporan Analisis Koleksi Prasejarah Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Belum diterbitkan.
Widianto, Harry, Truman Simanjuntak, dan Budianto Toha 1997. Ekskavasi Situs Gua Babi, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan. Berita Penelitian Arkeologi No. 01. Banjarmasin : Balai Arkeologi Banjarmasin.
Widianto, Harry dan Retno Handini 2003. Karakter Budaya Prasejarah Di Kawasan Gunung Batubuli, Kalimantan Selatan: Mekanisme Hunian Gua Pasca-Plestosen. Berita Penelitian Arkeologi No. 12. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin.

[FIB UGM1]Tulisan ini kurang jelas fokusnya bagi pembaca. Apakah terfokus pada koleksi Mus. Lambung Mangkurat dan permasalahan akibat tidak lengkapnya catatan museum (seperti tertulis pada abstrak dan sebagian isi penutup), ataukah pada masalah lokasi penemuan artefak prasejarah (seperti judulnya dan sebagian lain isi penutup)?
Uraian seringkali tidak runtut, terutama dalam menjelaskan hasil penelitian arkeologi di satu pihak dan koleksi museum di pihak lain. Bila fokus pertama yang dipilih, mungkin urutannya dapat dimulai dengan menjelaskan hasil penelitian arkeologi dulu, baru tentang tempat penyimpanan temuan setelah penelitian selesai. Lebih lanjut dapat dijelaskan tentang kelemahan registrasi , pencatatan, atau inventarisasi temuan yang menimbulkan masalah bagi kajian berikutnya, terutama yang dasarnya hanya koleksi museum.

[A2]asal

[A3]delete

[FIB UGM4]Temuan budaya atau artefak prasejarah

[FIB UGM5]Artefak lithik

[FIB UGM6]Utuh?

[FIB UGM7]Saran, karena tingkat kerapuhan masing-masing bahan berbeda bisa ditambahkan: terutama bila tidak memiliki kandungan kimia tertentu yang membuatnya awet. Kondisi tanah tertentu, misalnya asam, juga makin membuat bahan-bahan organik tersebut mudah lapuk dan hancur.

[FIB UGM8]Awali dengan: Dalam kondisi demikian artefak dari bahan organik

[FIB UGM9]Alinea 1 dan 2 putus. Kalimat di awal alinea 2 ini juga tidak nyambung dengan kalimat-kalimat berikutnya yang terfokus pada hasil penelitian arkeologi, bukan koleksi museum. Lebih baik dihapus.

[FIB UGM10]delete

[FIB UGM11]sisipkan: yang ditemukan

[FIB UGM12]sedangkan

[FIB UGM13]Alternatif judul: Temuan Prasejarah Koleksi Museum Lambung Mangkurat

[FIB UGM14]Judul ini sama dengan judul sub C, demikian pula dengan uraian isinya. Saran: isi sub B dan C digabung, kecuali yang berkaitan dengan koleksi Mus Lambung Mangkurat.

Tuesday, January 8, 2008

PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM
SEBAGAI PENDUKUNG BUDAYA DI PEGUNUNGAN MERATUS (Revisi 1)

Andi Nuralang
Balai Arkeologi Banjarmasin

Kata kunci: budaya, rehabilitasi, hutan, lahan, sumberdaya, alam, Meratus, sumber air.

I. Pendahuluan
Pegunungan Meratus membentang dari Kabupaten Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, sampai Kabupaten Tabalong bahkan memasuki wilayah Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Posisinya memanjang utara selatan (Lihat peta).

Peta lokasi Pegunungan Meratus
Pegunungan Meratus memiliki arti penting bagi kehidupan manusia di sekitarnya disebabkan sebagian besar hutan Kalimantan Selatan ada di Meratus, jika hutan Meratus habis maka diperkirakan Kalimantan Selatan akan mengalami krisis hutan. Kondisi kerusakan hutan Indonesia dewasa ini sangat mencemaskan. Oleh karena itu, upaya penyelamatan hutan dan lingkungan serta sumber daya alam menjadi niscaya. Saat ini telah 59 juta hektare kawasan hutan rusak dan kerusakan itu masih terus bertambah dua juta hektare lebih setiap tahun, akibat illegal logging yang merusak ekosistem flora dan fauna. Kerusakan itu tidak hanya mempercepat kepunahan flora dan fauna yang tak dimiliki bangsa lain, tetapi menimbulkan berbagai bencana seperti banjir dan tanah longsor, kesulitan air, perubahan iklim dan kebakaran hutan yang kemudian menimbulkan ekspor asap ke negara tetangga yang cukup memalukan bangsa.
Pemanfaatan sumberdaya alam sebagai pendukung budaya tidak terlepas dari aspek lingkungan alam, manusia dan budaya yang dihasilkannya. Konsep yang biasanya melatarbelakangi hubungan ini adalah adaptasi. Mengingat lingkungan adalah salah satu komponen dalam membentuk budaya masyarakat. Pemanfataan sumberdaya alam oleh manusia dijembatani oleh hasil karya yang dihasilkan (Prijono, 2001). Hal ini dapat ditemukan berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Banjarmasin di kaki Pegunungan Meratus telah ditemukan sisa-sisa aktivitas kehidupan masyarakat purba, temuannya antara lain penggunaan alat batu yang bahannya dari sekitar pegunungan tersebut; penggunaan sungai sebagai sumber kehidupan temuannya berupa cangkang-cangkang molusca yang dijadikan sebagai makanan; penggunaan gua sebagai tempat tinggal dan beraktivitas misalnya penguburan, (Widianto, dkk 1997; Widianto dan Retno Handini 2004; Bambang Sugiyanto, 2006).
Dari sekian banyak suku yang mendiami wilayah tersebut, dapat diketahui berdasarkan sisa-sisa kehidupan yang ditinggalkan di permukaan maupun di dalam tanah. Sisa-sisa kehidupan tersebut berupa artefak maupun lingkungan tempat mereka hidup. Saat ini, Pegunungan Meratus dijadikan sebagai tempat tinggal antara lain bagi Dayak Meratus. Manusia memanfaatkan sumberdaya alam melalui kemampuan teknologi dan pengetahuan yang didorong oleh ketajaman nalurinya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Kemampuan teknologi terwujud pada budaya materi hasil ciptaannya, dapat diketahui berdasarkan penelitian pada Situs Gua Babi sedangkan pengetahuan terwujud dalam tindakan yang berkaitan langsung dengan sumber kehidupan dapat diketahui dari aktivitas yang mendiami wilayah pegunungan tersebut.
Permasalahan timbul ketika manusia ingin menguasai alam melewati batas kemampuannya? Keadaan Pegunungan Meratus dimana aktivitas manusia yang beradab dan santun memelihara alam terusik. Alam tak lagi dihormati seperti hormatnya Dayak Meratus kepada alam tempat mereka hidup. Pandangan orang Dayak terhadap alam, tanah, hutan adalah diibarat rumah, jika rumah rusak maka sebagian kegiatan penghuninya tidak akan berfungsi dengan baik. Misalnya saja, suatu kearifan yang Dayak Meratus terapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari yaitu perladangan dengan siklus rotasi tanaman, dengan menanami kembali lahan bekas ladang dengan tanam-tanaman keras seperti kopi, karet, dan pohon buah-buahan. Juga dengan membiarkan bekas lahan itu menjadi hutan belukar kembali sehingga memperoleh kembali kesuburan dalam kadar yang cukup, kemudian setelah masa daur 4 – 6 tahun barulah digarap kembali. Oleh karena itu perladangan berpindah tidak bisa dikambinghitamkan sebagai penyebab kerusakan hutan dan lingkungan hidup (Radam, 2001; Nuralang, 2005). Jika perambahan hutan dan eksploitasi besar-besaran terjadi di belantara Pegunungan Meratus kemana Dayak Meratus berladang lagi?.

II. Eksploitasi Lingkungan Zaman Dulu
Eksploitasi besar-besaran diduga terjadi pada saat maraknya lalu lintas laut dan sungai yang mengakibatkan Kalimantan terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Pada masa kolonialisme Belanda, di Kalimantan, telah terjadi eksploitasi sumberdaya alam besar-besaran berupa penambangan batubara. Bekas-bekas tambang batubara ditemukan antara lain di Pengaron (Kabupaten Banjar), Semblimbingan (Kabupaten Kotabaru), “Julia Hermina” dan “Delft” (Martapura), Tambang Negara (Palaran, Kabupaten Kutai), di Sanga-sanga, Berau, dan Tarakan. Eksploitasi minyak ditemukan bekas-bekasnya di Sanga-sanga dan Tarakan (Kusmartono dan Nuralang, 2001; Susanto, 2004; dan Susanto, 2005)
Sektor ekonomi rakyat Kalimantan Selatan sejak masa penjajahan Belanda memang tak dapat dipisahkan dari aktivitas pertambangan, khususnya batubara. Oleh karena itu, tidak mustahil aktivitas ini menjadi sumber konflik apabila tidak dikelola dengan baik. Saat ini, bekas-bekas tempat penambangan keadaannya tak lebih dari suatu tempat yang telah rusak, terabaikan. Padahal di sana pernah terjadi sejarah “ekonomi” yang penting. Ekonomi tidak hanya tampil sebagai suatu cara untuk memenuhi kebutuhan, melainkan juga dapat dipandang sebagai suatu strategi. Pergolakan politik di Kalimantan Selatan memberikan keuntungan pihak Belanda khususnya, yang merupakan pengambil kebijakan utama dalam hal ini sektor penambangan batubara, seperti disebutkan dalam kotrak 4 Mei 1926. Hal ini sesuai dengan yang diinginkan oleh pemerintah kolonial.
Graham Irwin menyatakan bahwa dalam persaingan antara Belanda dan Inggris, Inggris mengontrol lautan karena angkutan laut mereka lebih kuat daripada Belanda. Jika terjadi konflik terbuka, Belanda takut persediaan (supply) batubara mereka dari Eropa diputus oleh Inggris. Oleh karena itu, mereka memerlukan tempat-tempat persediaan batubara lokal untuk kapal-kapal api mereka di Kepulauan Indonesia (Graham Irwin 1995; Syamsuddin 1999).
Awal terjadinya eksploitasi batu bara ini adalah ketika seorang insinyur pertambangan H. Von Gaffron melakukan penelitian di daerah pantai bagian selatan diantaranya adalah di Tanah Laut, dan menemukan kandungan Sumber Daya Alam (SDA) berupa batubara, bijih besi, serta tembaga. Hasil penelitian tersebut mengundang perusahaan kapitalis, seperti Fa. Daehne & Co in Den Haag untuk datang di Kalimantan dan membuat konsesi. Pada 25 Februari 1850, pemerintah Belanda membuat konsesi dengan Sultan Banjar. Sejak itu, Sultan Banjar memberikan izin sebebas-bebasnya kepada Belanda untuk mengeksploitasi daerah kekuasaannya masa itu, yang meliputi Kalimantan Timur, Selatan, Tengah dan Barat (yang sekarang). Kemudian dengan adanya penemuan bijih besi di daerah Pleihari dalam wilayah Hindia Belanda, maka presiden pabrik-pabrik di Nederland Handel, Mij W. Poolman, J.C. Rynst dan A. Fraser, pada 23 april 1859 mengadakan survei kolaborasi dengan pemerintah Hindia Belanda dalam rangka mendirikan pabrik-pabrik besi. Sejak itu dimulai pula penggarapan tambang besi di Pleihari, Tanah Laut; tambang intan di Kusan; dan batubara di Asam-asam, Pengaron, Lok Besar di Kalimantan bagian Tenggara. Fasilitas yang dibangun oleh pemerintah Belanda misalnya adalah pembuatan jalan-jalan darat dari Banjarmasin-Hulu Sungai-Balikpapan-Samarinda dan transportasi air, pembuatan sekolah-sekolah, pelayaran, pos-pos, telepon, telegram tersebut yang semuanya hanya untuk prasarana menjamin kelancaran perusahaan-perusahaan dan birokrasi kolonial. (Leirissa, 1983/1984).
Kekayaan Kalimantan Selatan sangat potensial terutama hasil bumi seperti minyak, batu bara, besi, baja, emas dan intan. Sebagian tersimpan di hutan-hutan, sebagian diperkampungan dan daerah pantai. Jenis batu bara yang terdapat di Kalimantan Selatan termasuk jenis yang terbaik, tetapi hal ini ditentukan oleh tempat dimana batu bara itu ditemukan. Hasil tambang yang terbesar dan mendatangkan keuntungan yang besar adalah minyak. Produksi minyak setiap tahun sangat besar untuk daerah ini, terutama yang ditemukan di Tanjung – Tabalong. Juga di sektor kehutanan, Kalimantan Selatan memiliki hutan yang lebat dengan pohon-pohon bila ditebang menjadi sumber penghasilan rakyat setempat. Semua jenis kekayaan alam tersebut, mengundang penanam modal asing untuk mengeksploitasinya.
Di daerah Pelaihari ditemukan biji besi dan tembaga serta emas yang dikerjakan oleh orang-orang Cina dan Melayu Banjar. Mereka banyak menemukan serbuk-serbuk emas. Pertambangan batu bara yang terbanyak dikerjakan oleh rakyat di daerah, antara Martapura dan Pengaron. Pembelinya orang Cina dan orang Banjar sendiri. Tetapi modal orang Banjar kecil, sehingga kalah bersaing dengan pedagang Cina. Batu bara pada waktu itu diperlukan oleh pabrik-pabrik, marien dan eksport.
Penduduk Martapura dan Duku kiri, Duku kanan yang dahulunya merupakan wilayah Sultan banyak yang menanam tebu, padi, kapas, kopi, lada, karet serta mendulang emas dan intan. Mereka juga menebang pohon kayu untuk bangunan rumah, memotong rotan, bambu dan damar. Tetapi penghasilan dan pekerjaan yang mereka lakukan secara turun-temurun adalah mendulang intan. Intan Banjar-Martapura telah lama dikenal dimana-mana. Tempat masyarakat mencari intan ialah Kampung Cempaka, Karang Intan Kampung Cempaka, Awang Bangkal, Mataraman dan Sungai Besar. Di samping pekerjaan mendulang intan masyarakat juga melakukan pekerjaan mendulang emas, tempat masyarakat mencari emas tersebut antara lain di daerah Riam Kanan, Riam Kiwa dan Pleihari. bermacam-macam yang ditemukan seperti emas urai, emas kodok, emas hujung batu dan emas putih ( platina ).
Pada tahun 1826 sewaktu kerajaan Banjar masih berkuasa, intan yang lebih dari 4 krat harus dijual kepada Sultan. Karena Sultan terikat dengan kontrak Pemerintah Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia pada tanggal 29 September 1826 No. 10, maka jika menjual intan yang besarnya 4 krat lebih itu maka harus membayar kepada Gubernement satu per sepuluh (1/10) dari penjualan intan itu. Pekerjaan rakyat setempat dan pendatang dari berbagai daerah, tampaknya masih menggunakan sistem tradisional, mereka menjual intan kepada Haji-haji atau pedagang orang Banjar, jarang sekali mereka menjual kepada orang Cina. Salah satu perdagangan tradisional rakyat Banjar yang tetap bertahan adalah perdagangan intan. Mereka yang berdagang intan umumnya penduduk Martapura dan berlaku turun-temurun. Pedagang intan sering pula menjualnya keluar daerah seperti ke Jawa, Sulawesi, Sumatera, Singapura, Kualalumpur, bahkan sampai ke Benua Eropa.
Industri pertambangan batu bara telah lama berjalan sejak Abad ke-19. Pemerintah Belanda telah membuka tambang batu bara Orange Nassau dan tambang batu bara Banyu Irang. Sebelumnya mereka mengadakan penelitian yang dilakukan oleh seorang Insinyur Pertambangan H. Von Gaffron, ia melakukan penelitian di daerah pantai bagian Selatan dan berhasil menemukan sumber batu bara. Von Gaffron juga mengunjungi daerah Tanah Laut, sasaran pertambangan emas yang dikerjakan oleh seorang Cina dan melayu Banjar, menurut Gubernur Weddik sebagai Gubernur pertama tahun 1844 di Kalimantan, pemerintah Belanda akan mengelola sendiri sumber tambang batubara yang telah ditemukan itu di samping itu ditemukan pula biji besi, tembaga di daerah Pleihari Kalimantan Selatan. Prof. Mulder dari Utricht telah meneliti dalam Laboratorium dan berhasil dalam penelitiannya bahwa biji besi itu adalah 70 % besi murni, Mulder menyebutkan pula bahwa biji besi yang ada di Pleihari itu memiliki kwalitet pertama (Leirissa, op.cit).

III. Eksploitasi Lingkungan Zaman Sekarang
Kegiatan eksploitasi saat ini merupakan kelanjutan eksploitasi dari zaman “hengkangnya” kolonial dari Kalimantan Selatan. Penambangan tersebut makin marak, terutama hasil bumi seperti minyak, batubara, besi, baja dan intan. Daerah penambangan ini berlokasi di hutan-hutan, di daerah perkampungan dan daerah pantai. Aktivitas baik di hutan, di perkampungan maupun di pantai akan berpengaruh banyak terhadap masyarakat sekitarnya. Melalui aktivitas di hutan misalnya akan terjadi pengeksploitasian hutan untuk memasuki daerah tambang dan sungai-sungai yang terdapat di hutan juga akan tercemar jika pengeksploitasian terjadi juga di daerah pantai, hal ini juga akan mengakibatkan pencemaran air laut, baik oleh pengangkutan hasil komoditas maupun hasil oleh aktivitas penambangan. Semua komoditasnya akan dibawa ke daerah lain melalui laut, walaupun ada juga yang melalui daratan sebelum sampai di laut.
Adanya sumberdaya alam tersebut, mestinya akan memberikan tambahan pendapatan yang cukup berarti bagi kesejahteraan masyarakat setempat. Proses distribusi pendapatan itu, bisa dilakukan secara langsung melalui keterlibatan masyarakat setempat sebagai penambang atau secara tidak langsung melalui efek ganda (multiple effect) misalnya dalam kegiatan pemenuhan barang dan jasa. Kegiatan kontrak kerja pertambangan seyogyanya tidak semata-mata mengejar keuntungan melalui keberhasilan berproduksi, tetapi juga harus memperhatikan kewajiban-kewajibannya kepada pemerintah dan masyarakat setempat, sebagaimana tercantum dalam perjanjian kerja, seperti misalnya untuk menunjang pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB), pemeliharaan ketertiban masyarakat (tibmas), pembangunan fasilitas sekolah, rumah sakit (balai pengobatan), jalan desa, mempekerjakan penduduk di perusahaan dan keterkaitan usaha dengan perusahaan yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat (Siahaan, 2007)
Peta penunjukan kawasan hutan dan perairan di Kalimantan Selatan. Sesuai SK Menteri Perhutanan No. 453/Kpts-II/1999, total kawasan hutan lindung di Kalimantan Selatan seluas 564.139 hektare. Luasan tersebut memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan. (Bpost Selasa 25 April 2006 hal 12).
Sebanyak 229 Kuasa Pertambangan (KP) secara terang-terangan merusak 87.411 hektare hutan lindung Meratus. Padahal pemegang KP tidak mendapatkan izin pinjam pakai. Penambang juga menggarap 397.770 hektare hutan produksi di daerah tangkapan air tersebut. Data Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan memperlihatkan pula setidaknya ada enam kabupaten, yang hutan lindungnya, dikapling pengusaha pertambangan. Paling banyak di Kabupaten Tabalong padahal Situs Gua Prasejarah yang potensial adalah di kabupaten tersebut.
Pengembalian keasrian kawasan Pegunungan Meratus tidak bisa ditunda lagi jika ingin menyelamatkan masyarakat Kalimantan Selatan dari bencana alam dan keterpurukan dalam kemiskinan. Fakta bencana alam, baik bandang, longsor hingga kekeringan yang melanda sejumlah daerah di Tanah Air saat ini merupakan akibat kerusakan lingkungan hutan di pegunungan. Akibat penambangan dan penebangan liar di kawasan ini, tercatat 3.147.464.578 hektare dalam kondisi kritis. Luas lahan yang demikian ini menunjukkan pertambahan terus menerus, sehingga mengancam kelestarian lingkungan hidup di Kalimantan Selatan. Pemerintahpun segera meluncurkan program rehabilitasi untuk mengantisipasi kian parahnya lingkungan berikut dampak yang dialami masyarakat Kalimantan Selatan. Diantaranya dicanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Di Kalimantan Selatan, gerakan ini menargetkan 349.912 hektare dari 3 juta hektare lahan rehabilitasi di Indonesia. Apalagi secara hukum, penambangan dan penebangan kayu tidak sesuai peruntukkan sehingga harus dihentikan.
Kondisi kerusakan hutan Indonesia dewasa ini sangat mencemaskan. Oleh karena itu, upaya penyelamatan hutan dan lingkungan serta sumber daya alam menjadi niscaya. Saat ini telah 59 juta hektare kawasan hutan rusak dan kerusakan itu masih terus bertambah dua juta hektare lebih setiap tahun, akibat illegal logging yang merusak ekosistem flora dan fauna. Kerusakan itu tidak hanya mempercepat kepunahan flora dan fauna yang tak dimiliki bangsa lain, tetapi menimbulkan berbagai bencana seperti banjir dan tanah longsor, kesulitan air, perubahan iklim dan kebakaran hutan yang kemudian menimbulkan ekspor asap ke negara tetangga yang cukup memalukan bangsa.
Kondisi ekosistem di pegunungan Meratus saat ini, banyak ditemukan lubang-lubang tambang yang tidak reklamasi. Areal hutan alam di Kalimantan Selatan tinggal 4.175.414 hektare, sebagian besar di kawasan Meratus. Pegunungan Meratus harus dipertahankan. Semua pihak harus menghentikan segala bentuk kegiatan penambangan dan penebangan hutan, terutama di kawasan yang dilindungi. Pemerintah harus menjamin tidak ada lagi alih fungsi lahan konservasi untuk kegiatan lainnya. Kemana Dayak Meratus di”eksodus”? jika lahan hidupnya sudah hancur?.
Dikhawatirkan rencana PT Krakatau Steel, pengolah bijih besi justru memperparah lingkungan Kalimantan Selatan. Potensi bijih besi di Meratus memang sangat besar. Jika dieksploitasi, Kalimantan Selatan akan menghadapi masalah besar karena merusak kawasan sumber air utama bagi masyarakat Kalimantan Selatan. Mendukung program penyelamatan lingkungan, Departem Kehutanan menyetop 107 pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dari kawasan konsesi. PT Kayu Lapis Indonesia adalah satu diantara banyak pemegang saham HPH yang sudah dibidik. Laju deforestasi Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Setidaknya deforestasi menimpa 1,9 juta hektare dalam 5 tahun terakhir sejak 2000-2005. melihat fakta itu, Departemen Kehutanan berencana melakukan audit total terhadap pemegang HPH. Itu sebabnya revisi Perda tentang tata ruang Kalimantan Selatan dipastikan Meratus diberi ruang khusus demi menjaga kelestariannya (Bpost, Senin, 24 April 2006 hal. 1).
Keinginan untuk ekspansi mendirikan pabrik baja di Kalimantan Selatan, setelah di Cilegon (Krakatau Steel), tampaknya cukup beralasan. Pasalnya, potensi bijih besi di wilayah Kalimantan Selatan sangat menjanjikan yakni mencapai 50 miliar ton lebih. Berdasarkan data Seksi pengembangan Geologi dan Sumber Daya Mineral Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Selatan tahun 2002, potensi bijih besi yang tersebar di 15 lokasi pada empat kabupaten yakni Tanah Bumbu, Kotabaru, Tanah Laut dan Balangan. Data tersebut belum termasuk yang di Tabalong. Padahal kegiatan eksplorasi di kawasan tersebut telah ada. Dari empat kabupaten itu, Tanah Bumbu memiliki potensi terbesar. Setidaknya ada 100 juta ton sumberdaya bijih besi berkadar sampai 44 persen.
Potensi terbesar berikutnya ada di Kabupaten Kotabaru, terekam data ada 86.120.700 ton besi-besi berkadar 46,76 persen. Bahan baku baja ini ditemukan di Pulau Sebuku. Sementara, daerah yang memiliki potensi lokasi sebaran bijih besi terbanyak adalah di Kabupaten Tanah Laut. Di kabupaten ini, potensi tambang bijih besi terdapat di 11 titik yang membentang diantara daerah Tanjung (12 kilometer timur laut ibukota kabupaten, Pleihari), Gunung Batu Kora (10 kilometer timur laut Pleihari), Jajakan, Saranggalang, Takisung, Gunung Tembaga, Gunung Melati, Koratain Riam Pinang, Gunung Ulin, dan Desa Panggung di Pleihari. Jika ditotal keseluruhan potensi disana ada 3.579.200 ton. Dari segi kualitas, bijih besi di Tanah Laut merupakan yang terbaik dibanding daerah lainnya. Kadarnya lumayan tinggi yakni antara 58 persen hingga 62 persen, saat ini penambangan bijih besi di daerah tersebut telah dilakukan. Sementara di daerah Balangan ada dua daerah berpotensi sumberdaya bijih besi. Di kawasan Gunung Tanalang dan Batu Berani terdapat kandungan sekitar 4,64 juta ton bijih besi.(Bpost, Rabu, 5 April 2006 hal 12.).

Pertambangan di Hutan Lindung:

Kabupaten

KP
Luas hutan lindung
Izin Pinjam Pakai
Tabalong
10
42.821 ha
1) PT Arutmin di Kotabaru izin PKP2B oleh pusat
2) PT Jorong Barutama Grestone
Kotabaru
72
31.143 ha
Tanah Bumbu
118
9.485 ha
Banjar
12
3.322 ha
Tapin
12
1.040 ha
HSS
5
139 ha
Jumlah
229
226.811 ha
Kuasa Pertambangan:

No

Jenis izin
Jumlah
Lokasi
1
Kontrak Karya (KK)
2
Banjarbaru, Banjar, Tala, Kotabaru
2
Perjanjian Penguasaan
23
Kotabaru, Tala, Tabalong, Tapin, Pertambangan Batubara HSS, HST, Balangan, Tanbu (PKP2B)
3
KP Non Batu bara
17
Tanbu, Tabalong, Kotabaru, Tala, (Termasuk bijih besi) HSU, Banjar.
4
KP eksplorasi non bara
2
Banjar, Tanbu, Tabalong, Kotabaru
5
KP eksploitasi bara
94
Tapin, Tanbu. Banjar, Kotabaru, Tala, Tabalong
6
KP eksplorasi
154
Tapin, Tanbu, Banjar, Kotabaru, Tala, Tabalong
7
KP penyelidikan umum
10
Tapin, Tanbu, Banjar, Kotabaru, Tala dan Tabalong
Sumber: Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan

Pegunungan Meratus merupakan kawasan alami yang tersisa di Propinsi Kalimantan Selatan. Kawasan ini seperti pegunungan lainnya, termasuk ekosistem yang ringkih (fragile ecosystem) alias lingkungan yang sangat sensitif akan kerusakan. Namun pada kenyataannya kerusakannya sudah ada di depan mata. Penambangan dan perambahan lahan di hutan Meratus sudah bukan rahasia lagi. Data di Dinas Kehutanan cukup mencengangkan, hutan lindung yang seyogyanya tidak boleh dirambah justru telah dirusak oleh kuasa pertambangan (KP) yang kerjaannya mengeruk kekayaan alam Kalimantan Selatan kendati tidak mengantongi izin pinjam pakai (Bpost Selasa 25 April 2006). Padahal, kawasan Meratus apalagi hutannya sangat berperan untuk menjamin stabilitas iklim, tidak hanya tingkat lokal, tapi juga nasional, bahkan internasional.
Provinsi Kalimantan Selatan yang luasnya 37.530 kilometer persegi tidak lagi memiliki hutan alam tropis basah dataran rendah yang berarti karena hutannya terus dieksploitasi sejak tahun 1968. saat ini hutan alam yang tergolong cukup baik hanya di beberapa bagian Pegunungan Meratus. Namun, hutan tersebutpun tampaknya rawan eksploitasi, berubah menjadi kawasan tambang. Jika hutan di Meratus ini tak terselamatkan, Kalimantan Selatan menjadi provinsi pertama di Kalimantan yang kehabisan hutan alam. Hutan Kalimantan Selatan paling cepat habis dibandingkan dengan hutan di tiga provinsi lainnya di Kalimantan. Penyebabnya, sejak dimulai investasi penanaman modal dalam negeri tahun 1968, pendidrian industri kayu dengan kewajiban memiliki hak pengusahaan hutan (HPH) terkonsentrasi di Kalimantan Selatan. Provinsi ini jadi pilihan karena infrastrukturnya memadai dan jalur angkutan lautnya paling ramai.
Sampai tahun 2005 di Kalimantan Selatan ada 129 industri kayu, terdiri dari 14 industri kayu, terdiri dari 14 industri kayu lapis, tujuh Veneer (produk dari lapisan kayu halus), dan 108 kilang penggergajian kayu (sawmill). Industri tersebut memerlukan bahan baku empat juta meter kubik kayu per tahun. Sementara itu, jatah tebang hutan produksi Kalimantan Selatan hanya 66.000 meter kubik dan realisasinya 46.000 meter kubik pertahun. Hutan tanaman industri (HTI) menyumbang bahan baku sekitar 516.000 meter kubik pertahun. Artinya 85 persen bahan baku kayu didatangkan dari luar, seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Maluku dan Irian Jaya. Kondisi inilah yang menyebabkan banyak industri kayu bangkrut. Sejauh ini tiga industri kayu lapis pailit dan hampir semua industri kayu lapis lainnya mengurangi karyawan dan hanya beroperasi 30-40 persen dari perusahaan yang ada.. Industri tersebut hanya beroperasi jika ada bahan baku (Bpost, Senin, 8 Mei 2006 hal. 22).
Nilai berharga hutan Meratus bagi para pekerja lingkungan, terletak pada kekayaan flora dan fauna serta lingkungannya. Eksploitasi diyakini akan menghancurkan kekayaan alamnya. Pada saat bersamaan, dari sisi bisnis, hutan Meratus adalah aset berharga yang sangat menggiurkan. Milliaran hingga triliunan rupiah berpotensi didulang, tentu dengan investasi yang tidak kecil pula. Melihat potensi alam dan budayanya, salah satu program pemberdayaan masyarakat hutan yang dinilai cocok adalah ekowisata atau hasil hutan non kayu.

IV. Dampak Eksploitasi
Setiap aktivitas selalu mempunyai dampak, baik negatif maupun positif. Dampak yang paling berpengaruh adalah terhadap kesehatan dan kondisi sosial budaya. Dampak negatif terhadap kesehatan adalah adanya pencemaran air laut dan sungai; pencemaran udara, dan debu yang beterbangan yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ataupun pencemaran tanah. Hal ini akan mengakibatkan rusak dan hilangnya kesuburan tanah serta perubahan kualitas tumbuhan yang dapat menghasikan zat-zat hijau daun. Dampak positif yang dapat dipetik untuk kesehatan misalnya adalah terciptanya fasilitas air bersih di jalan-jalan menuju daerah-daerah Hulu Sungai, Kalimantan Selatan serta fasilitas puskesmas untuk berobat secara gratis.
Dampak yang muncul berkenaan dengan masalah-masalah sosial-budaya pun dapat dibedakan menjadi dampak negatif dan positif. Dampak negatifnya adalah adanya penjualan lahan pertanian masyarakat yang terkena proyek, yang mengakibatkan lahan untuk pertanian berkurang, sehingga kesejahteraan masyarakat tidak dapat meningkat. Dampak lain adalah terjadinya penambangan ilegal[1] yang sampai saat ini belum dapat diberantas secara tuntas.
Penambangan ilegal seperti inilah yang tidak menerapkan analisis dampak lingkungan dalam aktivitas penambangannya, baik sesudah mereka tinggalkan maupun pada saat proyek akan dilaksanakan. Contoh kasus penambangan ilegal adalah yang terjadi di Semblimbingan (Kabupaten Kotabaru). Jauh hari setelah batubara di daerah tersebut dieksploitasi Belanda dan kemudian ditinggalkan, menurut informasi masyarakat setempat tersebut terjadi lagi aktivitas penambangan di tempat tersebut. Namun, eksploitasi dilakukan secara ilegal dan hasilnya adalah rusaknya situs arkeologi (Kusmartono dan Nuralang, 2001).
Dampak positif terhadap kondisi sosial-budaya masyarakat sekitar adalah banyaknya individu yang berpindah mata pencaharian dari bertani menjadi buruh proyek, sehingga: 1) kesejahteraannya meningkat; 2) mendapatkan fasilitas pendidikan gratis untuk persiapan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi anak-anak mereka; 3) menghasilkan devisa bagi negara; dan 4) menciptakan manfaat langsung bagi masyarakat yang ada di sekitar lahan proyek.




Foto 01. Kondisi Penambangan Batubara


Foto 02. Kondisi Penambangan Batubara

Foto 03. Kondisi Penambangan Bijih Besi di sebuku, Pulau Laut

Akibat lemahnya pengawasan baik karena sistem maupun sumber daya manusia, kerusakan lingkungan tetap terjadi akibat proyek pembangunan sekalipun lolos uji Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) (lihat foto 01, 02, 03 dan 04). Bukan rahasia lagi, AMDAL terdegradasi menjadi formalitas perizinan berkonsekuensi biaya, bahkan seolah-olah menghambat investasi. Kondisi pelaksanaan AMDAL saat ini dinilai masih banyak menimbulkan persoalan sejak proses hingga hasil akhir di lapangan. Proses dinilai berbelit-belit dan melibatkan uang sogokan, sedangkan penerapan di lapangan jauh dari harapan. Pada masa lalu hal seperti di atas sudah pernah terjadi pada suku Indian sehingga suku tersebut meramalkan bahwa akan datang suatu masa ketika bumi sekarat akibat ulah manusia dan Juga sebab turunnya ayat Al-Qur’an ( Qur’an : S. Al-Baqarah ; ayat : 11).
Dan apabila dikatakan kepada mereka janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi mereka menjawab sesungguhnya kami hanya mengadakan perbaikan.

Foto 04. Kerusakan Lingkungan

Merencanakan pembangunan harus memahami karakteristik masyarakat dimana program pembangunan tersebut menyentuh batas-batas budaya suatu masyarakat. Bercermin pada fenomena tersebut, perlu kiranya disusun program pembangunan yang betul-betul menyentuh aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk menuangkan segala aspirasi dan kebutuhan mendesak, kemudian mendiskusikan secara musyawarah mufakat akan menjamin keberhasilan pembangunan. Dengan melibatkan partisipasi masyarakat sebagai sasaran pembangunan (Keraf, 2006), maka masyarakat tidak merasa di “eksodus” di daerahnya sendiri. Realitas yang terjadi di masyarakat Indonesia menjadi bukti bahwa ketika suatu pembangunan terjadi, lahan diambilalih masyarakatnya terusik ke pinggiran. Masyarakat dan pemerintah masing-masing mempunyai peran.
Pemberdayaan masyarakat adalah untuk medelegasikan sebagian otoritas pembangunan artinya melibatkan masyarakat dan tidak mengesampingkan perannya. Rencana pembangunan pabrik baja diharapkan tidak meninggalkan masalah baru bagi lingkungan di Pegunungan Meratus masalahnya menara air Kalimantan Selatan ada di Pegunungan Meratus. Kalau Meratus sampai gundul bencana akan melanda Kalimantan Selatan. Jalan terbaik jika hutan produksi dan hutan lindungnya tidak disewakan dan dimanfaatkan untuk perorangan atau sekelompok orang lagi.
Kemana Dayak Meratus akan melanjutkan budaya bertanamnya ketika lahannya tidak ada lagi ? masyarakat dayak identik dengan praktek perladangan berpindah[2]. Kondisi fisik lahan yang dikelilingi kawasan hutan alam tropis, faktor demografis penduduk yang terus bertambah, tingkat kesuburan lahan, kelimpahan potensi sumber daya hutan serta sistem sosial budaya masyarakat setempat telah menjadikan sistem pertanian ladang berpindah merupakan mata pencaharian utama masyarakat sejak beberapa generasi. Selain mampu memenuhi kebutuhan ekonomis, praktek perladangan berpindah juga terbukti mampu mewujudkan harmonisasi hubungan antar komunitas. Namun yang paling penting, praktek perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat selama beberapa generasi terbukti mampu mewujudkan kelestarian fungsi ekonomi hutan tanpa mengabaikan peran lingkungan maupun keberlanjutan peran sosial budaya sumberdaya hutan.
Persoalannya, praktek pertanian ladang mengalami distorsi konseptual yang berdampak sangat negatif terhadap eksistensi dan kelangsungannya. Salah satu distorsi persepsi tentang praktek pertanian ladang berpindah adalah stigma yang menyatakan bahwa praktek pertanian tradisional ini merupakan salah satu sumber kerusakan lingkungan. Dalam kamus komunitas modern dinyatakan bahwa ladang berpindah adalah sebuah bentuk praktek pengelolaan lahan yang konon tidak ekonomis dan tidak akrab lingkungan. Berarti perladangan yang sesungguhnya merupakan sebuah sistem yang demikian adaptif terhadap lingkungannya, mengalami pergeseran. Perladangan yang sarat dengan kearifan kini tergerus oleh berbagai perubahan yang-sebagian diantaranya- dilakukan secara sistematis.
Tidak mengherankan apabila dalam perjalanan waktu untuk mempertahankan eksistensi dan segenap kearifan, sistem pertanian ladang terus mengalami tantangan dan hambatan. Terdapat tiga persoalan pokok yang tidak memihak eksistensi sistem perladangan, yaitu 1) tekanan penduduk, 2) hilangnya kesuburan lahan, dan 3) kebijakan pemerintah yang tidak memihak. Menghadapi tekanan penduduk dan tingkat kesuburan tanah yang makin menurun, kearifan masyarakat diyakini akan mampu mengakomodasikannya, namun menghadapi kebijakan yang tidak memihak, terbukti masyarakat tidak berdaya menghadapinya (Nugraha, 2005).
Untuk menjembatani masalah eksploitasi yang tak terkendali saat ini, sebaiknya dilakukan langkah-langkah konkrit dengan penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang harus betul-betul mendapat pengawasan, baik dari pemerintah, masyarakat maupun pemegang proyek tersebut. Semua kebijakan untuk kelestarian sumberdaya alam dan sumberdaya budaya tergantung pada masyarakat, dan pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan akan dimintai pertanggungjawabannya, apabila hal ini terabaikan, maka akan dianggap sebagai pemerintah yang tidak mempunyai sense of responsibility terhadap sumberdaya tersebut. Pengelolaan yang paling cocok yaitu, melalui strategi ramah lingkungan. Oleh karena itu, hubungan timbal-balik antara pembangunan dengan lingkungan, lingkungan dengan sosial-budaya, dan sosial-budaya dengan pembangunan. Kurangnya informasi dan kerjasama dengan masyarakat mengakibatkan pembangunan kurang berwawasan lingkungan dan mengenai pentingnya warisan budaya bagi perkembangan bangsa. Konflik perbedaan kepentingan terjadi akibat ketidaksamaan persepsi dalam wawasan, atau dalam memberikan arti dan makna bagi benda cagar budaya dan lingkungannya. Suatu hal yang menjadi keprihatinan kita sampai sekarang adalah masih kurangnya pemahaman dan penghargaan masyarakat terhadap nilai-nilai warisan budaya bangsa. Pemanfaatan sumber daya alam (SDA) dapat dilakukan terbatas, tidak melebihi batas yang dibutuhkan, dan tetap berjalan pada aturan yang ditetapkan yaitu, pengelolaan lingkungan yang berbasis alam. Hilangnya sumberdaya alam dan lingkungannya otomatis akan menghilangkan sumberdaya budaya manusia pendukungnya.

V. Penutup dan Rekomendasi
Pengembangan dan pembinaan kebudayaan nasional bangsa Indonesia tidak dapat berjalan lancar tanpa adanya keseimbangan dalam wawasan. Kondisi di lapangan terjadinya kerusakan dan ketidakseimbangan ekosistem alam, lingkungan dan nilai budaya disebabkan ketidaksamaan persepsi dalam wawasan. Suatu hal yang menjadi keprihatinan kita sampai sekarang adalah masih kurangnya pemahaman dan penghargaan masyarakat akan hilang seiring dengan hilangnya lingkungan mereka hidup. Masalahnya yang belum tuntas sampai kini bagaimana menyamakan persepsi bagi pemilik kepentingan. Salah satu langkah nyata yaitu meningkatkan pengetahuan dan penyadaran tentang pentingnya budaya, nilai budaya dan lingkungannya bagi berlangsung suatu komunitas. ini semua adalah tugas bersama bagi instansi terkait, pemerintah, masyarakat dan seluruh komponen masyarakat. Keberhasilan pembangunan berkelanjutan memerlukan suatu sinergi positif antara tiga kekuatan utama, yaitu: 1). Negara (pemerintah) dengan kekuatan politiknya, sektor swasta dengan kekuatan ekonominya, dan masyarakat dengan kekuatan moralnya.

Tulisan ini menghasilkan rekomendasi:
a) Selamatkan hutan dan sumber daya alam lainnya sekarang juga. kondisi kerusakan hutan Indonesia dewasa ini sangat mencemaskan. Oleh karena itu, upaya menyelamatkan hutan dan lingkungan serta sumber daya alam menjadi niscaya. Saat ini telah 59 juta hektare kawasan hutan negeri ini rusak dan kerusakan itu masih terus bertambah 2 juta hektare lebih setiap tahun, akibat illegal loging yang merusak ekosistem flora dan fauna. Kerusakan itu tidak hanya mempercepat kepunahan flora dan fauna yang tidak dimiliki bangsa lain, tetapi menimbulkan berbagai bencana seperti banjir dan tanah longsor, kesulitan air, perubahan iklim dan kebakaran hutan yang kemudian menimbulkan ekspor asap ke negara tetangga yang cukup memalukan bangsa.
b) Kalau tetap ingin ada kayu 20 tahun mendatang, mulai kini harus gemar menanam. Tanpa itu Kalimantan Selatan sulit mempertahankan industri kayunya.
c) Mulai sekarang, mari kita canangkan perang terhadap penebangan liar, kita berantas pencurian hasil hutan dan perdagangan gelap kayu hutan curian itu ke luar negeri, serta semua aktivitas yang tidak direklamasi.
d) Adakah keinginan untuk menjadi greenpeace-greenpeace yang akan menyelamatkan hutan, lingkungan dan budaya Kalimantan Selatan ?

Daftar Pustaka

Al-Qur’an http://www.alquran-digital.com
Bpost, Rabu, 5 April 2006 hal 12.
Bpost, Senin, 24 April 2006 hal. 1.
Bpost Selasa 25 April 2006 hal 12.
Bpost, Senin, 8 Mei 2006 hal. 22.
Irwin, Graham
1955 Ninetenth-Cdentury Borneo, A Study in Diplomatic Rivalry. Malaya: S. Gravenhage-Martinus Nijhoff.
Keraf, A.Sonny.
2006 Etika Lingkungan.Jakarta: Kompas
Kusmartono, V.P.R. dan Andi Nuralang.
2001 Kehidupan Sosial Ekonomi dan Perdagangan di Daerah Pesisir Tenggara Kalimantan pada Abad ke-19 Masehi. Berita Penelitian Arkeologi No.08. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin.
Leirissa
1983/84. Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nugraha, Agung
2005 Rindu Ladang Perspektif Perubahan Masayarakat Desa Hutan. Banten: Wana Aksara.
Nuralang, Andi
2005 Huma Tugal: Sistem Ekonomi Orang Bukit, Tradisi dan Refleksi Nilai-Nilai Lokal dalam Buku Dinamika Kearifan Lokal Masyarakat Kalimantan. Banjarbaru: IAAI Komda Kalimantan.
Prijono, Sudarti
2001 Sumberdaya Alam Situs Gunung Lumpang, Kabupaten Cirebon sebagai pendukung Budaya Megalitik dalam Buku Manusia dan Lingkungannya Keragaman Budaya Dalam Kajian Arkeologi. Bandung : Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Jawa Barat.
Radam, Noerid Haloei
2001 Religi Orang Bukit, Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi Dalam Kehidupan Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Yayasan Semesta.
Sjamsuddin, Helius.
1999 Pegustian dan Temenggung Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906. Jakarta: Balai Pustaka.
Siahaan, N.H.T.
2007 Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan. Jakarta: Pancuran Alam.
Sugiyanto, Bambang
2006 Masalah Pelestarian Gua-Gua Penguburan di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Naditira Widya No. 16. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin.
Susanto, Nugroho Nur
2004 Laporan Penelitian Arkeologi. Penelitian Pola Keruangan Tatakota Telukbayur Kota Kolonial di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin.
Susanto, Nugroho Nur
2005 Laporan Penelitian Arkeologi. Penelitian Aspek Keruangan Pola Tatakota Kolonial Sanga-Sanga di Kabupaten Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin.
Widianto, Harry, Truman Simanjuntak, dan Budianto Toha.
1997 Ekskavasi Situs Gua Babi, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan. Berita Penelitian Arkeologi No. 1. Banjarmasin: Balai Arkeologi Banjarmasin.
Widianto, Harry dan Retno Handini
2004 Karakter Budaya Prasejarah di Kawasan Gunung Batubuli, Kalimantan Selatan: Mekanisme Hunian Gua Pasca-Plestocen. Berita Penelitian Arkeologi No. 12. Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin.
[1] Tidak mendapat izin dari pemerintah
[2] Perladangan berpindah menghadapi dua issu besar yang saling berlawanan. kearifan di satu sisi dan kerusakan di sisi lain. Dalam kearifan diakui merupakan sebuah praktek yang penuh dengan kearifan karena kegiatannya sangat adaptif terhadap ekosistem dan alam sekitarnya. Juga menjaga kelestarian keragaman hayati atau biodiversitas, utamanya keanekaragaman tanaman. Hal ini disebabkan pertanian ladang berpindah telah menerapkan konsep diversifikasi tanaman. Dalam satu ladang ditanam beragam tanaman. Sistem pertanian ladang berpindah menerapkan sistem polikultur yang sesuai landscape hutan tropis yang bersifat beragam. Dalam kerusakan diakui perkembangan demografi dan penyempitan lahan sebagai akibat pertambahan penduduk. Faktor tersebut telah mengakibatkan masa bera menjadi semakin menurun yang berdampak terhadap kesuburan tanah. Jelas hasil panen jauh berkurang. Juga faktor budaya tanam tinggal. Dengan menurun tingkat kesuburan, maka pertanian ladang berpindah membutuhkan perawatan yang lebih intensif. Dengan budaya tanam tinggal mengakibatkan sistem perladangan semakin tidak ekonomis ditengah berkembangnya budaya masyarakat yang kian berorientasi pada aspek-aspek ekonomi (Nugraha, 2005).